Ngaji

49 views

Tadi malam ia terlambat menghadiri sebuah pengajian rutin di surau yang diampu oleh Pak Kiai dari kecamatan seberang. Malam itu dijelaskan bahwa manusia yang menempuh jalan menuju Tuhan terbagi menjadi dua macam: mereka yang dikehendaki dan mereka yang menghendaki. Maksudnya, mereka yang dikehendaki adalah mereka yang secara Iradatillah diperjalankan langsung oleh Allah, sepenuhnya terkurung dalam penjara rahmat-Nya. Sementara mereka yang menghendaki adalah mereka yang sungguh-sungguh mendarmakan setiap detik usia untuk selalu berjalan di jalan yang disukai oleh Allah.

Dari pernyataan itu, ia–mencoba mengoreksi dirinya, jauh untuk masuk jalur dikehendaki, kalaupun toh masuk tak lain hanya tersebab maha kasih Tuhan. Atau jika dikatakan masuk jalur menghendaki, ia, rasa-rasanya belum mampu sungguh-sungguh memempa diri untuk menghendaki, menapaki terjalnya makadam jalan seorang salik yang sebenar-benarnya. Ah, setidaknya ia tak sampai jatuh di jurang keputusasaan, sepertinya sudah cukup baik, harapnya.

Advertisements

Dalam pengamatannya–terlepas dari idiom sufistik dikehendaki atau menghendaki, selama ia ngaji, cukup sering ia dengarkan bahwa jalan menuju (ber)Tuhan memang sangatlah bermacam. Malah Ada yang mengatakan bahwa jika dijumlah sebanyak jumlah napas manusia. Mutlak ragam dan meruah. Demikianlah, cara bersalik dari para muqoddimin melahirkan cabang-cabang yang melimpah, memudahkan para murid yang haus akan kesegaran ruhaniah memilih jalan yang ia mampu. Ya, dengan me-Ngaji memang akan tersingkap betapa banyaknya jalan, yang semuanya itu menuju muara yang tunggal. Catat, dengan me-Ngaji atau sinau atau belajar.

Tapi panggah sayang, meskipun tak harus beribu sayang. Bukannya keluasan khazanah yang dicari dan didapat, bukannya kelapangan hati yang diupayakan dan dirasakan, kita seringkali hanya terbiasa–atau mungkin membiasakan–mendengarkan saja, hanya mendengarkan ngaji, masuk ke telinga satu keluar di telinga satunya. Tak jarang kita malah asyik bermain, bergurau, tertidur, dan tidak sungguh-sungguh serius menghayati aktivitas Ngaji. Begitulah kita. Sehingga semangat yang diharapkan oleh isi ngaji seringkali berbanding terbalik dengan sikap kita di kehidupan.

Memang, menghadiri ngaji adalah juga hal baik yang patut diapresiasi dengan pahala. Tapi ini tentang kehidupan kita di dunia juga, tentang bagaimana kita mengolah sikap dan sudut pandang dalam berkehidupan. Jika beragama hanya untuk mencari pahala saja, duh, betapa mungkin sedih dan merananya junjunjungan kita melihat cara kita menjalankan agama, yang hanya memprioritaskan jumlah pahala namun luput pada perenungan sosial. Lupa bahwa agama adalah suatu tatanan yang muaranya menuju kebaikan kehidupan di dunia juga, bukan akhirat saja. Jika ini diabaikan, dikhawatirkan bukannya kebaikan dunia-akhirat yang kita dapatkan, malah justru kejahatan dunia-akhiratlah yang sedang kita selenggarakan (naudzubillah).

Ngaji atau sinau atau belajar dan serumpun kata dulur-dulur-nya memang sungguh penting. Lebih penting lagi adalah mengamalkannya. Pernyataan itu sinergis dengan anjuran-anjuran mendasar dalam beragama. Bahkan mungkin semua agama akan terus dan selalu menganjurkan para pemeluknya untuk ngaji, sinau, belajar lagi dan lagi. Lalu sebagian kita mungkin akan ada yang ingin bertanya, “untuk apa ngaji?” Tapi perlukan pertanyaan itu dijawab?

Ngaji itu menambah wawasan. Menambah bekal kita untuk mencari sudut pandang. Efeknya, akan lahir corak berpikir yang beragam. Masyarakat pun tak mudah untuk dijajah cara berpikirnya, tak mudah diseragamkan sudut pandangnya.

Memang lumrah, di masyarakat terjadi gesekan mindset. Berbeda pandangan adalah kekayaan berpikir. Ini bukan salah dan tidak perlu juga disalahkan. Mbok ya ragam sudut pandang itu disikapi dengan kelapangan hati, kejernihan nalar lalu dikelola sebagai sumber khazanah. Jikapun ada dari kita yang merasa janggal atau bahkan menolak salah satu atau banyak dari keragaman itu, mbok ya cara mengkritiknya dengan didiskusikan secara hangat, atau buatlah serasehan sederhana untuk mengklarifikasi, mencari hulu persoalan dan menemukan titik-temu perkara. Sungguh jika itu bisa dilakukan, akan terbangun masyarakat yang tak hanya sehat jasmaninya, tapi juga nalarnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan