Sudah menjadi hal lumrah dan sangat wajar di pondok kami bahwa ngalap berkah kiai itu perlu. Bahkan telah menjadi ajang perlombaan bagi para santri. Banyak hal akan dilakukan santri demi ngalap berkah dari kiainya. Mulai dari membalik sandal kiai agar kiai tidak perlu membaliknya ketika akan dipakai, menyiapkan tempat lenggah, sampai antre untuk minum kopi yang selalu tidak dihabiskan oleh kiai setiap ngaji bandongan.
Perihal antre minum kopi ini sangat ditunggu oleh para santri. Setiap Pak Kiai mengakhiri waktu mengaji dan meninggalkan tempat mengaji, di situ para santri sontak berlarian untuk menjadi yang pertama meminum sisa kopi kiai. Para santri biasanya langsung antre berjajaran di belakang santri yang berhasil menjadi orang pertama yang memegang gelas kopi.
Nah, selama masa pandemi seluruh penghuni pondok diwajibkan mematuhi protokol kesehatan, seperti memakai masker, mencuci tangan, hingga menjaga jarak dalam segala kegiatan, termasuk mengaji. Seluruh santri tampak patuh pada aturan yang ada.
Malam itu Umar kembali ke pondok selepas pulang sebab Emaknya melahirkan adik keduanya. Ya, dia memang biasa pulang karena rumahnya tidak begitu jauh dari pondok. Ini adalah malam pertama Umar ngaji bandongan di masa pandemi. Tak ada yang aneh malam itu, semua terasa seperti hari-hari biasa. Hanya, kini harus menggunakan masker dan menjaga jarak satu sama lain.
Sampai waktu di mana ngaji bandongan selesai. Pak Kiai menutup dengan salam dan meninggalkan tempat mengaji seperti biasanya. Rupanya, Umar dari barisan belakang sudah siap-siap berlari ke depan untuk mengambil gelas kopi Pak Kiai dan menjadi orang pertama yang meminumnya.
Sontak dia berlari setelah Pak Kiai tak terlihat lagi di tempatnya. Yaapp, dia berhasil pegang gelas itu dan meminum kopi di dalamnya. Lima detik kemudian, Umar terpaku, terheran-heran, mengapa tidak ada santri yang mengantre di belakangnya? Dia menengok ke arah santri lain yang pandangannya tertuju pada Umar seluruhnya. Canggung sekali rasanya.