Negara pada hakikatnya merupakan sebuah organisasi kemasyarakatan yang berdiri di atas kesepakatan-kesepakatan dari bermacam golongan, suku bangsa, ras, dan agama untuk bersama-sama bernaung dalam lingkungan organisasi masyarakat yang mereka dirikan, guna menuju suatu tujuan bersama. Isi kesepakatan itulah, baik yang tercapai sejak awal berdirinya negara maupun yang baru dalam perjalanan selanjutnya yang kemudian dituangkan dalam sebuah konstitusi.
Dalam konteks kenegaraan, isi kesepakatan-kesepakatan bersama (konstitusi) itulah yang kelak akan menjadi pembatas dan koridor bagi para anggota keluarga negara -baik itu golongan, suku bangsa, ras dan agama- maupun perorangan dalam melakukan seluruh kegiatan yang berkaitan dengan negara. Bahkan dalam hal-hal tertentu atau terkadang juga melakukan kegiatan keagamaan yang menyangkut bidang kemasyarakatan (muamalat). Pelanggaran terhadap pembatas-pembatas itu dapat dikenai sanksi oleh negara, di samping mendapat reaksi dari kelompok atau golongan lain yang menjadi anggota keluarga negara. Pelanggaran akan menimbulkan keresahan di antara sesama anggota keluarga negara, bahkan tak mustahil akan dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan negara itu sendiri.
Apakah persepsi tentang negara yang demikian itu juga merupakan persepsi dari semua golongan, suku bangsa, ras, dan masyarakat pemeluk agama yang telah bersepakat mendirikan atau turut bernaung dalam suatu negara akan terus berlangsung pada perjalanan selanjutnya? Hal ini bergantung berbagai faktor, yang dua di antaranya adalah: Pertama, sekukuh dan sedalam mana suatu golongan, suku bangsa, ras, atau masyarakat pemeluk agama mempunyai niat dan motivasi ketika untuk pertama kali mereka ikut mendirikan atau kemudian turut bernaung dan berada dalam organisasi negara itu. Semakin kukuh dan dalam niat dan motivasi itu, akan semakian kuat pula suatu golongan, suku bangsa, ras, atau masyarakat pemeluk agama akan berpegang teguh pada persepsinya itu. Sebaliknya sedemikian menjadi akan semakin rapuh, dan pada gilirannya akan lenyap.
Kedua, ada atau tidak adanya perasaan senasib dari pada anggota keluarga besar negara itu tatkala kemudian mereka bersama-sama menyelenggarakan dan mengemudikan negara. Itulah sebabnya, kesepakatan untuk mendirikan negara merupakan sebuah gesamakt, bukan sebuah consensus.
Dari sejarah berdirinya bangsa dan negara Indonesia serta perjalan selanjutnya hingga saat ini, selain dari peran para pahlawan dan tokoh Islam dalam mendirikan negara ini, tercatat tiga peristiwa besar yang menunjukkan dan membuktikan, betapa kukuh dan dalamnya persepsi sedemikian itu ada pada diri dan tubuh umat Islam.
Tiga peristiwa itu ialah, pertama, keteguhan Panglima Besar Jenderal Soedirman pada komitmennya terhadap negara, tatkala beliau tak menyerah terhadap Belanda pada saat seluruh pimpinan pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta pada aksi militer kedua Belanda tahun 1958 telah ditahan tentara belanda. Panglima Besar Soedirman, yang juga tokoh dan pimpinan Hizbul Wathan Muhammadiyah itu, tak menyerah terhadap tentara Belanda, dan tetap memimpin perang gerilya, meski paru-parunya hanya tinggal satu yang berfungsi.
Kedua, keteguhan Syafruddin Prawiranegara pada komitmenya terhadap bangsa dan negara, tatkala beliau dan kawan-kawannya mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di tengah hutan belantara Sumatera guna mempertahankan eksistensi pusat Pemerintahan Republik Indonesia, karena pusat pemerintahan Indonesia di Yogyakarta sudah dinilai menyerah kepada Belanda oleh dunia Intemasional.
Ketiga, keteguhan komitmen Mohammad Natsir pada cita-cita mewujudkan negara kesatuan Republik Indonesia, tatkala beliau tampil dengan mosi integralnya di parlemen untuk mengembalikan bentuk negara federal menjadi negara kesatuan kembali, sesudah pemerintah kolonial Belanda berhasil merekayasa terbentuknya negara Republik Indonesi Serikat yang telah mengubah cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
Tiga peristiwa besar ini, kadang hendak dilupakan. UUD 1945 telah menegaskan, bahwa negara Republik Indonesia bukan negara sekuler. Pasal 29 ayat(l) UUD 1945 dengan tegas menyatakan, bahwa “Negara Berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa”. Bahkan bukan hanya itu, ayat (2) pasal tersebut dengan tegas pula menyatakan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Makna “menjamin” yang terdapat pada ayat ini jelas bersifat aktif, tidak pasif, karena mempunyai dua aspek. Pertama, negara berkewajiban bertindak sebagai fasilitator bagi terselenggaranya peribadatan oleh kalangan pemeluk agama, sepanjang hal itu di perlukan para pemeluknya, tanpa negara mencampuri otoritas dan otonomi ajaran agamanya. Kedua, negara berkewajiban untuk mencegah terjadinya gangguan yang datang dari luar lingkungan suatu agama, dari pihak mana pun datangnya.
Dalam sejarah dan realita perjalan bangsa dan negara kita selama ini telah dapat dibuktikan bahwa kedudukan negara selaku fasilitator, tidak hanya diwujudkan dalam bentuk-bentuk penyediaan sarana fisik berupa piranti keras (hardware), tetapi juga diwujudkan dalam bentuk-bentuk piranti lunak (software), yaitu berbagai peraturan perundang-undangan. Telah pula dibuktikan, bahwa kedudukan sebagai fasilitator tidak hanya diwujudkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan implementasi peribadatan yang bersifat ubudiyah, tetapi juga untuk hal-hal yang bersifat muamalah.
Mewujudkan konsep pemerintahan yang baik (Good Governance) semangat reformasi telah mewarnai pendayaguaan aparatur negara dengan tuntutan untuk mewujudkan administrasi negara yang mampu mendukung kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan, dengan mempraktikkan prinsp-prinsip good governance. Selain itu, masyarakat menuntut agar pemerintah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dalam menanggulangi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), sehingga tercipta pemerintahan yang bersih dan mampu menyediakan public goods and services sebagaiamana yang diharapkan oleh masyarakat.
Good governance yang dimaksud adalah merupakan proses penyelenggraan negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and services disebut governance (pemerintah atau kepemerintahan), sedangkan praktik terbaiknya disebut good governance (kepemerintahan yang baik) agar good governance dapat menjadi kenyataan dan berjalan dengan baik, maka dibutuhkan komitmen dan keterlibatan semua pihak, yaitu pemerintah dan masyarakat. Good governance yang efektif menuntut adanya “alignment” (koordinasi) yang baik dan integritas, profesional serta etos kerja dan moral yang tinggi. Dengan demikian penerapan konsep “good governace” dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintah negara merupakan tantangan tersendiri.
Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara. Dalam rangka hal tersebut, diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas, dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan dapat berlangsung secara berdayaguna, berhasil, bersih, dan bertanggung jawab serta bebas KKN. Perlu diperhatikan pula adanya mekanisme untuk meregulasi akuntabilitas pada setiap instansi pemerintah dan memperkuat peran dan kapasitas parlemen, serta tersedianya akses yang sama pada infbrmasi bagi masyarakat luas.
Konsep dasar akuntabilitas didasarkan pada klasifikasi responsibilitas manajerial pada tiap lingkungan dalam organisasi yang bertujuan untuk pelaksanaan kegiatan pada tiap bagian. Masing-masing individu pada tiap jajaran aparatur bertanggung jawab atas setiap kegiatan yang dilaksanakan pada bagian. Konsep inilah yang membedakan adanya kegiatan yang terkendali (controllable activities) dan kegiatan yang tidak terkendali (uncontrollable activities). Kegiatan yang terkendali merupakan kegiatan yang secara nyata dapat dikendalikan oleh seseorang atau suatu pihak. Ini berarti, kegiatan tersebut benar-benar direncanakan, dilaksanakan dan nilai hasilnya oleh pihak yang berwenang.
Akuntabilitas didefinisikan sebagai suatu perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik. Dalam dunia birokrasi, akuntabilitas instansi pemerintah merupakan perwujudan kewajiban instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi instansi yang bersangkutan. Sejalan dengan hal tersebut, telah ditetapkan TAP MPR RI Nomor XI/MPR/1998 dan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Sebagai kelanjutan dari produk hukum tersebut diterbitkan Inpres Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP).
Asas umum penyelenggaraan negara menurut UU Nomor 28 Tahun 1999 itu meliputi asas kepastian hukum, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas. Menurut penjelasan UU tersebut, yang dimaksud asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai denagan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.