Overthinking Karamah

306 kali dibaca

Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi nilai religiusitas dan ketakwaan. Hal itu jelas tersurat dalam Al-Qur’an surat Al-Hujuraat ayat 13, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.”

Dengan demikian, orang yang istikamah dalam ibadah wajib dan sunah, akan dinaikkan derajatnya dan dipilih menjadi kekasih Allah atau waliyullah. Para kekasih Allah ini dilimpahkan rahmat dan anugerah yang tidak dimiliki oleh hamba-hamba yang lain. Salah satunya adalah karamah. Apa itu karamah?

Advertisements

Tentang definisi Karamah, Imam al-Jurjani membeberkannya dalam at-Ta’rifat:

الكرامة هي ظهور أمر خارق للعادة من قبل شخص غير مقارن لدعوى النبوة و ما يكون مقرونا بالإيمان و العمل الصالح فما لا يكون مقرونا بالإيمان و العمل الصالح يكون استدراجا

Artinya: “Karamah adalah perkara di luar adat yang terjadi pada seseorang tanpa adanya pengakuan kenabian yang dibarengi iman dan amal saleh. Jika tidak disertai dengan iman dan amal saleh, maka namanya adalah istidraj.”

Secara historis, banyak sekali data tentang eksistensi karamah dalam diri seorang waliyullah. Bahkan sebagian ulama ada yang membahas khusus dalam satu kitab tertentu. Karamah penting dan diperlukan sebagai tanda bahwa seseorang merupakan hamba pilihan dan bisa dijadikan rujukan dalam kehidupan beragama.

Dalam konteks Indonesia, jamak ditemukan kisah-kisah karamah para ulama yang fantastis dan membelalakkan mata orang awam; betapa luhurnya derajat seorang waliyullah. Namun, dalam perkembangannya, keberadaan karamah dijadikan barometer untuk mengukur kemuliaan seorang kekasih Allah. Sebagian – yang didominasi orang awam – mengira bahwa kemuliaan seorang waliyullah diukur dari banyaknya karamah yang dimilikinya. Perkiraan ini tidak salah, namun juga tidak benar, karena barometer kemuliaan bukan hanya ada pada karamah.

Persepsi seperti tersebut akan membutakan pada hal lain dari seorang waliyullah, seperti keilmuan dan akhlaknya. Waliyullah hanya akan dipandang dari kehebatan karamahnya, tidak pada kehebatan ilmunya. Inilah yang disebut dengan “overthinking” karamah, yaitu ketika karamah menjadi objek prioritas dalam menilai seorang hingga abai pada luasnya ilmu yang dimilikinya.

Sebetulnya, jika diukur dari kemuliaan dan kedekatan kepada Allah, orang yang berilmulah yang paling tinggi nilainya. Ilmu pengetahuan dari seorang waliyullah lebih tinggi nilainya daripada sekadar karamahnya. Sebab, karamah yang terdapat dalam diri seorang waliyullah hanya akan dinikmati oleh dirinya sendiri, berbeda dengan ilmu yang diamalkan dan disebarkannya. Ilmu yang diajarkan oleh seorang waliyullah akan sangat bermanfaat dan menjadi amal jariyah yang tidak akan terputus sampai kapanpun. Dalam kaidah fikih disebutkan bahwa, “Kebaikan yang berjalan lebih baik dari kebaikan yang terbatas.”

Syaikh Abdul Wahhab As-Sya’rani dalam Al-Ajwibah Al-Murdhiyah juga menyinggung hal ini.

إعلم أن ما يفتح الله تعالى به على قلوب الفقهاء من استنباط المسائل أعظم نفعا مما يفتح الله به على الأولياء من الكرامات و الخوارق لأن نفع الكرامات قاصر و نفع الاستنباطات متعد إلى الأمة

Artinya: “Ketahuilah bahwa ilmu yang Allah berikan kepada para fukaha dari hasil istinbat (penelusuran hukum) itu lebih besar manfaatnya dari karamah dan keajaiban yang Allah berikan kepada para awliya-Nya. Karena manfaat karamah itu terbatas, sedangkan manfaat ilmu itu sampai kepada ummat.”

Syekh Fariduddun Al-Atthar menyebutkan kisah unik antara sang sufi, Imam Hasan al-Bashri dengan Rabi’ah al-Adawiyah dalam kitab Tadzkiratul Auliya. Suatu saat, Rabi’ah terhenti saat lewat depan rumah Hasan al-Bashri lantaran tetesan air yang mengenainya. Awalnya dikira air tersebut adalah air hujan, namun saat menoleh ke atas, ternyata berasal dari air mata Hasan al-Bashri.

Rabi’ah berkata, “Wahai Syekh, tahanlah air mata itu dalam dirimu sehingga menjadi lautan. Engkau tidak akan menemukan jati dirimu kecuali mencarinya kepada Sang Raja yang Maha Perkasa.”

Hasan al-Bashri hanya diam tanpa jawaban. Air mata yang mengalir karena renungan mendalam padanya yang tak mampu dia bendung. Hasan al-Bashri lalu mengambil sajadah dan meletakkannya terapung di atas air. Ia berkata, “Kemarilah Rabi’ah, kita salat dua rakaat.”

Rabi’ah, yang juga seorang sufi dengan ajaran mahabbahnya, merespon dengan menampakkan karamah. Ia membuka sajadahnya dan menerbangkan di udara sembari berkata, “Kemarilah wahai Syekh, kita salat di atas udara saja biar orang-orang melihat karamah kita.”

Tanpa jawaban lagi, Hasan al-Bashri hanya termenung dan tertegun, merasa ada yang perlu diperbaiki dalam laku sufinya.

Rabi’ah melanjutkan, “Wahai Syekh, apa yang engkau lakukan itu bisa dilakukan oleh ikan, dan yang saya lakukan bisa dilakukan oleh lalat. Fokus kita sebenarnya ialah bersungguh-sungguh dalam amalan kita.”

Akhiron, karamah memang suatu kelebihan yang Allah anugerahkan pada hamba-hamba pilihan, dan tidak semua orang bisa mendapatkannya. Namun, karamah harus diletakkan dalam koridornya sebagai salah satu anugerah tanpa mengesampingkan anugerah lain, yaitu ilmu yang sebenarnya lebih penting untuk diurai. Kenapa? Karena eksistensi agama Islam dikawal oleh ilmul ulama, bukan karamatul auliya.

Referensi :

1. At-Ta’rifat karya Imam al-Jurjani.
2. Al-Ajwibah Al-Murdhiyah karya Syaikh Abdul Wahhab As-Sya’rani.
3. Tadzkiratul Auliya’ karya Syekh Fariduddun Al-Atthar.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan