Pak Lap

19 views

Selalu, sebelum pembeli pertama datang, lelaki itu tiba lebih dulu. Terkadang, lelaki yang umurnya kira-kira tiga puluh tahun itu sudah tiba di situ sebelum keluarga Pak Cipto menggelar dagangannya. Tetapi, yang lebih sering, atau biasanya, ia baru tiba sesaat setelah keluarga Pak Cipto mempersiapkan segalanya. Keluarga Pak Cipto yang terdari dari lima orang, tiga perempuan dan dua lelaki, bekerja sebagai penjual sate kambing. Di sekitar dua puluh lima meter sebelah timur perempatan jalan sebuah kota kecamatan, saban hari mereka menggelar dagangannya.

Menjelang maghrib, anak-anak Pak Cipto yang lelaki biasanya datang lebih dulu. Mereka memasang tenda, menyiapkan tungku pembakaran, dan menata meja dan kursi di atas trotoar yang sebenarnya diperuntukkan bagi pejalan kaki. Setelah itu mereka pulang. Selepas maghrib anak-anak Pak Cipto datang lagi. Yang laki-laki mendorong gerobak dagangan dan yang perempuan membawa persediaan daging beserta bumu-bumbunya.  Saat persiapan sudah cukup dan daging dalam kondisi siap dibakar itulah, entah dari arah mana, biasanya lelaki itu muncul.

Advertisements

Begitu muncul, biasanya lelaki itu langsung duduk di trotoar, di sisi barat stan penjual sate itu. Penampilan sehari-harinya juga khas. Lelaki itu selalu mengenakan kaus oblong dan celana pendek kolor yang sudah lusuh. Tangan kanannya selalu menggenggam sepotong kain, yang jujga sudah lusuh. Melihat kondisinya, tampak sekali lelaki yang rambutnya di-plontos itu jarang mandi.

Keluarga Pak Cipto tak pernah menghiraukan kehadiran lelaki itu. Mungkin, bagi keluarga Pak Cipto, lelaki itu hanyalah salah seorang dari sekian banyak gelandangan atau orang gila yang selalu datang dan pergi di pusat kota kecamatan itu. Karena itu, tidak ada keharusan bagi mereka untuk memperhatikan atau paling tidak mengenal siapa sebenarnya lelaki itu. Meskipun, lelaki itu selalu berada di tempat itu sejak awal mereka membuka stan warung sate lebih dari setahun lalu.

Sebenarnya, sesekali anak-anak Pak Cipto melihat apa yang dilakukan lelaki itu. Namun, mereka tak pernah menghiraukannya. Begitu pembeli pertama yang mengendarai sepeda motor tiba, lelaki itu beranjak. Bukan si pembeli sate yang dihampiri, melainkan menuju di tempat mana sepeda motornya diparkir. Namun tetap, tak hanya kehadiran lelaki itu yang tak menarik perhatian keluarga Pak Cipto, melainkan juga apa yang dilakukannya. Dan, memang, lelaki itu tak pernah melakukan sesuatu yang mengganggunya.

Setelah mendekati sepeda motor yang diparkir, lelaki itu dengan santai dan sesekali mengulum senyum, mengelapnya dengan sepotong kain atau serbet yang digenggamnya. Dan begitu pembeli bersepeda motor kedua datang, lelaki itu meninggalkan sepeda motor pertama, kemudian mendekati sepeda motor yang baru tiba. Juga dengan santai dan sesekali mengulum senyum, dengan kain yang digenggamnya, lelaki itu mengelapnya. Dan begitulah seterusnya terhadap sepeda motor pembeli sate yang datang kemudian.

Semula, saat kali pertama hal itu dilakukannya, orang-orang merasa curiga dan menegurnya. “Ah, saya hanya ngelapi sepeda motor sampean, biar kelihatan bersih. Kalau sampean tak keberatan, saya mau diberi uang limaratus atau seribu saja,” jawab lelaki itu ringan sambil meneruskan pekerjaannya.

Akhirnya, bagi mereka yang sudah menjadi pelanggan sate di situ, kehadiran dan apa yang dilakukan lelaki itu tak menjadi masalah. Malahan, tidak jarang pelanggan sate keluarga Pak Cipto merasa senang. Begitu datang, para pelanggan ada yang langsung menghampiri lelaki itu, dan memintanya membersihkan bagian ini dan bagian itu pada sepeda motornya. Mereka juga merasa lebih aman, sebab lelaki itu selalu mengawasi sepeda motor yang baru dilapnya. Karena kebiasaannya ngelapi sepeda motor itulah, akhirnya orang mengenal dan memanggilnya dengan sebutan Pak Lap. Orang-orang memang tidak tahu siapa sebenarnya jati diri Pak Pap. Sebab, Pak Lap sendiri memang tidak pernah memperkenalkan nama aslinya, dan tidak menolak dipanggil Pak Lap. “Saya tak punya nama,” begitulah jawabannya ketika ada bertanya tentang namanya.

Namun begitu, kehadiran atau apa yang dilakukan Pak Lap bagi pembeli yang bukan pelanggan atau yang baru kali pertama membeli sate di tempat Keluarga Pak Cipto, tetap sering terasa mencurigakan. Biasanya, saat Pak Lap memegang bagian tertentu sepeda motornya, beberapa pembeli menegurnya. Tapi jawaban yang diberikan Pak Lap seperti biasanya. Para pembeli itu pada akhirnya juga mafhum. Hingga tak ada seorang pun yang merasa terganggu dengan keberadaan Pak Lap.

Semakin lama warung sate keluarga Pak Cipto kian laris. Di kota kecamatan itu setidaknya ada tiga warung sate. Namun, yang paling laris adalah warung sate milik keluarga Pak Cipto ini. Padahal, sebenarnya masakan mereka bukanlah yang paling enak. Dibanding warung lain, rasanya tak jauh beda. Biasa-biasa saja. Orang memang tak tahu persis kenapa warung sate keluarga Pak Cipto paling laris. Warung dibuka pukul 18.00, dan tiga atau empat jam kemudian biasanya sudah ditutup.

Semakin laris warung sate keluarga Pak Cipto, maka Pak Lap pun kerjanya juga semakin keras. Dan itu berarti penghasilannya meningkat. Namun, meskipun sudah lama melakukan pekerjaan ngelapi sepeda motor di situ, Pak Lap tidak pernah memaksa atau bahkan memeras. Pak Lap juga tak pernah peduli, apakah setelah membersihkan sepeda motor dia diberi uang recehan atau tidak. Diberi atau tidak dikasih uang, ekspresi atau raut muka Pak Lap tak pernah berubah. Lelaki itu selalu menampilkan wajahnya yang lugu, dan bila mengulum senyum kelihatan lucu. Suatu ketika ada orang yang bermurah hati, memberinya uang sepuluh ribu. Namun, Pak Lap tidak mengucapkan terima kasih dan ekspresi wajahnya juga tak berbeda dengan ketika dia tak diberi uang sepeser pun.

Memang tidak semua pembeli yang sepeda motornya dilapi Pak Lap memberinya uang. Bahkan, ada pelanggan yang hampir dua hari sekali makan di situ namun tidak pernah sekalipun terlihat memberi uang kepada Pak Lap. Meskipun begitu, Pak Lap tidak memperlakukannya secara berbeda. Pak Lap tak pernah membedakan antara pembeli yang selalu memberinya uang dengan yang pelit. Siapa saja yang membeli sate di situ, pasti sepeda motornya dia bersihkan. Pak Lap tidak ngelapi kendaraan lain selain sepeda motor.

Di antara sekian banyak pembeli, ada beberapa orang yang akhirnya terlihat akrab dengan Pak Lap. Bagitu bertemu, mereka saling melempar guyonan. Terhadap mereka yang sudah akrab, Pak Lap juga sering menggoda. Tapi, yang lebih sering, Pak Lap menjadi obyek ledekan.

“Lo, kok, dibawang pulang? Kan, biasanya dimakan di sini? Oleh-oleh untuk istri muda ya?” demikian goda Pak Lap kepada salah seorang pelanggan sambil tetap nangkring di atas sepeda motor yang diparkir. Biasanya pelanggan itu memang menyantap satenya di situ.

“Ah, kamu mau tahu urusan orang saja. Ini, untuk anak istrimu,” sahut lelaki paro baya yang sebenarnya juga tidak tahu apakah Pak Lap punya anak dan istri atau tidak, sambil menaruh uang kertas lima ribu persis di jidat Pak Lap. Pak Lap langsung melepas tawa dan menyodok pinggang lawan bicaranya. Uang yang di jidat dibiarkannya terjatuh.

Nggak mau uang ya? Mana kuambil lagi….”

Pak Lap langsung memungut uangnya dan berlari mundur sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya. Pembeli sate itu menghidupkan sepeda motornya, dan mengarahkan lajunya ke tempat Pak Lap berdiri. Laju sepeda motor tak dihentikan ketika berada di depan Pak Lap, dan malah disentakkan. Sekonyong-konyong Pak Lap melompat dan mengumpat. Dengan terus melajukan sepeda motornya, pembeli sate itu berlalu sambil tersenyum penuh kemenangan. Pembeli-pembeli lain atau orang-orang yang berada di sekitarnya menikmati pemandangan itu. Tapi keluarga Pak Cipto tetap asyik dengan pekerjaannya, melayani para pembeli. Sebab, pembeli adalah raja.

Selama lebih dari setahun, tak pernah sehari pun Pak Lap absen. Selalu, selepas maghrib, Pak Lap muncul dan duduk di trotoar di sisi barat stan penjualan sate itu. Bahkan, terkadang sebelum maghrib Pak Lap sudah kelihatan di sekitar tempat itu. Sesekali, dia ada di situ atau di jalan-jalan lain di seputar kota kecamatan itu pada siang hari. Pak Lap terlihat hanya berputar-putar dan menghilang lagi. Ke mana Pak Lap menghilang, rasanya tak penting untuk diketahui orang banyak. Ada tidaknya Pak Lap tidak memiliki arti apa-apa, baik bagi orang-orang yang telah mengenalnya, pernah bertemu dengannya, atau tidak sama sekali. Kehidupan mereka akan terus berlangsung seperti biasanya kendatipun, kelak, Pak Lap tak muncul lagi.

Orang-orang yang pernah atau sering memberinya uang juga tak pernah menanyakan untuk apa uang yang diterimanya dari belas kasihan mereka atas jasa Pak Lap ngelapi sepeda motor. Padahal, melihat larisnya warung sate keluarga Pak Cipto, dalam semalam Pak Lap bisa memperoleh banyak uang.

Bila diperhatikan lebih seksama, ternyata tingkah laku Pak Lap seperti sudah terprogram dengan baku. Seperti sistem kerja robot. Sebelumnya Pak Lap hanya duduk-duduk di trotoar. Begitu pembeli pertama tiba, Pak Lap berdiri, lalu melangkah ke arah sepeda motor yang diparkir. Lalu mengelapinya. Setelah itu biasanya Pak Lap berdiri mematung atau mondar-mandir di sekitar sepeda motor yang baru dibersihkannya. Begitu pembeli berikutnya datang, Pak Lap melakukan hal serupa. Dan itu terus berulang setiap kali ada pembeli bermotor datang. Begitulah Pak Lap selama lebih dari setahun. Meskipun bukan preman, jika di kota besar, pastilah Pak Lap pernah kena razia. Sebab, Pak Lap hidup dengan jati diri yang tak dikenal, dan tidak memiliki surat-surat bukti diri seperti kartu tanda penduduk atau semacamnya. Meskipun Pak Lap tak pernah memaksa orang memberinya uang atau bahkan memeras, dari sosoknya ia akan digolongkan sebagai preman. Tapi karena perilakunya seperti robot, rasanya Pak Lap tak pernah punya keinginan melakukan tindak premanisme.

Suatu malam, sepeda motor pembeli terakhir tiba. Pasangan muda itu baru kali pertama terlihat berada di warung sate keluarga Pak Cipto. Begitu turun dari kendaraannya, mereka langsung mengambil tempat duduk di pojok. Bagi keluarga Pak Cipto, kehadiran pasangan muda itu tak berbeda dengan para pembeli lainnya. Tapi tidak demikian bagi Pak Lap. Bukan pada orangnya Pak Lap tertarik, melainkan pada kendaraannya. Sebab, sepeda motor pasangan muda itu gres. Keluaran terbaru. Dan baru pasangan muda itulah, di antara para pembeli, yang membawa sepeda motor keluaran terbaru itu. Sepeda motor yang catnya masih berkilauan itu diparkir dekat gerobak sate. Mungkin karena masih baru, sang pemilik khawatir sepeda motornya dijahili orang.

Tidak seperti biasanya, begitu sepeda motor itu diparkir, Pak Lap tidak langsung mengelapnya. Kali ini Pak Lap terlihat berdiri mematung, dan mengamatinya dari jarak yang agak berjauhan. Agak lama, mungkin lebih dari lima menit. Mungkin Pak Lap tertarik pada kebaruannya. Selain gres, sepeda motor itu memang model terbaru. Namun karena sudah menjadi pekerjaan rutinnya, akhirnya Pak Lap mendekat dan mengelapnya. Bedanya, kali ini di sela-sela kesibukannya mengelap, mata Pak Lap terus mengamati dan kemudian memegang-megang bagian tertentu. Asyik sekali Pak Lap melakukannya.

Grobyakkk! Sepeda motor anyar itu roboh. Saking asyiknya, Pak Lap terantuk batu, tubuhnya roboh dan menimpa sepeda kotor baru itu. Pemiliknya tersentak dan langsung beranjak. Orang itu mendekati Pak Lap yang sedang berusaha membetulkan sepeda motor yang roboh ke posisi semula. Semula biasa saja. Namun, begitu melihat bagian kanannya lecet-lecet, sang pemilik langsung naik pitam.

“Heh, siapa kamu? Kurang ajar!” teriaknya sambil melayangkan tinjunya ke pelipis kiri Pak Lap. Pak Lap sempoyongan dan jatuh tersungkur. Anak-anak keluarga Pak Cipto langsung bergegas untuk melihat apa yang terjadi. Si pembeli dengan cepat membetulkan posisi sepeda motornya.

“Heh, siapa dia? Kenapa dibiarkan mengganggu kendaraan pembeli? Kalau begini caranya, saya tak akan lagi beli sate di sini,” kata-kata kasar pembeli itu diarahkan kepada anak-anak keluarga Pak Cipto. Sesaat mereka hanya saling pandang. Yang tertua kemudian berusaha menjelaskan keberadaan Pak Lap di tempat itu. Lelaki itu tetap marah, dan langsung mengajak pasangannya pulang. Sate yang baru dimakan separo mereka tinggalkan begitu saja, dan tak peduli dengan pemberiantahuan bahwa masih ada sisa uang kembaliannya.

“Heh, Pak Lap, sini kamu! Mulai besok kamu dilarang berada di sini. Dilarang mengelap sepeda motor pembeli. Mereka bisa lari semua, tahu!” bentak anak tertua keluarga Pak Cipto ketika menghampiri Pak Lap yang duduk di teras toko. “Sana, pergi!” dia menghardik. Anak tertua keluarga Pak Cipto tak hanya menghardiknya, juga menambahinya dengan sebuah bogem. Dengan langkah tertatih-tatih, Pak Lap meninggalkan tempat itu, berjalan ke arah barat.

Keesokan harinya, Pak Lap tidak muncul di tempat itu, hingga senja terpeluk malam sekalipun. Anak-anak keluarga Pak Cipto yang tampak sudah menggelar dagangannya dan daging kambing dalam kondisi siap bakar, merasa senang bahwa Pak Lap akhirnya tidak muncul lagi. Berarti, peristiwa menjengkelkan seperti kemarin malam tak bakal terulang lagi. Berarti, para pembeli dan pelanggannya tak akan terganggu lagi. Berarti, mereka tak akan kena damprat lagi oleh pembeli yang merasa terganggu dengan perilaku Pak Lap.

Sudah hampir satu jam sejak menyiapkan dagangannya, anak-anak keluarga Pak Cipto terlihat hanya duduk-duduk. Mereka puas Pak Lap tidak muncul. Namun, lama-kelamaan, mereka merasa jenuh lantaran belum melakukan aktivitas apa pun yang berhubungan dengan pekerjaannya sebagai penjual sate. Setusuk daging pun belum ada yang dibakar, meskipun mereka sudah menambah arang yang kedua kalinya di tungku.

Secara bergantian atau kadang-kadang bersamaan, anak-anak keluarga Pak Cipto menolah ke barat, ke arah trotoar, dari mana biasanya Pak Lap muncul, lalu duduk-duduk sambil menunggu pembeli pertama datang. Mereka tidak melihat Pak Lap duduk di tempat biasanya. Dan, hingga malam kian larut, mereka juga tak melihat Pak Lap beranjak dari duduknya untuk menghampiri sepeda motor yang datang, kemudian mengelapnya. Anak-anak keluarga Pak Cipto juga tidak lagi melihat ada sepeda motor pembeli pertama datang, kemudian Pak Lap berdiri, menghampiri, dan mengelapnya. Hanya sepi, meskipun malam telah larut.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan