Di Kebun Agung, Kota Sumenep, Madura, terdapat pemakaman para raja yang dibangun sejak 1750 Masehi. Para raja yang dimakamkan di sana mencakup tiga pemerintahan, dimulai dari masa Panembahan Somala, kemudian dilanjutkan oleh Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I dan Panembahan Natakusuma II. Pemakaman ini terletak di kubah pertama yang berdampingan dengan makam Bindara Saod.
Di kubah kedua yang terdiri dari tiga makam, yaitu makam Raden Aria Wironegoro, Ratu Ari, dan Pangeran Jimat yang posisinya di tengah-tengah. Di kubah ini juga terdapat dua makam orang kerdil yang berada tepat di belakangnya. Konon, kedua makam orang kerdil itu merupakan pengawal kerjaaan di era pemerintahan Pangeran Jimat.
Menurut Pak Iyan, salah satu juru kunci, “Kalau Raden Wiro Negoro itu saudara Pangeran jimat. Sementara makam orang kerdil itu merupakan ajudan atau pelayan Pangeran Jimat.”
Jika ditinjau dari sisi arsitektur jirat atau kijing makam, arsitektur jirat di komplek bagian barat memiliki persamaan dengan asta atau makam cungkup pertama. Gaya jirat bersusun atau bertingkat menjadi ciri-ciri bahwa makam dengan susunan bertingkat menggambarkan strata sosial tokoh yang dimakamkan
Jika membicarakan Pangeran jimat, kita akan teringat dengan Kota Keris, Sumenep. Padahal, di Pamekasan juga ada Pangeran Jimat. Bahkan ia termasuk yang pertama dari putra Panembahan Ronggo dengan Ratu Inten. Ratu Inten, menurut catatan silsilah Kerajaan Pemelengan, merupakan keturuan langsung dari Sunan Giri I, salah satu tokoh Walisongo yang sekaligus penguasa Giri Kedaton.
Sementara, Pangeran Jimat kedua ialah putra dari Pangeran Rama alias Pangeran Cakranegara II (penguasa Sumenep pada 1678-1709). Cakranegara II ialah putra dari Ario Adikoro I alias Pangeran Gatutkoco, Adipati Pamekasan. Gatutkoco adalah putra dari Pangeran Purboyo. Dan Purboyo adalah putra dari Panembahan Ronggosukowati.
Pangeran Jimat kedua merupakan penguasa Sumenep pada 1721-1744. Di masanya, Sumenep dan Pamekasan menjadi satu di bawah kendali kekuasaannya. Sehingga ia dikenal dengan pemuka dan pemersatu dua kota besar kala itu.
Penulis kali ini akan mengulas sosok Pangeran Jimat kedua. Menurut riwayat yang pernah ditulis oleh M Farhan dalam media online mata madura, Pangeran Jimat waktu kecil terkenal dengan nama pangeran Ahmad. Sejak kecil sudah dikenal sebagai sosok pemberani, tegas, ambisius, tetapi ia juga sangat alim dalam bidang agama dan linuih.
Beberapa kisah karomahnya biasa dituturkan di kalangan keluarga keraton Sumenep dari masa ke masa. Salah satunya, kisah tentang Pangeran Jimat kedua yang bisa membaca kata hati orang lain. Menurut ilmu tasawuf, ketika seseorang mampu membaca hati seseorang, maka di situlah ia telah sampai kepada maqam mukasyafah.
Secara literal, mukasyafah berarti penyingkapan, yaitu penyingkapan dan penampakan sesuatu yang abstrak dan terselubung (mahjub). Dalam bahasa tasawuf, mukasyafah dihubungkan dengan orang yang memiliki kemampuan untuk menyingkap rahasia dan misteri alam gaib, baik alam gaib relatif maupun alam gaib mutlak
Dikutip dari mamera id pada 12 Maret 2021, “Dikenal dengan Pangeran Djimat karena kata-katanya menyenangkan, menyejukkan bagi para bawahannya. Itu kata-katanya itu, titahnya itu menjadi kenyataan, kata-katanya tidak pernah meleset. sehingga beliau dijuluki Pangeran Djimat. Mustajeb. Kalau kata orang Madura, mantih pangocap. Pangeran Jimat ini raja yang kedua.”
Tanpa jeda, Pak Iyan terus menjelaskan tentang sosok sang pangeran. “Namun, ada juga yang mengatakan jika julukan Pangeran Jimat itu karena memang beliau membuat jimat untuk berbagai keperluan banyak orang, seperti jimat untuk keselamatan, jimat untuk membentengi diri dari musuh, dan lain-lain,” kata Pak Iyan.
Pangeran Jimat dinilai sosok yang tegas dan mampu memberantas kemungkaran yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Sumenep, sehingga ia terkenal dengan Ratu Adil yang diturunkan Allah. Kehadiran Pangeran Jimat membuat masyarakat merasa aman, tentram, dan bahagia.
2 Replies to “Pangeran Jimat, Pemersatu Dua Kota”