Para Penunggang Pandemi

57 views

Bagi sebagian kalangan, pandemi ini bukan perkara hidup mati hari ini. Ia dijadikan palagan untuk berlaga di 2024 nanti. Itulah kenapa perdebatan yang muncul soal penanganan Covid-19 bergeser dari ranah kesehatan ke wilayah kekuasaan. Bukan perang melawan virus, tapi perang berebut pengaruh dan kekuasaan.

Teorinya sangat sederhana. Jika pandemi dapat segera tertangani dengan baik, dan masyarakat cepat terbebas dari paparan wabah, terbangun kondisi herd immunity, bagi sebagian kalangan ini justru situasi yang tidak menguntungkan. Sebagian kalangan justru akan diuntungkan jika penanganan Covid-19 amburadul. Semakin lama Covid-19 ini mewabah dan menyerang semakin banyak orang, kalangan ini akan semakin diuntungkan.

Advertisements

Perhitungan hitam-putihnya begini: jika wabah Covid-19 dapat segera diatasi dengan baik, maka sebagian kalangan, terutama diwakili oleh para oposan, menilai posisi partai penguasa akan dituntungkan dilihat dari kaca mata Pemilu 2024. Paling tidak, “orang-orang yang dianggap berjasa”  dalam penanganan pandemi dinilai memiliki modal sosial lebih besar dalam memperebutkan suara dan dukungan dari rakyat. Meskipun, dalam politik, adanya motif-motif seperti itu sah adanya.

Tentu saja situasi dan peta politik seperti itu tak diingini oleh kelompok-kelompok yang berseberangan. Dengan berbagai cara, mereka akan mengganjal dan mengganggu kebijakan dan program-program untuk penanganan pandemi. Kebijakan dan program penanganan pandemi selama ini bisa jadi memang bukan yang terbaik, tak sempurna, atau belum optimal. Bukannya dijadikan momemtum untuk saling membantu, situasi seperti itu justru dijadikan kesempatan dan pintu masuk untuk menyerang lawan.

Dari situasi dan peta politik seperti itulah akhirnya muncul ke permukaan para penunggang pandemi. Para penunggang pandemi ini, yang satu dengan lainnya, memiliki relasi dan korelasi secara relatif, dan bahkan di antara mereka sudah saling menunggangi. Siapa menunggangi siapa untuk memperoleh keuntungan apa sudah sedemikian karut-marut.

Intinya: pandemi ini janganlah cepat berlalu

Konfigurasinya bisa kita lihat mulai dari gejala yang seakan-akan muncul dari ruang hampa. Dengan profiling sebagai jelata, mungkin tak berpendidikan dan pengangguran, mungkin ayah atau ibu dari seorang anak atau anak yang tak memiliki orang tua, mereka bermain medsos dari ujung ke ujung negeri ini: tak memercayai pandemi atau percaya bahwa pandemi adalah buah dari konspirasi. Melalui medsos, pesannya menyusup ke dalam ruang-ruang pribadi kita, meremas-remas akal sehat kita.

Mungkin saja mereka memang benar-benar muncul dari ruang hampa. Alias, pesan-pesan yang mereka sebarkan melalui jejaring medsos benar-benar berasal dari ketidaktahuan atau kedunguan. Artinya tanpa motif dan preferensi politik. Tapi oleh para penunggang pandemi lainnya gejala seperti ini kemudian diberi motif, diberi preferensi politik, dan kemudian dikapitalisasi sebagai modal politik.

Atau bisa dilihat juga dari gejala lain yang memang muncul bukan dari ruang hampa. Memang bermotif dan berpreferensi. Sudah lama terjadi framing bahwa negara ini, atau lebih spesifik pemerintah yang mengelola negara ini, tidak merepresentasikan keislaman, karena itu tidak mewakili dan justru dicap memusuhi kepentingan Islam. Bahkan, KH Ma’ruf Amin, yang nota bene pernah menjadi Rais Aam PB NU dan Ketua Umum MUI, keberadaannya di dalam pemerintahan sebagai Wakil Presiden oleh sebagian kalangan tidak dianggap sebagai representasi Islam.

Dengan framing seperti itu, maka segala kebijakan dan program penanganan pandemi selalu dibentur-benturkan dengan masalah keislaman. Itulah kenapa nada-nada dakwah dari banyak dai isinya provokasi. Mungkin benar-benar bermotif agama tapi dengan pemahaman yang centang-perenang. Tapi kemudian ini diberi preferensi politik dan dikapitalisasi sebagai modal politik. Dan isunya pun digeser dari penanganan wabah ke pelarangan ibadah. Maka segala kebijakan dan program penanganan pandemi dicap sebagai ulah dari tangan-tangan kafir.

Sepanjang masa pandemi ini, gejala-gejala seperti itulah yang kita lihat. Orang-orang dari banyak kalangan berebut menunggangi pandemi dengan berbagai motif dan tujuan, lalu dikapitalisasi sebagai modal politik untuk berlaga pada 2024. Bahkan ada yang tak sabar menunggu saat itu tiba. Mereka khawatir pandemi segera berlalu sehingga akan kehilangan momentum itu. Maka di sana-sini muncullah gerakan-gerakan atau aksi-aksi penentangan terhadap kebijakan penanganan pandemi dalam berbagai bentuk, bahkan hingga berupa olok-olok pribadi. Tujuannya saling mendelegitimasi.

Orang-orang benar-benar telah terbelenggu oleh rantai kepentingan politik. Dan pandemi telah menjadi semacam kuda troya, yang di dalam perutnya memuat banyak kelompok kepentingan itu. Kita, sebagai penonton, jangan sampai terbuai oleh tipu dayanya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan