Pembongkaran Makam Mbah Lasemi

348 views

Setelah pemakaman Mbah Lasemi selesai, suasana rumah duka yang berada di bawah bukit itu kembali riuh. Ngalimin, putra pertama dari almarhumah Mbah Lasemi mengeluhkan gawai miliknya telah hilang. Padahal gawai itu baru dibelikan tiga minggu yang lalu oleh putra pertamanya yang bekerja di perusahaan batu bara di Pulau Kalimantan. Tidak hanya seberapa mahal atau siapa yang membelikan yang menjadi penyebab Ngalimin begitu bersedih atas kehilangan alat multi fungsi itu. Pasalnya, dalam situasi pandemi yang belum normal ini keberadaan gawai merupakan sebuah keharusan untuk menunjang sekolah putra bungsunya yang masih berada di kelas tujuh SMP.

“Kenapa Bapak bawa HP ke kuburan to?” protes anaknya yang kemudian tak dijawab oleh Ngalimin.

Advertisements

“Pokoknya harus dibelikan lagi!” rengek Hariri, anaknya yang terakhir. Ngalimin pun bertambah panik.

“Nanti Farhat bagaimana kalau mau menghubungi kita Pak?” Ndalikem atau Bu Kem, istri Ngalimin satu-satunya itu tak kalah panik sekaligus geram dengan kecerobohan suaminya.

“Apa jenengan ikut masuk ke liang lahat tadi Pak De?” tanya Kaliber, ponakan Ngalimin yang nama aslinya Khaibar itu.

“Iya Le. Tapi tadi sudah saya cari di pemakaman dan tidak ada,” dengus Ngalimin yang kini bersandar di tembok meratapi malang nasibnya, ibunya meninggal dan gawainya hilang pula.

“Coba saya cari ya Pak De,” timpal Kaliber, pemuda berkacamata minus tiga itu mengeluarkan laptop dari tasnya.

“Nggak usah Le, hujan-hujan begini kok,” sahut Ngalimin.

“Cuma cari di laptop kok Pak De,” ucap Kaliber berikutnya.

“Ono-ono wae Ber-Ber, hilang di kuburan kok nyarinya di laptop. Wes, nggak masuk blas!” timpal Ngalimin sembari memegangi jidatnya yang mulai penuh dengan keriput.

Orang-orang desa itu hanya melongo, antara kagum dan juga penasaran atas apa yang dilakukan oleh cucu Mbah Lasemi satu-satunya yang mengenyam pendidikan tinggi itu. Kaliber sejak sekolah di pesantren milik Kiai Darwis dan memang sudah tampak kecerdasannya. Bahkan kini dia tengah melanjutkan pendidikan tinggi di Yogyakarta sembari nyantri di salah satu pesantren di kota itu.

“Ketemu Pak De!” seru Kaliber yang kemudian membuat Ngalimin serentak berdiri mendekati keponakannya itu. Seketika itu pula Kaliber dikerumuni oleh banyak orang yang merupakan anak-cucu Mbah Lasemi nan gagap teknologi itu.

Kaliber melacak keberadaan gawai milik pamannya itu dengan menggunakan laptopnya, dan berhasil dideteksi, ternyata ada di lokasi pemakaman. Namun sayang kebahagiaan Ngalimin tak bertahan lama setelah keesokan harinya ia cari bersama Kaliber ternyata gawai itu tidak ada di atas makam Mbah Lasemi. Mereka yakin benda itu terjatuh ke liang lahat saat Ngalimin meletakkan jenazah ibunya saat prosesi pemakaman dua hari yang lalu. Dan anak-cucu Mbah Lasemi itu pun semakin ramai membicarakan gawai milik Hariri yang ikut terkubur bersama jasad neneknya.

Tetangga yang tak tahu diri berkata bahwa terkuburnya gawai Ngalimin bersama jenazah sang ibu itu merupakan akal-akalan Ngalimin untuk membuktikan bahwa doa yang dikirim saat tahlilan dapat sampai ke ruh Mbah Lasemi. Hal ini karena beberapa saat yang lalu putra pertama Mbah Lasemi itu baru berdebat dengan seorang anak muda yang baru pulang kuliah di Surabaya yang mengharamkan acara tahlilan. Dan dengan terkuburnya gawai itu Mbah Lasemi akan mengirim kabar jika kiriman doa itu telah sampai, begitu kata mereka, entah cuma kelakar atau karena pikiran yang mengada-ada. Dan ada pula yang bilang Kaliber yang ahli IT itu sedang melakukan penelitian tentang kebenaran siksa ataupun nikmat kubur. Selain itu, kalau memang benar ada pertanyaan kubur pasti Kaliber yang cerdas itu dapat mengeceknya melalui laptop canggih miliknya yang tersambung dengan gawai android yang dibawa mati oleh neneknya itu.

“Sudah diikhlaskan saja, Kang,” tukas Ngariem, salah satu adik Ngalimin.

“HP-mu meh mok silihke Hariri nggo sekolah po Yem?” semprot Ndalikem dengan penampakan bibir yang panjangnya melebihi hidung saking geram ada yang menganggap enteng hilangnya gawai milik anaknya.

“Kita gali saja kuburan simbah, Pak De,” usul Kaliber. Semua terkejut dengan usulan nyleneh itu. Ngadinem yang sedang memarut kelapa sampai terdiam menyimak usulan anaknya yang cerdas itu.

“Apa kita mau kuwalat kok berani membongkar makam simbah, Le?” tukas Ngadiyah.

“Percaya orang mati bisa membuat celaka itu nggak boleh Yah, syirik. Dosanya tiada ampun,” timpal Ngalimin. “Apa itu boleh, Le?” tanya Ngalimin pada Kaliber.

“Boleh Pak De,” sahut Kaliber kemudian.

“Jangan asal bolah-boleh, kamu Ber. Harus ada dasarnya,” timpal Ngadiyah, adik Ngalimin yang kedua.

“Betul itu. Mana dalilnya? Masalah agama tidak boleh asal bicara,” tukas Ngariem.

Merasa terpojok akhirnya Kaliber pulang mengambil kitab. Ia kemudian datang lagi sembari menunjukkan sebuah kitab beraksara Arab tanpa harakat yang sedikit lusuh.

“Ini Pak De, Bu De, Pak Lik, Bu Lik, semuanya. Monggo yang mau lihat, ini ada dasarnya. Boleh membongkar makam karena beberapa sebab yang mendesak,” seru Kaliber sembari menunjukkan kitab kuning tebal itu.

“Kitab apa itu Ber?” tanya Ngalimin.

“Apa isinya ber?” tanya Ndalikem pula.

“Baik, tolong dengarkan dulu ya semuanya. Jadi nama kitab ini adalah Nihayatuz Zain, sebuah kitab syarah karangan Syaikh Nawawi al Bantani al Jawi. Di sini disebutkan bahwa ada beberapa hal yang membolehkan dibongkarnya sebuah makam. Di antaranya adalah jika mayit belum sempat dimandikan, mayit dimakamkan di tanah ghasab atau memakai kain kafan ghasab, mayit belum dihadapkan ke arah kiblat, dan ada harta yang ikut terkubur bersama mayat. Nah, di sini kita bisa mengqiyaskan HP dengan harta, jadi kita boleh membongkarnya,” terang Kaliber panjang lebar.

“Apa itu benar Ber? Kamu nggak mengada-ada kan?” tanya Ngariem.

“Ngapunten, Bik Yem silahkan mondok dulu biar tahu kebenaran bacaan saya ini,” timpal Kaliber.

Setelah diskusi yang cukup alot serta sempat pula disowankan pada Kiai Darwis, akhirnya disepakati untuk menggali kembali makam Mbah Lasemi. Mereka bersepakat untuk melakukan pembongkaran setelah acara kenduri tujuh hari selesai. Ngalimin harap-harap cemas menantikan hari pembongkaran itu tiba. Ia sangat berharap pembongkaran sukses agar jenazah ibunya tak terusik sekaligus gawai milik anaknya bisa kembali.

Sementara itu para tetangga yang tak tahu diri nyeletuk, “Lihat saja, jika HP itu nanti memang terkubur bersama jenazah Mbah Lasemi, apakah pulsa di HP itu berkurang ataukah tidak. Jika berkurang dan ada jejak WA balasan untuk pertanyaan Si Kaliber apakah bacaan Yasin serta tahlil, juga doa-doa itu sampai, berarti selama ini amalan Yasin juga tahlil kita sampai dan tidak sia-sia.”

“Kau matilah dulu, akan kubawakan HP-ku yang canggih ini. Aku ingin tahu apakah orang mati di kuburan yang dibekali HP bisa membalas WA ataukah tidak,” timpal tetangga yang lain yang kemudian disambut dengan deraian tawa.

Dan waktu yang dinanti-nanti itu pun datang juga. Segenap keluarga anak-cucu Mbah Lasemi yang terdiri dari tujuh anak dan lebih dari sepuluh cucu itu ikut datang ke pemakaman. Ternyata gawai itu memang terkubur bersama mayat Mbah Lasemi. Betapa senangnya Ngalimin dan Ndalikem barang mewah itu bisa kembali. Hariri yang sejak beberapa hari yang lalu uring-uringan kini mulai berwajah cerah kembali. Namun sebenarnya dia juga senang jika gawai itu tidak ketemu karena dia bisa meminta gawai yang lebih baru lagi.

Bersamaan dengan ketemunya gawai milik Hariri itu terjadilah sebuah kehebohan. Jasad Mbah Lasemi yang telah terkubur selama hampir sepuluh hari itu masih utuh dan bahkan tercium juga bau wangi. Banyak di antara mereka yang menangis terharu. Bisik-bisik pun terdengar mengenang kembali kebaikan-kebaikan Mbah Lasemi semasa hidupnya.

“Apa sebenarnya kebaikan simbah semasa hidup Pak De, sehingga Allah mengistimewakan simbah begitu rupa?” tanya Kaliber yang heran melihat jasad utuh neneknya. Tidak hanya itu yang membuat dia heran, bau wangi bunga-bungaan yang masih tercium itu begitu membuat Kaliber penasaran tentang sosok neneknya.

“Simbok orang yang baik sekali, tak pernah mau jika diajak ngerasani kejelekan orang,” tukas Ndalikem.

“Seingatku dia selalu salat jemaah di musala peninggalan bapak,” kenang Ngariem.

“Itu memang benar, tapi kukira hal yang paling baik adalah ketika simbok mengikhlaskan harta warisan yang direbut oleh Mbah Das, adiknya yang serakah itu,” tukas Ngadiyah.

“Semua hal itu memang benar. Simbok orang yang salihah. Dan hal yang perlu kita ingat adalah, sekarang ini kita tidak punya sosok simbok yang bisa menasihati jika kita sedang keliru. Kita juga tidak punya tempat untuk bertanya lagi jika kita sedang ada masalah. Marilah kita bertanya pada diri sendiri masing-masing, apakah kita bisa meniru kebaikan-kebaikan simbok itu?”

Suasana pemakaman itu berubah senyap dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Ngalimin.
* * *
Mentaraman, 6 Desember 2021.

Multi-Page

One Reply to “Pembongkaran Makam Mbah Lasemi”

Tinggalkan Balasan