Pembunuhan di antara Dua Fragmen Kasih Sayang

80 views

Siang itu, Martin tengah mengaduk kopi keduanya ketika datang kabar kematian istrinya. Ia mati digorok tetanggamu yang janda itu, saudaranya berkabar melalui telepon. Martin bingung, kepalanya sibuk mengurai berita itu menjadi kepingan-kepingan yang mudah dicernanya. Tapi, betapapun kerasnya ia memikirkan beragam kemungkinan, pertanyaan ini tak juga terjawab: Bagaimana bisa?

“Pulanglah. Jasadnya sudah dibawa ke rumah sakit Citra Kasih.”

Advertisements

“Lalu, bagaimana dengan Sari?”

“Pembunuhnya maksudmu? Bodoh, tentu di kantor polisi.”

Saudaranya lantas menutup telepon begitu Martin bilang akan langsung pulang. Dan itulah yang ia lakukan. Setelah bilang ada urusan mendadak, Martin akhirnya bisa keluar dari kantornya yang berada di lantai lima sebuah gedung. Kepergiannya tentu tak mudah, sebab ia mesti terlebih dahulu meyakinkan atasannya bahwa proyek iklan yang tengah digarapnya akan selesai malam ini juga. Masalahnya, ia tak tahu malam nanti ia punya tenaga untuk menggarapnya lagi atau tidak. Berita itu datang terlalu tiba-tiba, dan kedatangannya teramat menyentaknya. Bagaimana bisa? Ia mengulang pertanyaan itu lagi.

Bodoh, kenapa kau terlalu gegabah? rutuknya dengan kesal.

Martin memutar setirnya. Alih-alih mengendarai mobilnya ke jalan yang menuju ke rumah sakit Citra Kasih, Martin justru membelokkan mobilnya ke jalurnya yang berbeda. Ia akan ke kantor polisi terlebih dahulu.

***

Setelah keluar dari penjara dan pulang ke rumah hanya untuk mendapati suaminya tengah bergelung dengan perempuan lain, Sari tahu bahwa saat itu adalah waktu yang tepat untuk meminta cerai pada suaminya. Ya, aku pun tak mau punya istri pembunuh sepertimu, kata suaminya ketika Sari mengatakan keinginannya. Lalu, dua minggu kemudian, setelah ia sah menjadi seorang janda, oleh orangtuanya, Sari dibawa pulang ke rumah.

“Ingat, Nak. Kamu tidak salah. Suamimu yang selingkuh,” ucap ibunya.

“Tidak, Bu. Aku pembunuh! Aku membunuh anakku sendiri!” Sari menangis tergugu.

Di bahu ibunya, Sari berurai air mata. Bayangan anaknya yang menggelepar di jalan dan bergelimang darah memenuhi kepalanya. Ingatan itu masih jelas, sepekat darah yang membanjir dari kepala anaknya. Dan bila begini, Sari hanya bisa menyalahkan dirinya atas kecelakaan itu. Anaknya yang dulu masih balita itu meninggal karena kelalaiannya, itu sudah jelas. Itu pula alasannya ia bisa didakwa bersalah oleh kepolisian.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan