Langit Watugugur di Bulan Ramadan yang cerah bersolek dengan semburat jingga di ufuk Barat. Lantunan tilawah qari-qari ternama berebut di cakrawala: Suara Syekh Mishari Rashid bergema dengan lembut di arah Barat; Suara Thaha Husein kecil yang terdengar imut mengalun di arah Timur; sementara arah Utara dikuasai suara tinggi Muammar Z.A. yang melegenda.
Berbeda dengan daerah lain yang langitnya didaulat suara rekaman, di sebelah Selatan, suara Kiai Munip sayup-sayup memenuhi ruang. Suara kiai sepuh ini menyimpan wibawa dan daya tarik. Tak heran jika di setiap petang warga Watugugur dan sekitarnya berbondong-bondong pergi ke Masjid Baiturrahmah untuk mendapat siraman rohani dari tokoh kharismatik ini.
Pengajian Kiai Munip berakhir seiring masuknya waktu salat Maghrib. Diiringi suara azan Kang Mangil, jemaah menyantap takjil spesial yang dibawa Azhar dan Kuncoro dari rumah Kiai Munip. Jika biasanya jemaah berbuka dengan kue cucur, kue lapis, arem-arem, wajik, ondol-ondol, dan jajanan pasar lain, maka kali ini mereka menyantap kurma impor “Made in Saudi Arabia” dan minuman kemasan yang mereknya susah dieja oleh warga Watugugur.
Tak sampai di situ, selepas salat Maghrib, jemaah disuguhi nasi briyani yang diantar pemuda-pemuda bertampang Timur-Tengah menggunakan mobil. Konon, makanan ini diantar dari ibu kota kabupaten langsung. Begitu informasi yang terdengar dari jemaah ibu-ibu di seberang satir.
Kang Mad Iksan yang makan senampan dengan Kiai Munip tak kuat menahan rasa penasarannya yang sejak tadi bergejolak. Ia ingin sekali bertanya, namun seakan ada sesuatu yang menghalanginya.
“Dari mana Kiai Munip mendapat makanan-makanan ini? Apakah Kiai Munip sedang cairan? Apakah ini pemberian dari syekh dari Arab yang kebetulan kenal dengan Kiai Munip?” Demikian kiranya pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benak petani wortel itu.
Selesai makan, Mad Iksan akhirnya tak kuat lagi menahan rasa penasarannya. Ia yang sudah berhenti makan sebelum teman senampannya selesai makan, akhirnya berani mengutarakan rasa penasarannya.