Pengajian Premium

306 kali dibaca

Langit Watugugur di Bulan Ramadan yang cerah bersolek dengan semburat jingga di ufuk Barat. Lantunan tilawah qari-qari ternama berebut di cakrawala: Suara Syekh Mishari Rashid bergema dengan lembut di arah Barat; Suara Thaha Husein kecil yang terdengar imut mengalun di arah Timur; sementara arah Utara dikuasai suara tinggi Muammar Z.A. yang melegenda.

Berbeda dengan daerah lain yang langitnya didaulat suara rekaman, di sebelah Selatan, suara Kiai Munip sayup-sayup memenuhi ruang. Suara kiai sepuh ini menyimpan wibawa dan daya tarik. Tak heran jika di setiap petang warga Watugugur dan sekitarnya berbondong-bondong pergi ke Masjid Baiturrahmah untuk mendapat siraman rohani dari tokoh kharismatik ini.

Advertisements

Pengajian Kiai Munip berakhir seiring masuknya waktu salat Maghrib. Diiringi suara azan Kang Mangil, jemaah menyantap takjil spesial yang dibawa Azhar dan Kuncoro dari rumah Kiai Munip. Jika biasanya jemaah berbuka dengan kue cucur, kue lapis, arem-arem, wajik, ondol-ondol, dan jajanan pasar lain, maka kali ini mereka menyantap kurma impor “Made in Saudi Arabia” dan minuman kemasan yang mereknya susah dieja oleh warga Watugugur.

Tak sampai di situ, selepas salat Maghrib, jemaah disuguhi nasi briyani yang diantar pemuda-pemuda bertampang Timur-Tengah menggunakan mobil. Konon, makanan ini diantar dari ibu kota kabupaten langsung. Begitu informasi yang terdengar dari jemaah ibu-ibu di seberang satir.

Kang Mad Iksan yang makan senampan dengan Kiai Munip tak kuat menahan rasa penasarannya yang sejak tadi bergejolak. Ia ingin sekali bertanya, namun seakan ada sesuatu yang menghalanginya.

“Dari mana Kiai Munip mendapat makanan-makanan ini? Apakah Kiai Munip sedang cairan? Apakah ini pemberian dari syekh dari Arab yang kebetulan kenal dengan Kiai Munip?” Demikian kiranya pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benak petani wortel itu.

Selesai makan, Mad Iksan akhirnya tak kuat lagi menahan rasa penasarannya. Ia yang sudah berhenti makan sebelum teman senampannya selesai makan, akhirnya berani mengutarakan rasa penasarannya.

Punten Kiai, Kiai habis cairan atau dapat sumbangan dari mana? Kok, kami-kami yang biasa makan tempe-tahu diajak makan makanan orang haji begini?” tanya Kang Mad Iksan polos.

“Nah iya, Inyong juga penasaran!” sahut Lik Slamet yang tampaknya sejak tadi memendam rasa yang sama dengan Kang Mad Iksan.

“Sudah saya duga banyak yang penasaran mengapa kita bisa makan seistimewa ini. Baiklah saya akan beritahu mengapa makanan-makanan ini bisa sampai di sini,” jawab Kiai Munip sembari mengeluarkan bungkusan plastik.

Di dalamnya ada papir, menyan, tembakau, dan tetek bengek rokok lintingan lain. Sembari meracik rokok, ia juga seakan mengumpulkan bahan untuk diceritakan kepada Lik Slamet dan Kang Mad Iksan.

Tanpa dikomando, jemaah lain yang juga telah selesai makan ikut merapat, termasuk dua santri Kiai Munip, Azhar dan Kuncoro.

***

Nawwal sedang asyik memainkan ponsel pintarnya. Hari ini sekolahnya libur sehingga ia memilih rebahan sambil memainkan ponsel. Ketika sedang scrolling di Twitter, tiba-tiba ada panggilan WhatsApp dari nomor yang tak dikenal masuk. Nawwal langsung mengangkat panggilan tersebut.

“Assalamualaikum. Hallo. Sinten nggih?” tanya Nawwal dengan sopan.

“Waalaikumsalam, ya Syekhana ‘Abdal Munif Al Watuguguri,” jawab si penelepon. Dari cara memanggil Kiai Munif, Nawwal paham bahwa lawan bicaranya bukan warga Watugugur. Lawan bicara Nawwal, yang sepertinya seorang lelaki paro baya, memanggil Kiai Munip dengan nama lengkapnya, bahkan disertai gelar “Syekh” dan “Al Watuguguri” yang terdengar aneh.

Di luar keheranan ini, Nawwal sebenarnya sudah terbiasa jika ada panggilan masuk ke ponselnya dari orang tak dikenal dan panggilan tersebut ditujukan untuk bapaknya. Kiai Munip memang selalu memberi nomor ponsel anak bungsunya itu ketika ditanya mengenai nomor telepon yang bisa dihubungi. Singkatnya, Nawwal seakan sudah menjadi call center bagi Kiai Munip.

Dengan mengenakan kerudung paris yang seadanya, Nawwal buru-buru keluar kamar dan mendekati bapaknya yang tengah asyik berdiskusi dengan Azhar. Nawwal memberikan ponselnya kepada Kiai Munip. Kiai sepuh itu sudah mafhum mengapa putri bungsunya itu memberikan ponsel pintarnya.

“Assalamualaikum. Hallo. Sinten nggih? Ada yang bisa dibantu?” sapa Kiai Munip dengan ramah. Berikutnya, terjadi percakapan singkat antara Kiai Munip dan si penelepon.

Setelah panggilan berakhir, Kiai Munip kembali berdiskusi dengan Azhar. Ia tampaknya begitu kepo mengenai Crypto yang sedang marak diperbincangkan. Sebagai kiai rujukan umat, meski hanya umat Desa Watugugur, ia merasa harus tahu pelbagai ihwal mutakhir yang berpotensi menimbulkan permasalahan di kalangan masyarakat.

***

Kiai Munip baru saja pulang dari masjid. Ketika akan membuka pintu rumah, sebuah mobil berhenti di depan rumahnya. Seorang berperawakan pendek dan bergamis putih keluar dari mobil. Ia diiringi dua pemuda, yang seorang membawa dua dus besar kurma dan yang lain membawa dua kerat minuman dengan merek yang tampaknya sulit dieja sebagian besar warga Watugugur, termasuk Kiai Munip sendiri.

Lelaki bergamis itu menghampiri Kiai Munip. Ia mengucapkan salam sebelum memeluk Kiai Munip dan melakukan cipika-cipiki.

“Apakah benar Antum Syekh ‘Abdul Munif Al Watuguguri?” tanya lelaki itu dengan sopan.

“Benar sekali, Tuan. Tetapi hanya ‘Abdul Munif saja, tanpa ‘Syekh’ dan ‘Al Watuguguri.’ Mari masuk. Tidak elok mengobrol di depan rumah begini,” respons Kiai Munip. Mereka pun masuk ke rumah Kiai Munip.

“Jadi, apa yang bisa saya bantu, Tuan?” tanya Kiai Munip membuka obrolan.

“Sebelumnya, Ana ingin memperkenalkan diri dulu. Ana Sudarjo Abu Syaif. Ana berasal Cilacap, tetapi Alhamdulillah, lama muqim di Saudi.”

“Masyaallah! Rika wong Cilacap?! Cilacape mendi? Wonge dewek jebule!” jawab Kiai Munip antusias.

Kiai Munip sering pergi ke Cilacap untuk bersilaturahmi dengan teman-teman sepondoknya dulu. Ia kenal betul pembagian wilayah di kabupaten yang terletak di Selatan Jawa Tengah itu.

Ana dari Kroya,” hawab Sudarjo singkat. Ia tampak tak tertarik memperbincangkan asal usulnya.

“Kembali ke hajat mengapa Ana datang ke Antum, Syekh. Ana EO dari acara bertajuk ‘Pengajian Premium.’ Pada edisi tahun ini, kami mengadakan pengajian premium di kawasan Pegongsoran. Qadarullah, ustaz yang sudah menyanggupi untuk mengisi pengajian udzur. Ana berharap Antum berkenan untuk menggantikan ustaz yang berhalangan itu,” tutur Sudarjo to the point.

Mengko disit. ‘Kajian Premium’ itu apa? Apa kajian tentang kekurangan dan kelebihan bengsin Premium dibandingkan bengsin Pertalit ataupun Pertamak?” tanya Kiai Munip polos. Kebetulan isu bahan bakar sedang hangat pula sehingga pikirannya sampai ke topik tersebut.

Ketiga tamu Kiai Munip terperanjat. Dalam benak, mereka ingin tertawa terpingkal-pingkal mendengar pertanyaan kiai kampung yang satu ini. Namun mereka tertahan oleh rasa takzim mereka kepada Kiai Munip yang mereka rasakan sejak awal berjumpa tadi. Jadilah mereka menahan tawa sebisa mungkin.

“Jadi seperti ini, Kiai. Jika pengajian reguler, ‘afwan, pengajian umum, pengajian bisa diikuti oleh semua orang tanpa terkecuali. Pengajian model seperti itu kurang efektif bagi jemaahnya. Jadi, Ana mengadakan ‘Pengajian Premium’ di mana acara hanya diikuti oleh tidak lebih dari dua puluh orang,” katanya..

“Kajian intensif ini akan dilaksanakan selama seminggu di daerah wisata Pegongsoran yang sejuk. Pengajian akan dilaksanakan di vila mewah sehingga peserta pengajian bisa dengan nyaman dan fokus mengikuti pengajian. Pengajian ini akan diikuti oleh pejabat, pengusaha, dan artis. Menurut informasi terbaru, Tuku Wisnu dan Suren Sungkar  akan ikut bergabung. Antum tahu keduanya, kan, Syaikh?” tutur Sudarjo panjang lebar.

“Saya baru dengar pengajian seperti ini. Mirip pesantren kilat tapi tinggalnya di vila. Bagaimana jika pengajian bengsin itu dipindah ke masjid kampung sini saja, Masjid Baiturrahmah. Selain lebih murah, pengajian ini juga bisa menjadi ittiba kita kepada Kanjeng Nabi di mana beliau melakukan iktikaf di sepuluh hari terakhir Bulan Ramadan,” tawar Kiai Munip.

“Masyaallah…” jawab Sudarjo singkat. Ekspresinya datar menunjukkan rasa kecewa.

“Sebelumnya saya mengucapkan  maturnuwun atas tawarannya. Tapi Saya punya jemaah yang tidak bisa ditinggalkan. Jika Panjenengan mau memindahkan pengajian ke Masjid Baiturrahmah, saya bersedia. Nanti akan kami sediakan penginapan ala kadarnya,” jelas Kiai Munip.

Tanpa dibarengi sepatah katapun, Sudarjo menyodorkan map kuning kepada Kiai Munip. Dengan sebuah isyarat, ia mempersilakan Kiai Munip membuka map tersebut.

Kiai Munip membuka map tersebut. Di dalamnya terdapat sebuah daftar yang berjudul “Daftar Bisyarah Ustaz Pengisi Pengajian.”

Di bawahnya terdapat rincian tunjangan yang akan didapat Kiai Munip jika ia mengiyakan ajakan ini. Kiai Munip hanya melihat sekilas bagian dalam map dan kemudian menngembalikannya kepada  Sudarjo.

“Mohon maaf, tetapi Saya tidak bisa mengiyakan tawaran ini,” tutur Kiai Munip berhati-hati. Ia tidak ingin menyakiti perasaan tamunya siang itu.

“Jika Syekh tidak cocok dengan makanan berbuka di sana, nanti Ana bisa pesankan Antum Mc’Donald, KFC, Hanamasa, Bebek Haji Slamet, atau apapun yang Syekh inginkan,” tawar Sudarjo.

“Donald Bebek? Maksud Sampean bebek goreng? Saya tidak suka bebek,” jawab Kiai Munip sekenanya. Ia tidak memahami nama-nama yang disebutkan Sudarjo tadi. Ketiga tamu Kiai Munip kembali menahan tawa. Mereka kali ini lebih berhasil menahan tawa daripada saat Kiai Munip menghubungkan Pengajian Premium dengan macam-macam bahan bakar.

“Begini saja, Syekh. Saya beri waktu Antum sehari untuk berpikir dahulu. Tidak baik memutuskan sesuatu secara terburu-buru,” tutur Sudarjo menetralisasi keadaan.

“Oh iya Syekh, ini sedikit hadiah dari Ana untuk Syaikh dan jemaah,” ucap Sudarjo sambil menunjuk dua kerat minuman dan dua kardus kurma. Semoga Antum dan jemaah suka.

Setelah itu, ketiga tamu Kiai Munip berpamitan. Mereka pergi meninggalkan tawaran dan pesimisme yang lekat.

***

“Punten, Kiai. Kulo izin menyela. Kalau boleh tahu di dalam map yang si Sudarjo sodorkan ada keterangan nominal bayaran atau tidak?” tanya Lik Slamet selepas Kiai Munip menceritakan asal-usul kurma dan nasi briyani yang jemaah makan tadi.

Ia tampak malu menanyakannya, namun rasa penasarannya mengalahkan rasa malunya.

Kiai Munip tidak langsung menjawab. Ia terlebih dahulu mengisap rokok kemudian mengepulkan asapnya. Dari raut mukanya, ia terlihat sedang mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan sensitif Lik Slamet itu.

“Cukup untuk membayar tagihan listrik warga satu RW kita dalam sebulan,” jawab Kiai Munip singkat.

“Wah, Itu sih ngode gajah namanya. Cukup untuk kawin lagi. Hehehe,” cletuk Kang  Mad Iksan.

“Baca al-Fatihah saja Koen masih blepotan. Sok-sokan ingin jadi ustaz dengan bayaran mahal,” olok Lik Slamet disambut gelak tawa jamaah yang hadir di “pengajian tambahan” petang itu.

“Kalau Kiai mulang pengajian pertalit itu, lantas siapa yang akan mulang di pengajian sebelum berbuka dan bakda Subuh?” tanya Diman yang sejak tadi diam.

“Memang siapa yang akan mengiyakan?” tanya balik Kiai Munip.

“Kan siapa tahu. Saya sih rumangsa tidak bisa ngamplopi Kiai selama pengajian Ramadan ini,” pasrah Diman.

Kiai Munip hanya terkekeh. Ia lantas menghidupkan kembali rokok lintingannya yang apinya mati. Kiai Munip terdiam sejenak sambil menatap langit-langit masjid seakan mencari bahan untuk melanjutkan obrolan.

“Jadi seperti ini. Ada kaidah pekih yang berbunyi ‘al-muta’addi afdhalu minal qashir.’ Maksudnya, amal ibadah yang manfaatnya dirasakan oleh selain pelaku amal lebih utama daripada amal ibadah yang dampaknya hanya dirasakan oleh pelaku. Atau bisa berarti pula bahwa amal ibadah yang memberi manfaat ke lebih banyak orang lebih utama daripada amal ibadah yang memberi manfaat pada lebih sedikit orang,” Kiai Munip bertutur.

“Pada tawaran yang saya dapat tadi siang, memang benar ketika saya mengisi pengajian itu akan memberi manfaat kepada dua puluh peserta, namun di pengajian rutin kita, jumlah jemaah jauh lebih banyak daripada jumlah pengajian di Pegongsoran. Jadi, pengajian di Baiturrahmah ini lebih utama. Sepertinya saya sudah pernah membahasnya dulu ketika saya diajak jadi instruktur umrah di Bulan Ramadan,” urai Kiai Munip dengan ekspresi yang serius.

“Kami juga bingung jika Kiai tindakan. Tak ada satupun yang sanggup menggantikan Kiai,” tutur Kang Mangil yang juga ikut nimbrung.

“Kalaupun ada, pasti rasanya berbeda,” tutur Azhar menambahkan.

“Dan sebenarnya ada satu alasan lagi,” Sahut Kiai Munip dengan nada serius.

Ekspresi mukanya seakan sedang mengenang sesuatu. Suasana mendadak hening. Sayup-sayup terdengar petasan yang dinyalakan anak-anak kecil yang sedang menunggu azan Isya.

“Pesan Bapak ketika akan meninggal adalah ia menitipkan jemaah Masjid Baiturrahmah. Beliau berpesan kepada saya untuk merawat jemaah, terutama saat Bulan Ramadan,” tutur Kiai Munip dengan khidmat. Rupanya ia sedang mengenang mendiang bapaknya, Kiai Dolah.

“Memang kenapa dengan jemaah Masjid Baiturrahmah saat Bulan Ramadan?” heran Kang Mad Iksan.

“Kata bapak, banyak jemaah yang datang ke masjid hanya ketika Bulan Ramadan tiba. Ketika jemaah ‘musiman’ ini datang, seyogyanya mereka dirawat sebaik mungkin. Harapannya adalah mereka betah di masjid sehingga mereka tetap pergi ke masjid meski sudah memasuki Syawal dan bulan-bulan setelahnya. Alasan ini juga yang membuat saya menolak tawaran tadi pagi.”

Kang Mad Iksan yang merasa sebagai salah satu ‘jemaah musiman’ yang Kiai Munip sebut hanya bisa tersenyum kecut. Ia berharap azan Isya secepatnya berkumandang.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan