Siapa sesungguhnya para pengemis yang sering kita jumpai di pinggir-pinggir jalan, di antara tiang lampu merah perempatan jalan, di antara kerumunan orang, atau yang beruluk salam dari balik pagar rumah-rumah penduduk?
Benarkah mereka ini kaum papa nan tak berdaya, sehingga untuk sesuap nasi pun harus menadahkan tangan ke mana-mana, menjadi peminta-minta? Di negeri yang dikarunia limpahan kekayaan alam tiada tanding ini, masa iya masih ada orang kelaparan?
Hari ini saya membaca berita, tapi nun jauh di sana, ada seseorang bernama Bharat Jain. Jika melihat aset yang dimiliki, lelaki yang berasal dari Mumbai, India, ini bukanlah orang miskin. Menurut India Times, Rabu (12/7/2023), asetnya bernilai Rp 13,7 miliar. Bharat juga tinggal di sebuah apartemen mewah senilai Rp 2 miliar. Ia juga memiliki sebuah toko di kawasan elite yang nilai sewanya sekitar Rp 5,5 juta per bulan.
Dengan bekerja selama 10-12 jam dalam sehari, penghasilan Bharat Jain rata-rata mencapai 60 sampai 75 ribu rupee atau setara dengan Rp 10 juta sampai Rp 13 juta per bulan. Bandingkan dengan upah minimum regional (UMR) tertinggi di Indonesia, di Kabupaten Karawang, yang hanya Rp 5,1 juta per bulan. Apalagi jika dibandingkan dengan rata-rata upah minimum di India sana yang cuma Rp 912 ribu.
Dengan aset yang telah dimilikinya itu, dengan pendapatan bulanannya itu, tentu Bharat bukan tergolong orang miskin, bahkan di India sana. Sebab, di India, orang disebut miskin jika pendapatannya kurang dari 375 rupee sehari atau 11.250 rupee sebulan. Sementara, Bharat bisa meraup 60 ribu sampai 75 ribu rupee per bulan. Jelas, Bharat Jain tergolong orang kaya. Bukan si papa.
Lalu apa pekerjaannya? Mohon jangan tertawa, karena ini benar-benar tak lucu. Sehari-sehari, kesibukan Bharat hanya menadahkan tangan di jalanan. Mengemis. Ya, ternyata dia adalah seorang pengemis. India Times menjulukinya sebagai pengemis terkaya di dunia. Dan kekayaannya akan terus bertambah, karena Bharat Jain tak mau berhenti jadi pengemis. Sepertinya, mengemis telah menjadi profesinya.
Apakah fenomena seperti itu hanya ada di India? Sepertinya tidak. Sebab, sudah sering terungkap di banyak peristiwa, banyak pengemis di Indonesia ternyata bukan mereka yang papa, bukan mereka yang tak berdaya. Tapi bisa jadi mereka yang penuh tipu daya.
Pada 5 Februari 2022, misalnya, Kompas melaporkan seorang pengemis bernama Legiman memiliki kekayaan lebih dari Rp 1 miliar. Lelaki yang tinggal di Pati, Jawa Tengah, ini memiliki tabungan Rp 900 juta, rumah senilai Rp 250 juta, dan tanah senilai Rp 275 juta. Wajar kekayaannya sebesar itu, sebab dari mengemis, dalam sehari ia bisa meraup Rp 1 juta atau Rp 30 juta per bulan! Setara dengan gaji seorang eksekutif kelas menengah-atas.
Ada juga Siswari, pengemis asal Semarang, Jawa Tengah. Dari mengemis, Siswari memiliki deposito di bank senilai Rp 140 juta dan tabungan Rp 16 juta. Dan masih banyak lagi para pengemis seperti Legiman dan Siswari, yang sebenarnya adalah orang-orang yang sudah kaya dan berdaya. Malah banyak yang sudah bermobil dan memegang kartu kredit. Namun sehari-hari mereka tetap berpenampilan gembel, lusuh, memelas, atau invalid dengan berpura-pura lumpuh atau buta mata demi mengundang iba.
Selain penuh tipu daya seperti itu, mereka juga sering “tebang pilih” jika kita hendak berderma atau bersedekah. Kebanyakan mereka kini mengemis demi uang, bukan yang lain. Saya pernah mengalami, dan beberapa kali menyaksikan, peristiwa di mana para pengemis itu tak sudi didermai yang bukan uang. Jika mereka bilang kehausan atau kelaparan dengan mengaku tak punya uang, belum tentu juga sudi kita sedekahi air atau makanan. Sebab, sedekah yang mereka minta dari kita adalah uang, bukan yang lain. Saya pernah menuliskan peristiswa-peristiwa seperti itu dalam bentuk cerpen, di sini dan di sini.
Sebab, dengan uang, uang yang banyak, kita bisa melakukan segalanya. Kalau kita sedekahi barang, seperti pakaian atau makanan atau lainnya, dan bukan uang, mana bisa ada pengemis seperti Aris Munaji itu, yang sehabis mengemis asyik masyuk memeluk pemandu lagu bening di ruang-ruang karaoke.
Dengan fenomena-fenomena seperti itu, bagaimana sikap kita? Mau terus memberi yang mereka minta? Menolaknya? Memilahnya? Atau bergabung bersama mereka?
Jika pertanyaannya adalah, “Di negeri yang dikarunia limpahan kekayaan alam tiada tanding ini, masa iya masih ada orang kelaparan?” Jawabannya adalah PASTI ADA. Banyak berseliweran di media pemberitaan seorang anak dengan adik yang banyak, berusaha mencari makan dengan berjualan sabun karena kedua orang tuanya telah tiada. Seorang kakek yang sudah tua renta masih berjualan bakso, dan banyak lagi orang-orang yang tidak memiliki harta benda hidup dengan cara menjadi pemulung, dlsb. Tetapi mereka tidak menghinakan diri dengan cara jadi peminta-minta atau pengemis.
Jika kemudian ditanya, “Bagaimana sikap kita? Mau terus memberi yang mereka minta? Menolaknya? Memilahnya? Atau bergabung bersama mereka?” Jawaban saya adalah, “Saya ingin bergabung bersama mereka, tetapi bukan untuk menjadi pengemis. Namun ingin memberikan pemahaman bahwa meminta-minta dengan kondisi yang tidak layak merupakan sebuah kehinaan.” Tetapi, bagaimana caranya? Adakah yang punya ide? Bantu Dong!