Penyair Itu Suamiku

59 views

Terpincang-pincang setelah kaki kirinya tertimpuk batu bata. Pak Herman berjalan kaki dari tempat kerjanya dengan menembus gelap malam. Tukang urut yang baru saja meriksanya, memintanya agar jangan terlalu kecapean ketika beraktivitas. Sebab, lukanya akan semakin parah dan bisa berakibat fatal. Namun, baginya, itu semua hal biasa, seperti halnya angin malam yang sering kali menyapa tubuhnya, dingin dan perlahan menghilang.

Damar, anaknya, sudah lama sekali menunggunya di bawah tiang listrik, di tepi trotoar yang ramai pengendara berlalu-lalang. Namun Pak Herman belum juga menampakan diri. Kurang lebih empat jam lamanya Damar menunggu. Ia terlihat kesal, nampak di kerutan dahinya.

Advertisements

Yang ditunggu akhirnya tiba juga. Di seberang jalan, seorang lelaki sedang berjalan terpincang-pincang, seakan sangat merasakan kesakitan yang serius. Dengan cepat Damar menghampirinya. Lelaki itu, ayahnya, datang dengan membawa tiga bungkus nasi dalam plastik. Seperti biasa, tiga bungkus nasi itu buat makan malam bersama keluarganya di rumah.

Damar kemudian memapahnya, menyeberangi jalan. Mereka pulang melalui arah yang tak begitu jauh dari rumah.

“Mengapa ayah berjalan terpincang-pincang?”

Pak Herman hanya diam, enggan memberitahu karena menganggap hal itu hanya akan membuat anaknya sedih.

“Sebelum kamu menikah, carilah pekerjaan dengan penghasilan yang bisa menopang hidup keluargamu kelak!” ucap Pak Herman kepada Damar, anak semata wayangnya yang kini sudah berusia dua puluh satu tahun.

“Jangan sekadar mau menikah saja. Kalau begitu, aku juga mau menikah dengan banyak perempuan, seandainya tak harus menafkahinya, apalagi harus berdarah-darah berkerja,” ucapnya lagi sembari diam di atas papahan putranya.

“Aku belum mau menikah. Aku tak percaya perempuan-perempuan sekarang ini. Mereka terlalu memandang rupa, harta, dan takhta,” kilah Damar. Ayahnta tertawa kecil mendengarnya. “Aku hanya ingin menikah dengan bidadari-bidadari surga, kelak!”

Tak terasa mereka sudah sampai di depan rumah. Pak Herman meminta Damar untuk berhenti dan duduk sejenak di anak tangga depan rumahnya.

“Sejak kapan kamu jadi tolol begini?” tanyanya dengan melempar senyum kepada Damar.

***

Nyala matahari menyingsing, rumah Pak Herman tidak terlihat sepi seperti biasanya. Meski Damar keluar, entah ke mana, semantara Buk Fatma berjualan di pasar tak jauh dari rumahnya. Pak Herman yang biasanya aktif menjadi loper koran, sudah beberapa hari memilih untuk cuti. Sebab, kakinya yang tertimpa batu bata masih terasa sakit buat berjalan.

Lantai kamar begitu kotor. Pak Herman yang membaring tubuhnya di ranjang merasa risih melihatnya. Ia membersihkan dan merapikannya semuanya. Tak sengaja, ia melihat di balik bantal milik istrinya, buku tebal bertuliskan puisi, yang ditulis dengan darah. Ia membacanya beberapa bagian, bahwasanya istri yang telah dua puluh satu tahun ia nikahi, tidak pernah mencintainya. Istrinya berjanji kepada lelaki cinta pertamanya akan kembali kelak setelah waktunya tiba.

“Damar benar, ia tidak tolol. Aku yang tolol, kenapa perempuan yang aku cintai menipuku dengan cinta, bajingan!” ucapnya dengan buku di tangannya. “Ini salah satu alasan logis Damar, tidak mau menikah dengan perempuan sekarang ini.”

Pak Herman teringat atas apa yang di katakan Damar. Sangat terpukul jiwanya, kemudian ia membereskan semua pakaian dan memasukkan ke dalam bundelan kain. Ia pergi meninggalkan rumah dan keluarganya, tanpa sepucuk surat pun yang ditinggalkannya.

***

Sepuluh tahun berlalu. Bu Fatma telah menikah dengan laki-laki yang ia tulis dengan rahasia dalam puisinya. Damar juga telah menikah, namun tetap saja ia merasa hambar. Sebab ada yang kurang, karena melihat ayahnya tak ada dalam pesta pernikahannya. Sosok ayah yang selalu menjadi motivator hidupnya. Semua ia rasakan sangat berbeda.

Sementara, Pak Herman mengembara selama enam tahun lebih bersama puisi-puisinya yang ia tulis. Ia seakan terkutuk menjalani hidup. Ratusan puisi telah diciptanya. Puisi-puisinya ia tulis di atas kertas bungkusan nasi. Kemudian membuangnya secara cuma-cuma ke sungai yang mengalir begitu deras. Hingga pada akhirnya ia terkapar di tepi sungai yang jauh dari keramaian: meninggal!

***

Di bawah rindang kamboja, Damar merenung, berdua dengan istrinya, Arsy.

“Seandaikan ayah ada, mugkin kita tidak akan haus motivasi menghadapi kehidupan dunia yang fana ini,” ucap Damar menatap tajam ke arah langit.

“Aku sangat kenal Pak Herman, selain sekarang adalah mertuaku, beliau juga mahaguru sastra yang sering kali dipuja,” sahut istrinya.

Damar menatap lekat mata istrinya. “Ayahku pernah mengajarmu?” tanyanya.

“Ayah…, Ibu…! Aku menemukan tulisan yang tertera nama nenek, Fatma,” ucap Panji, terengah-engah.

Damar tidak bisa memahami sastra: puisi. Ia menyuruh istrinya membacakannya. Istrinya menangis saat membacanya.

“Hatiku sangat tersentuh membaca puisi ini,” ucap Arsy setelah membacakan beberapa puisi. “Ini adalah puisi dengan jiwa sastra melebihi tingkat dewa, ini akan meruntuhkan air mata para pembaca. Penyair ini sangat menderita, atas kehilangan sesuatu yang berharga dalam dirinya. Sehingga ia harus rela menjalani hidup bertahun-tahun jauh dari kata sempurna dengan luka-luka dalam dadanya yang jadi bebannya.”

“Ayah!?” ucap Damar.

“Tulisan ini mirip sekali dengan dengan milik Pak Herman: ketat dan pesannya kuat. Apalagi terdapat nama Bu Fatma, istrinya.”

“Aku tidak tahu kenapa ayah pergi, tanpa memberitahuku,” ucap Damar dengan wajah yang sangat murung dan kaku. “Apa yang akan kita lakukan terhadap puisi-puisi ini?” tanya Damar kepada istrinya.

“Bagaimana kalau kita terbitkan saja puisi-puisi ini, dengan mengajukan ke penerbit agar bisa dibukukan?”

***

Enam bulan setelah puisi-puisi itu berhasil dibukukan dan diterbitkan Banyak perbincangan yang dari kalangan kritikus sastra, bahkan puisi-puisinya dicetak ulang dan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing.

Bu Fatma, salah seorang penikmat dan penulis puisi, merayakan hari ulang tahunnya yang ke-49 dengan sangat spesial dirayakan di hotel berbintang lima. Suaminya yang juga seorang penulis terkenal, menghadiahkan kado berisikan buku kumplan puisi terbaru dan terkenal, tak lain adalah karya Hermansyah AD.

Ia membuka kado spesial itu. Ia tak melihat nama penyairnya. Ia hanya membaca beberapa larik puisi pertama, lalu menangis sejadi-jadinya di hadapan ratusan orang yang menghadiri acara ulang tahunnya. Tiba-tiba saja, ia pingsan dan tak sadarkan diri.

Beberapa jam kemudian, ia sempat terbangun dan mengatakan. “Herman pergi, sebab ia membaca puisi-puisi yang aku tulis dengan darah,” katanya lirih. Sebelum pada akhirnya ia mengembuskan napas terkahir, terucap dari bibirnya yang kelu: “Penyair itu suamiku,” sambil memegangi buku kado dari suaminya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan