Suara deru angin dan hujan mengepak-ngepakkan daun jendela sebuah kamar gelap di lantai dua. Cahaya lampu jalan yang berpendar kekuningan menerobos masuk ke kamar dan rintik hujan menampar-nampar jendela yang setengah terbuka. Gorden krem di baliknya sudah basah kuyup sampai airnya menetes-netes.
Tak jauh dari jendela, seorang perempuan duduk di lantai sambil memeluk lututnya. Gawai di sisi kakinya kembali bergetar dan ia buru-buru menekan tombol power. Gawai itu pun padam seketika.
Ia menghela napas dalam-dalam, tapi air matanya menitik juga. Dengan tergesa, ia menyeka air matanya dengan lengan baju sebelum sempat menganak sungai. Ia kembali menghela napas. Ia tahu, dalam beberapa bulan terakhir ini, kehilangan bukan lagi hal yang asing baginya. Tetapi, kehilangan yang terjadi karena kelalaiannya menjadikan semua ini jauh lebih menyakitkan.
*
Tiga hari sudah berlalu sejak malam jahanam itu. Malam ketika Naya kehilangan adik perempuan satu-satunya, Yara. Selama tiga hari, Naya mengurung diri. Berkali-kali ia berniat untuk bunuh diri saja, tetapi bayangan Yara mengganggunya. Yara pasti tidak menginginkannya secepat itu menyusul ke alam baka.
Untuk pertama kalinya sejak malam itu, Naya membuka gorden kamarnya. Sinar matahari pagi membuatnya memicingkan matanya yang selama ini terbiasa dengan kegelapan. Untuk pertama kalinya, Naya menggerakkan badannya untuk membersihkan kamarnya yang berantakan. Penuh sampah cup mi instan dan cangkir kopi yang berjamur.
Ia meraih gawainya. Menekan tombol power dan bunyi “ting” notifikasi menyapanya tanpa henti. Ratusan pesan dan panggilan tak terjawab. Ia membuka grup keluarga. Ada banyak pesan yang ditujukan untuknya. Dari mama, papa, dan saudara-saudara yang lain. Semuanya bernada sama: ini bukan kesalahanmu, kematian Yara adalah takdir belaka, tolong buka pintunya, mama kirim makanan, jangan berbuat bodoh Nay, dll, dll.
Naya tidak membalas satu pun pesan-pesan itu. Ia sudah mau menutup aplikasi pesan itu ketika menemukan satu kiriman video yang menyita perhaitannya. Naya tahu video apa itu dari thumbnail. Naya merasa tangannya gemetar, tapi toh ia putar juga video itu.
Hujan menderas tanpa ampun. Beberapa orang dengan APD lengkap menurunkan peti mati dengan perlahan. Naya membekap mulutnya dan menangis tanpa suara. Pemakaman Yara berlangsung dengan sunyi yang menggetarkan. Tanah di sekitarnya basah, sekaligus becek. Di sekitarnya, tampak nisan-nisan baru memenuhi lahan pemakaman. Lalu terdengar suara doa para petugas pemakaman yang sayup-sayup.
*
Tiara, sahabat Naya di kantor, yang tempat duduknya hanya terpisah satu kubikel kecil dikonfirmasi positif Covid-19 dua minggu lalu. Selang sehari setelah berita itu, Naya buru-buru tes swab karena orang kantor merasa khawatir kalau banyak yang tertular juga. Sebetulnya dia sendiri tidak merasa bergejala apa-apa dan seingatnya, dia selalu taat protokol kesehatan. Maskeran, bawa alat makan sendiri, rajin cuci tangan. Jadi, sebetulnya ia setengah yakin kalau baik-baik saja.
Hasil tes swab baru diketahui tiga hari kemudian. Dan sebelum tes keluar, Naya masih ke kantor dan sesekali mengunjungi rumah orang tuanya di Ciputat karena adiknya yang baru nikah tiga bulan lalu sedang ada di sana. Ia sempat menginap di sana bahkan. Begitu hasil swab keluar, Naya kaget. Hasilnya ternyata positif. Ia memutuskan tidak memberitahu keluarganya karena takut mereka panik atau khawatir. Keputusan yang disesali Naya di hari-hari kemudian.
Seminggu setelah hasil swab Naya keluar, mama mengabari kalau Yara masuk rumah sakit. Mama bilang mungkin karena hamil muda dan susah makan jadi ngedrop. Siapa yang mengira kalau ternyata Yara juga positif Covid-19 dan meninggal empat hari setelah dirawat di rumah sakit. Peristiwa yang mungkin bisa dihindari seandainya Naya mau jujur lebih awal.