Begitu tiba di sarang, teman-temanku langsung menyambutku dengan penuh suka-cita. Tentu saja aku merasa sangat terharu karena ternyata mereka sangat peduli dan mengkhawatirkanku yang telat pulang ke sarang.
Mereka pun langsung memberondongiku dengan dengan pertanyaan.
“Dari mana saja kamu? Sesore ini baru pulang?”
“Iya, ke mana saja kamu, kami semua sangat mengkhawatirkanmu,”
“Iya, kami semua mencemaskanmu,”
“Betul, apalagi sejak kejadian tempo hari itu…,”
“Ya Tuhan, tolong jangan ungkit kejadian itu lagi, aku jadi sedih,”
Mendadak suasana berubah hening. Aku menebak, mereka pasti sedang bersedih dan teringat kejadian tempo hari, ketika salah satu teman kami tak kunjung kembali ke sarang ini. Hingga akhirnya kami mendengar kabar bahwa dia, teman kami itu, tewas mengenaskan akibat tersiram air panas. Ya, air panas. Sangat panas malah, karena baru mendidih di atas kobaran nyala kompor. Dia, teman kami yang bernasib malang itu, terjebak dalam gelas berisi gula dan teh.
Sebenarnya dia sudah berusaha keluar dari gelas kaca itu, tapi rupanya air panas dalam teko itu keburu meluncur ke dalam gelas dan…. ah, kami semua tak bisa membayangkan bila hal mengerikan itu terjadi pada kami.
“Tenang, kawan. Aku baik-baik saja, kok. Aku pulang terlambat justru membawa kabar baik, ah kabar gembira lebih tepatnya,”
Teman-temanku yang semula berwajah murung tiba-tiba berubah cerah sekaligus penasaran.
“Wah, kabar baik?”
“Kabar baik apa, sih?”
“Cepat katakan, jangan membuat kami penasaran!”
“Iya, jangan suka menggantung ucapan!”
Aku tersenyum geli melihat reaksi teman-temanku yang wajahnya tampak lucu kalau sedang merasa penasaran seperti itu. Lantas, aku pun menceritakan semuanya. Ya, semuanya. Tentang pertemuanku dengan perempuan sepuh itu. Usai bercerita, teman-temanku langsung mengerubungiku. Ah, bukan mengerubungi, tapi mereka memelukku. Kami pun saling berpelukan dengan raut penuh kebahagiaan. Sementara dari mulut-mulut kami menggumamkan syukur tiada henti.