Perginya Para Ulama

46 views

Kepergian Syekh Ali Jaber merupakan sebuah musibah besar bagi seluruh umat, khususnya umat Islam. Sosok yang sangat santun ini, semasa hidupnya, selalu menyampaikan dakwah dengan damai, lembut, dan santun. Menjadi kenangan tersendiri ketika seseorang yang dicintai karena keilmuannya, kemudian wafat atau pergi untuk selama-lamanya.

Syekh Ali Jaber adalah ulama kharismatik. Sebagai seorang ulama, sosok imam yang selalu menjadi panutan, menjadi sebuah kehilangan besar ketika harus wafat dalam waktu yang sangat cepat. Ulama adalah seseorang yang menjadi mercusuar di tengah-tengah umat, menjadi obor kehidupan dan menjadi penunjuk arah menuju jalan kebenaran. Kepergiannya adalah musibah besar dalam kehidupan sosial bermasyarakat.

Advertisements

Ulama adalah pewaris para nabi. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw, “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Hadits ini diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi).

Selain Syekh Ali Jaber, ulama yang wafat di awal tahun 2021 ini adalah Syekh Habib Jakfar Al-Kaff dan KH Nadjib Abdul Qadir. Menurut dai kondang Gus Miftah, kepergian ulama yang sejak tahun sebelumnya berjumlah sekitar 300 ulama, membuat kita berdebar dan terenyuh. Karena, wafatnya para ulama menandakan dicabutnya ilmu pengetahuan (agama) yang menjadi pilar pengokoh kehidupan.

Eksistensi Ulama

Ibnu Katsir dalam sebuah syair di tafsirnya mengatakan, “Bumi akan hidup selama ulamanya hidup. Ketika ulamanya meninggal, maka akan mati satu kepingannya. Seperti yang hidup ketika hujan turun menyapanya. Jika hujan tak kunjung datang, maka permukaan bumi akan hancur.” Pernyataan ini sebagai metafor akan eksistensi ulama dalam kehidupan. Ulama adalah suluh kehidupan sosial yang akan terus memberikan perlindungan dengan ilmu dan kedekatannya (taqarrub) kepada Allah.

Ayyub As-Sikhtiyani seorang pembesar tabi’in, juga menjelaskan, “Mengungkapkan pedihnya perasaan ditinggal seorang ulama bagaikan bagian tubuh yang terpotong. Ketika dikabarkan kepada saya tentang meninggalnya seorang dari Ahlussunnah seolah saya merasa kehilangan anggota tubuh.

Jadi menurut Syekh Ayyub, merasakan rasa risau, pedih, dan kesedihan yang luar biasa atas meninggalnya seorang ulama adalah sebuah keniscayaan. Karena ulama telah mengarahkan umat ke jalan kebenaran.

Ketika ulama meningal untuk selamanya, maka panutan itu sudah tidak ada lagi. Maka jalan menuju kebenaran dan kebaikan menjadi terhambat bahkan menjadi tertutup dan meninggalkan karakter keburukan pada setiap orang. Di dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnah Al-Lalikaiy dijelaskan bahwa kehilangan seorang ahlussunnah saja seperti itu perasaannya apalagi kematian ulama yang menjadi panutan.

Al Imam Al-Hasan Al-Bashri meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Ra, “Kematian seorang ulama adalah kebocoran di dalam Islam dan tidak bisa ditutup meskipun malam dan siang datang silih berganti.”

Sa’id bin Jubair pernah ditanya, “Apa tanda kehancuran manusia?” Sa’id menjawab, “Meninggalnya para ulama di tengah mereka.” (Ma’alimut Tanzil 4/327, Dar Thoibah). Sebagimana dijelaskan oleh Habib Ali Abdurrahman Al Habsyi dalam sebuah notifikasi yang tersebar di berbagai sosial media.

Ulama dan Definisinya

Secara etimologi, ulama adalah orang yang berpengetahuan. Berasal dari kata bentuk plural (jamak) yang bentuk tunggalnya adalah ‘alim, orang yang mengetahui dalam segala aspeknya. Dalam pengertian yang lebih luas, ulama adalah pemuka agama atau pemimpin agama (Islam) yang bertugas untuk mengayomi, membina, dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama atau masalah sehari-hari yang diperlukan, dari sisi keagamaan maupun aspek kehidupan bermasyarakat.

Dalam sebuah keterangan dijelaskan bahwa ada dua macam ulama yang mesti kita ketahui. Pertama, ulama rabbani, yaitu ulama yang memahami keagamaan dalam segala sisi persoalannya dalam Islam. Lebih jauh, ulama ini mampu memberikan petunjuk kepada umat di sekitarnya agar lebih dekat kepada Allah.

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir: 28).

Ayat tersebut memberikan penjelasan bahwa ulama adalah seseorang (bukan hewan, benda, atau tumbuhan) yang mempunyai rasa takut kepada Allah. Takut di sini tidak diartikan sebagaimana takutnya seorang hamba kepada binatang buas, orang jahat, dan lain sebagainya. Tetapi, rasa takut yang disertai dengan pengagungan dan penghormatan dari hamba kepada Tuhannya.

Kedua, ulama su’, yaitu seseorang yang memanfaatkan pengetahuannya demi kehidupan dunia. Dalam hal ini, ulama su’ adalah sebagaimana dijelaskan di dalam al-Quran, “Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?” (QS. Asy-Su’ara’: 197). Dalam al-Quran disebutkan beberapa ciri yang menunjukkan bahwa ulama Bani Israil pada umumnya adalah termasuk ulama su’, dan tidak perlu diteladani. Bahkan termasuk dari Bani Israil sendiri memliki ciri-ciri yang sedemikian.

Beberapa ciri ulma su’, sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran, adalah menyembunyikan kebenaran (QS. Albaqarah: 146), menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang murah (QS. Ali Imron: 187), mengingkari kebenaran yang diyakini (QS. Albaqarah: 89), mendistorsi ayat-ayat Allah untuk kepentingan diri sendiri (QS. Annisa’: 46), dan memanipulasi kebenaran demi keuntungan duniawi (QS. Albaqarah: 79).

Karena itu, kita harus berhati-hati terhadap alibi seseorang yang mengaku memiliki pengetahuan agama, sebab boleh jadi hal tersebut termasuk dalam jajaran ulama su’ yang tidak boleh diikuti karena akan menjerumuskan kita ke dalam kesesatan.

Bersama Para Ulama

Bukanlah bagian dari ummatku, seseorang yang tidak menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, dan mengetahui hak-hak para ulama.” (HR. Ahmad).

Imam Abu Bakar Al-Jurri mengatakan bahwa para ulama lebih utama dibandingkan dengan dengan orang mukmin dalam setiap waktu dan kesempatan. Mereka ditinggikan derajatnya dengan ilmu pengetahuan, dihiasi dengan hikmah, mengetahui yang hak dan yang batil, memahami yang halal dan yang haram, dan menjadi cahaya di tengah-tengah kehidupan. Mereka adalah pewaris para nabi dan yang akan memberikan syafaat setelah nabi pada hari kiamat nanti. Ulama yang akan membimbing manusia dari kebodohan menuju dunia pengetahuan yang akan menunjukkan jalan menuju surga.

Oleh karena itu, kita harus mengetahui dan menghormati hak-hak para ulama. Jangan sampai kita menghina para ulama, menyakiti hatinya baik dengan perkataan maupun perbuatan. Ingatlah sebuah hadits, “Sesungguhnya Allah ta’ala tidak mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari).

Kita berlindung kepada Allah dari tipu daya pecundang (ulama su’ atau ulama sesat) yang akan mengajak kita ke jalan kesesatan. Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan