Riani. Aku mengenal dia saat aku menjadi panitia MOS di sekolahku. Saat itu aku sudah kelas 2 SMA dan menjabat sebagai ketua OSIS di sekolahku. Gadis kecil itu bagaikan peri yang sangat memesona. Semuanya terasa sangat menyenangkan ketika bersamanya. Keceriaan yang dia miliki menular di hidupku.
Dan aku mencintai Riani. Bukan hanya mencintai, aku juga sangat mengagumi dia. Cantik dan baik. Manis dan tulus. Berkarya dan tak pernah putus asa. Itulah Rianiku, Peri Kecilku yang begitu rapuh, namun sangat kuat dengan tekad yang bagai baja.
“Pagi-pagi kok udah nyampe, Kak. Tumben, ada apa?” tanya Riani padaku saat tiba-tiba aku muncul di depan pintu kelasnya. Dia memang sudah terbiasa berangkat pagi, dan pasti tahu juga kalau aku tidak pernah berangkat sepagi ini, jam setengah 6. Aku mengamati Peri Kecilku yang sedang memegang gagang sapu. Dia sedang piket kelas saat itu. Membayangkan betapa sempurnanya dia ketika menjadi istriku nanti.
“Kak?” panggilnya sekali lagi, membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum menatapnya. “Malah senyum lagi!” ucapnya melihatku tak lekas menjawab pertanyaannya.
“Emang nggak boleh ya, berangkat pagi?” jawabku kembali bertanya.
“Ya enggak. Tapi kan nggak biasanya, Kakak berangkat sepagi ini.”
“Ya emang sih, aku nggak pernah berangkat pagi. Tapi yang penting kan aku nggak pernah telat, Peri,” aku menjawab sambil berjalan mendekat ke arahnya. Dia tersenyum menatapku dan berkata, “Iya.”
Aku terkekeh geli mendengarnya hanya menjawab “Iya.”
“Lagian hari ini kan aku udah mulai masuk les pagi. Jadi nggak salah dong kalau aku berangkatnya sepagi ini.”
“Nggak kok, terus sekarang ngapain di sini? Bukannya ke kelas?”
Aku mendekatinya dan sekali lagi tak mampu menahan senyumanku menatap kedua bola matanya. “Peri, lesnya mulai jam 6. Dan sekarang belum ada jam 6. Apa salah kalau aku ingin ketemu sama Peri Kecilku dulu sebelum masuk kelas?”