Azeez Naviel Malakian, pria kelahiran Cirebon 12 Februari 1988, mendalami dunia literasi semenjak 2014 silam. Kedatangannya di Yogyakarta bak bersambut dengan gayung yang tepat. Kepada Aguk Irawan MN, ia mendalami puisi, cerpen, novel, esai, dan terjemah. Di pesantren Baitul Kilmah, ia mendalami sembari meneruskan studinya di STEBI Al-Muhsin, Krapyak, Yogyakarta.
Kedatangannya ini tidak berakhir kosong. Beberapa prestasi dan pencapaiannya di dunia literasi telah dikantunginya. Salah satunya buku ini: Rabiah Al Adawiyah Perjalanan dan Cinta Wanita Sufi. Buku yang ramah dengan seluruh kalangan ini merangkum kehidupan Rabiah Al Adawiyah sedari lahir hingga ajalnya menjemput. Dalam 185 halaman, Azeez merangkum biografi, pemikiran, mahabbah, filsafat dan tokoh berpengaruh, karamah dan anekdot, serta syair-syair Rabiah Al Adawiyah.
Di sana seolah kehidupan Rabiah dikupas habis. Seperti di masa kecilnya yang sudah memaksanya hidup sederhana dan prihatin demi menyambung hidupnya. Tak hanya sampai di situ, Rabiah pun sempat menjadi budak yang diperlakukan dengan kejam oleh tuannya. Hingga suatu malam ia dibebaskan oleh tuannya karena malu melihat pengabdian Rabiah pada Tuhannya.
Selepas merdeka, ia makin mengabdikan diri dengan merayu Tuhan dengan serulingnya. Namun kisahnya ini diragukan karena tidak didukung fakta sejarah. Kecintaannya pada Ilahi, menutup hatinya untuk makhluk-Nya.
Ia tidak menikah meski banyak orang besar yang melamar untuk menikah bahkan sufi sekelas Hasan Bashri. Keputusannya itu bulat sempurna sehingga tidak satupun yang bisa menggoyahkan rasa cintanya pada Ilahi. Prinsipnya kuat untuk tidak ingin merepotkan orang lain terbawa hingga usia senja.
Ketika menjelang wafat, banyak orang alim yang yang mengelilinginya, namun Rabiah ingin mereka untuk meninggalkannya. Ia memanggil Abdah binti Abu Shawwal, sahabat setianya, untuk menemaninya dan berpesan untuk membungkus jasadnya dengan jubahnya agar tidak menyusahkan orang lain.
Pemikiran Rabiah memang lain dari sufi pada umumnya. Beliau memandang jika mengabdi kepada Allah bukan sebab takut neraka atau mengharapkan surga, namun semata karena cinta kepada Allah. Hal ini bertentangan dengan sufi kebanyakan yang takut pada siksa Allah.