KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan KH Mustofa Bisri (Gus Mus) adalah dua orang bapak bangsa yang hingga sekarang pandangannya mewarnai gerak langkah bangsa ini. Kendatipun Gus Dur sudah wafat, puluhan bukunya yang mewadahi ide-ide perjuangan kemanusiaannya hingga sekarang masih terus dikaji dan diperjuangkan. Sedangkan Gus Mus hingga sekarang masih aktif menulis di berbagai media tentang tema serupa.
Tulisan ini berusaha menelusuri nilai kemanusiaan yang diperjuangkan keduanya. Bagi Gus Dur, kemanusiaan adalah nilai di atas segalanya. Ia adalah puncak di mana agama, budaya, dan ilmu dihadirkan sebagai penyokong keberadaannya. Dia menegaskan bahwa walaupun atas nama agama (termasuk Islam), setiap kegiatan yang menyebabkan kegiatan kemanusiaan mengalami kemunduran haruslah ditentang.
Bagi Gus Dur, Tuhan menurunkan agama untuk kebaikan manusia. Tuhan tidak butuh agama. Tidak logis kemudian jika agama dilantangkan untuk membela Tuhan dengan cara meninstakan nilai-nilai kemanusiaan. Ia sudah menyalahi kodrat fungsi agama. Lebih jauh lagi, Gus Dur memandang manusia representasi Tuhan dalam skala mikro. Semua agama sepakat bahwa dalam diri setiap manusia ada ruh Tuhan. Menistakan manusia dengan alasan apapun sebenarnya menistakan Tuhan itu sendiri.
Gus Dur bergerak lintas etnis, kepercayaan, ideologi, dan agama guna menonjolkan sisi kemanusiaan di atas perbedaan superfisial tersebut. Pembelaan Gus Dur terhadap golongan minoritas dan tertindas dipantik oleh kesadarannya bahwa mereka juga manusia yang harus disayangi. Kita ingat bagaimana Gus Dur membela Salman Rushdie, Arswendo, Inul Daratista, H.B Jassin, Ahmad Wahib, Ulil Abshar Abdalla, Ahmadiyah, PKI, dan berbagai golongan tertindas yang hak asasinya diberangus terutama oleh kelompok mayoritas.
Perjuangan Gus Dur ditentang penguasa, kelompok garis keras, dan juga sebagian warga Nahdlatul Ulama. Dia dihina, dibenci, difitnah, dan hendak dibunuh. Ketika Soeharto berkuasa, Gus Dur tiga kali hendak dibunuh. Ancaman itu juga Gus Dur terima ketika dia membentengi Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dari Front Pembela Islam (FPI). Cucu pendiri NU ini berpesan bahwa jika mau melakukan perubahan jangan tunduk pada kenyataan, lawan kenyataan kalau yakin itu benar dan buat kenyataan baru.
sementara itu, Gus Mus tidak jauh berbeda dengan Gus Dur. Dia berjuang dari sisi kultural dan keagamaan. Sebagai salah satu sesepuh NU dan cendekiawan senior Muslim Indonesia, namanya sangat diperhitungkan. Malangnya, acapkali namanya dicatut diam-diam untuk diselipkan pada ucapan yang sebenarnya bukan ucapannya. Ini dilakukan kelompok berkepentingan untuk menciptakan chaos di negeri ini. Gus Mus berpesan agar jangan dibawa-bawa namanya untuk berkelahi. Sebab tidak suka berkelahi dengan siapa pun dengan alasan apa pun. Dia mencintai semua orang.
Menurut Gus Mus, kadar akal rakyat Indonesia sudah banyak berkurang akibat ditutupi kebencian. Epidemi kebencian mudah menjangkiti ranah ideologi, pemikiran, agama, dan partai politik. Ketika kebencian didahulukan, maka kebaikan apa pun dari pihak yang dibenci pasti nampak jelek. Menurutnya, kebencian melahirkan ketidakadilan. Orang yang sudah benci dari awal tidak mungkin bersikap adil.
Kebencian mudah tumbuh dan menyebar akibat rendahnya kemahiran literasi bangsa ini berhadapan dengan gempuran informasi yang membanjiri pikiran mereka. Acap kali mereka mudah percaya terhadap berita tanpa tertuntut untuk mengklarifikasi lebih jauh. Tidak hanya akal sehat yang hilang. Namun juga rasa aman ikut lenyap seturut dengan gumpalan kebencian yang mudah mengobarkan tindakan anarkistis.
Di tengah eskalasi sosial yang acapkali panas akibat pertikaian beragam kelompok di dunia maya dan dunia nyata, pemikiran dua begawan tersebut layak dibaca sebagai renungan tentang arti penting berbuat baik demi kebaikan bersama. Akal diharapkan senantiasa waras agar tetap jadi manusia otentik di depan gempuran varian kampanye politis yang menyeret beragam hal yang sering kali tidak manusiawi lagi.