Apa yang terlintas di pikiran Anda saat pertama kali mendengar istilah “Pesantren”? Sebuah tempat yang dipenuhi remaja yang menganut ideologi Islam ekstrem? Pusat terorisme modern? Atau berbagai persepsi negatif lainnya?
Nah, pandangan-pandangan ini sebagian besar tidak didukung dan bertentangan dengan keyakinan mayoritas. Bukti tunggal tidak dapat membenarkan semua aspek suatu masalah. Oleh karena itu, kita harus menganalisis secara mendalam dan mempertimbangkan liputan media tentang pesantren, yang dihubungkan dengan realitas yang mereka sajikan.
Indonesia, dengan masyarakat multikulturalnya, harus bangga dengan keberadaan pesantren dalam sistem pendidikannya. Pesantren merupakan contoh bagaimana budaya lokal dan agama dapat berkolaborasi dan berkonvergensi. Kehadiran Islam di Nusantara tidak menghapus budaya lokal, tetapi justru bercampur dengan budaya itu.
Selain itu, pesantren selalu memainkan peran penting dalam memoderasi ide-ide radikal dan sekular dalam Islam di Indonesia. Sepanjang sejarah, tokoh-tokoh seperti Abdurrahman Wahid, yang dikenal sebagai Gus Dur, dan Syafii Maarif, yang dikenal sebagai Buya Syafii, telah menjaga identitas Indonesia sebagai negara yang pluralis dan moderat.
Identitas Muslim Indonesia
Secara historis, pesantren berakar pada era pra-Islam di Indonesia dan tradisi Hindu-Buddha. Dalam bukunya Menggagas Pesantren Masa Depan, Abdul Munir Mulkhan berpendapat bahwa istilah santri dalam pesantren berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru agama. Namun, Robson menyarankan “santri” merujuk pada orang-orang yang tinggal di rumah-rumah miskin atau bangunan religius. Sebaliknya, C.C. Berg percaya istilah ini berasal dari bahasa India dan merujuk kepada mereka yang belajar teks-teks suci.
Pesantren, dengan sistem asrama dan sistem pengetahuan Islamnya, juga dikenal di wilayah Muslim lainnya seperti madrasah (Pakistan, India, dan Bangladesh), Hawza (Iran), maktab (Mesir dan negara-negara Arab lainnya), zawiyya (Algeria, Maroko, Libya, dan Tunisia), dan khalwa (Sudan).
Kiai memainkan peran penting dalam sistem pesantren; mereka dihormati oleh santrinya sebagai guru yang asketik dan pemimpin agama. Masjid menjadi kantor kiai, menyediakan kuliah dan bimbingan. Namun, seiring bertambahnya jumlah santri dan masjid tidak lagi dapat menampung mereka, kiai memutuskan untuk membangun asrama. Jadi, ada tiga elemen yang melekat dalam pesantren: pentingnya kiai, masjid sebagai pusat aktivitas, dan ketaatan santri terhadap kiai dan masyarakat di sekitarnya.