“Santri arep dadi apa bae, sing penting ngaji.” Kalimat itu diucapkan oleh guru saya di depan santri dengan latar belakang sosial ekonomi yang beragam saat sekolah madrasah diniyyah tahun 2013 silam. Sebagian ada yang berasal dari kalangan yatim, keluarga petani, nelayan, dan pedagang kecil di daerah rural. Sebagian lain ada yang berasal dari kalangan non-yatim, keluarga pengusaha menengah-atas, birokrat, atau bahkan pejabat.
Warga pesantren memang selalu kosmopolit dan komplit. Isinya orang-orang dari berbagai daerah, yang otomatis mewakili kelas-kelas masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi yang beragam. Namun, ke manakah mereka akan mengarah setelah selesai mondok?
Di Babakan, Ciwaringin, Cirebon, sebagian besar santri bersal dari Karesidenan Cirebon, Indramayu, Kuningan, Majalengka, dengan tambahan Subang dan Karawang. Sebagian kecil santri juga ada yang berasal dari daerah Jabodetabek dan kota-kota di Jawa Tengah yang berbatasan langsung dengan Jawa Barat, seperti Tegal dan Brebes, misalnya.
Biaya mondok di Desa Babakan berkisar Rp 250 ribu sampai Rp 900 ribu per bulan. Tetapi, hanya sebagian kecil pondok saja yang mematok biaya di atas Rp 600 ribu, biasanya adalah pondok-pondok yang telah mengawinkan antara sistem salaf dan boardingschool. Sementara pondok-pondok yang biayanya di bawah itu masih melestarikan sistem salaf tradisional.
Biaya adalah penyaring kelas sosial santri. Walaupun kosmopolitanisme ada di pesantren, tapi di dalamnya ada persentase yang menentukan proporsi antara santri miskin dan santri kaya. Dan proporsi ini terlihat sangat mencolok antara pondok dengan biaya murah dan biaya tinggi.
Situasi ini tidak dapat lepas dari dua peran pesantren. Pertama, pesantren sebagai learning community, atau masyarakat pembelajar yang nyaris 24 jam penuh dengan pergumulan ilmu. Dan kedua, pesantren sebagai entitas yang terikat dengan konteks masyarakat sekitar.
Dari kaca mata pendidikan, pesantren pernah dicita-citakan sebagai lembaga pendidikan yang mencetak ulama dan alim (ahli ilmu). Tapi sepertinya tuntutan kebutuhan ekonomi masyarakat jauh lebih kuat dibanding cita-cita itu.