Pada Rabu 17 Agustus 2022 ini, kita akan merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia. Benar kata Muhammad Iqbal dalam tulisannya, berbagai prosesinya pun sudah mulai dilakukan. Berbagai kemeriahan juga mulai terlihat di mana-mana. Lomba tingkat desa, kecamatan, kabupaten, bahkan tingkat nasional pun ikut menjadi simbol dalam menyambut dirgahayu Republik Indonesia.
Sepanjang jalan raya menuju kota, terlihat banyak sekali bendera merah putih terpasang gagah, di depan kantor kecamatan, depan gapura, hingga di setiap depan rumah warga sekalipun. Hal ini saya kira tidak lain sebagai wujud dari nasionalisme warga Indonesia itu sendiri.
Dan di balik hari yang ditunggu-tunggu ini, ada semacam nostalgia sejarah yang tidak boleh kita lupakan. Sejarah di mana para pahlawan berjuang/berjihad mati-matian melawan para penjajah. Semangat raga menjadi bekal, dan nyawa menjadi taruhan. Dosa besar rasanya jika kita hanya berhenti di taraf memeriahkan kemerdekaannya saja, dan lebih-lebih melupakan (atau memang tidak tahu sama sekali) tentang perjalanan panjang para pahlawan dahulu kala.
Para pahlawan, berangkat dari cerita-cerita nenek moyang kita yang masih ada, kebanyakan datang dari kalangan santri. Hampir dipastikan 80 persen perlawanan terhadap penjajah lahir dari kalangan santri, terlebih kiai. Kiai sebagai sosok panutan, berhasil menumbuhkan jiwa nasionalisme santri dan menjadi pemeran utama dalam menyusun strategi melawan penjajah.
Dalam persepektif sejarah perlawanan melawan penjajah (Belanda) bermula pada Perjanjian Giyanti 1755. Perjanjian ini didasarkan karena kekhawatiran Belanda terhadap eksistensi pesantren kala itu. Akibatnya, Belanda mulai membatasi segala kegiatan pendidikan dan perkembangan yang berkaitan dengan pesantren.
Bahkan tidak berhenti di situ saja, aktivitas masyarakat muslim untuk menjalankan kewajiban agama juga dibatasi. Hingga pada akhirnya, rasa benci masyarakat pesantren memuncak ketika pada 1900-an Belanda menghilangkan pengajaran sistem pesantren dan mendirikan pendidikan sistem kelas seperti sekolah-sekolah sekarang ini.
Berawal dari ini, gairah baru dengan semangat baru di kalangan para kiai yang baru pulang dari Timur Tengah muncul. Para kiai yang membawa wawasan baru, seketika mengubah model pendidikan Islam yang lama, menjadi model madrasah, sebagai tujuan untuk menandingi model yang diterapkan Belanda.
Tebuireng Jombang menjadi salah satu pondok pesantren yang sukses menerapkan sistem madrasah, hingga santrinya mencapai ribuan. Dan tidak lupa juga, perlawanan terhadap penjajah juga datang dari santri Tebuireng Jombang kala itu.
Wahjoetomo (1977:77) mencatat, bahwa aksi perlawanan terhadap Belanda dilakukan dengan tiga macam. Pertama uzlah atau mengasingkan diri. Para santri menyingkir ke tempat-tempat terpencil yang jauh dari jangkauan kolonial saat itu.
Kedua, bersikap nonkooperatif dan melakukan perlawanan secara diam-diam. Karena selain diajarkan kitab kuning, para kiai juga sukses dalam menumbuhkan semangat jihad untuk membela Islam dan menentang penjajah. Bahkan pada saat itu pula, sebagian pesantren melarang santrinya untuk memakai pakaian yang berbau Barat, seperti celana panjang, dasi, dan sepatu.
Ketiga, berontak dan mengadakan perlawanan nonfisik terhadap Belanda. Pemberontakan ini yang akhirnya menjadi inspirasi munculnya organisasi Serikat Islam (SI) yang bertujuan memajukan dan menumbuhkan rasa nasionalisme di kalangan umat Islam. Organisasi ini pun akhirnya menjadi embrio dari didirikannya Central Sarekat Islam (CIS) di Surabaya pada 1915, kemudian Muhammadiyah pada 1912, lalu Persatuan Islam (Persis) pada 1923, hingga Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926.
Nah, dari sejarah ini pula, kita bisa melihat bahwa kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari sumbangsih dan kontribusi orang-orang pesantren kala itu. Semangat para kiai bersama santri menjadi garda paling depan dalam mengusir penjajah. Ini sebagai bukti nyata bahwa santri terlibat aktif dalam dalam mempertahankan keutuhan NKRI. Dan kita tidak boleh gampang melupakannya.
Semoga di HUT ke-77 Republik Indonesia ini bisa menjadi momentum yang tepat untuk merefleksikan dan meniru semangat para pahlawan dulu, sehingga santri selalu bisa merawat napas-napas kemerdekaan dan menunjukkan eksistensinya di mata dunia. Semoga!