Dunia berkembang dengan sangat cepat. Jika dulu pesantren dikaitkan dengan suasana perdesaan dan kitab kuning, mereka sekarang berada di tengah arus deras dunia digital. Sekarang santri tidak hanya bergulat dengan hafalan dan percakapan tentang fikih, tetapi juga menghadapi tantangan dengan layar kecil di tangan mereka.
Naasnya, di dunia maya yang berada dalam genggaman tangan mereka itulah seringkali muncul propaganda radikalisme. Kini, ideologi intoleran disebarkan dengan cara yang halus, menyentuh emosi, dan sering kali menggunakan simbol agama untuk membangun kepercayaan melalui dunia digital. Mereka yang tidak terlalu melek akan pengetahuan agama dapat mudah terpikat, terutama jika propagandanya dikemas dengan cara yang menarik.
Pada konteks itulah pesantren berfungsi sebagai benteng moderasi dari sudut pandang strategis. Selama ratusan tahun, pesantren telah menanamkan nilai-nilai seperti tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), dan ta’awun (kerja sama). Tetapi kini, di era digital ini, pesantren harus lebih aktif dalam menyebarkan pesan Islam yang damai, terutama di ruang digital. Sebab, paham-paham radikal dan intoleran telah masif dipromosikan di ruang-ruang digital.
Di lingkungan pesantren, nilai-nilai yang terkandung dalam kitab kuning masih merupakan dasar utama. Meskipun demikian, pesantren harus menerjemahkannya ke dalam bahasa yang sesuai dengan generasi milenial dan Gen Z. Misalnya, mereka harus mengajarkan bahwa jihad adalah perjuangan untuk memperbaiki diri, bukan aksi kekerasan. Narasi seperti ini harus disampaikan dengan cara yang sederhana tetapi efektif, seperti video singkat atau infografis di ruang-ruang digital.
Karena itu, santri juga harus dilatih untuk menjadi pelopor literasi digital. Mereka tidak hanya dididik tentang agama, tetapi juga dididik untuk memilah informasi, membedakan hoaks, dan memahami konten yang mengandung kebencian. Dengan demikian, santri dapat menjadi garda depan dalam melawan narasi radikalisme dengan bekal ini.
Bayangkan jika santri membuat konten yang positif. Mereka dapat menawarkan perspektif Islam yang penuh kasih melalui tulisan, video, atau infografis yang menginspirasi. Pesantren juga dapat berfungsi sebagai pusat edukasi digital untuk masyarakat, membantu mereka menggunakan dunia maya dengan benar.
Pelarangan atau caci maki tidak cukup untuk memerangi radikalisasi. Islam adalah agama yang berpusat pada kasih sayang dan cinta. Pesantren harus menggunakan pendekatan yang lembut, penuh pemahaman, dan menekankan bahwa Islam tidak memusuhi siapa pun.
Kemampuan adaptasi juga penting bagi pesantren. Teknologi harus digunakan untuk melakukan dakwah. Sekarang ceramah dapat disampaikan melalui YouTube, podcast, atau media sosial daripada sebelumnya hanya di masjid. Studi sekarang tidak hanya ditulis dalam buku, tetapi juga diposting di blog atau platform digital lainnya.
Namun, jati diri tidak boleh dikorbankan oleh adaptasi ini. Pesantren harus mempertahankan nilai-nilai seperti kesederhanaan, penghormatan terhadap perbedaan, dan semangat untuk belajar. Sementara inti ajaran Islam tetap menjadi panduan utama, teknologi hanyalah alat.
Di tengah pergeseran zaman, pesantren yang fleksibel akan tetap relevan. Mereka tidak hanya mempertahankan akarnya, tetapi mereka telah berkembang menjadi mercusuar bagi masyarakat.
Dunia digital adalah dunia baru yang perlu diurus dengan cermat. Pesantren memiliki kesempatan yang sangat baik untuk menciptakan ruang yang tenang di tengah chaos informasi. Pesantren dapat menjadi penjaga Islam yang rahmatan lil’alamin, memberikan harapan dan solusi bagi tantangan masa kini dengan tradisi yang kokoh dan semangat inovasi.
Pesantren bukan hanya tempat untuk belajar tetapi juga tempat untuk membangun masa depan. Dalam era teknologi saat ini, peran ini semakin penting bagi masyarakat secara keseluruhan, termasuk para santrinya. Pesantren yang inovatif dan adaptif sangat penting untuk memerangi radikalisasi di internet.