Sami’na wa ato’na. Kepatuhan pada guru adalah prinsip mutlak yang tidak bisa ditawar. Lumrah bagi komunitas pesantren bahwa prinsip ini telah membentuk struktur sosial khas yang menempatkan santri dan kiai dalam hubungan hierarki tertentu. Kepatuhan ini menyangkut urusan duniawi dan urusan nonduniawi. Bagi santri, kepatuhan ini menentukan apakah hidup akan ada di posisi barokah atau sebaliknya.
Oleh karena itu, ucapan kiai hampir sama dengan titah mutlak, tanpa pertanyaan dan tanpa bantahan, meskipun ucapannya berkebalikan dengan hukum material dan hukum empiris. Sebab telah banyak contoh-contoh ajaib di masa lalu yang justru menunjukkan ketidakberlakuan hukum material dan hukum empiris. Tapi inilah yang menjadi masalah ketika hari ini merupakan masa-masa yang sepenuhnya berbeda.
Dulu, contoh-contoh ajaib itu terjadi dalam konteks masyarakat yang masih dekat dengan asketisme dan tirakat tertentu yang terhubung dengan alam raya. Sedangkan hari ini, ada modernitas, industrialisasi, urbanisasi, pembagian peran, relasi kuasa, akses sumber daya, profesionalisme penceramah, institusionalisasi, kelembagaan, dan lain sebagainya yang mengubah kiai―sebagai salah satu aktor sosiologis―yang mulanya imanen-transeden menjadi fungsional-instrumental.
Memang tidak dimungkiri bahwa ketulusan dan kebeningan rohani masih ada di sebagian kecil kiai hari ini. Tetapi sebagian lainnya terlibat dalam variable-variabel yang telah disebutkan tadi. Dan hal inilah, yang dalam konteks tahun politik, menjadikan kiai aktor yang diperhitungkan dalam kontestasi politik.
Satu sisi, memang faktor-faktor struktural turut membentuk karakter, preferensi, ruang gerak, dan pilihan ekonomi-politik seorang kiai. Namun di lain sisi, hierarki dan dan patronase masih menjadi budaya politik masyarakat Indonesia, yakni ketika kandidat politik berhasil menggandeng tokoh masyarakat tertentu, maka pengikutnya akan terkatrol mendukung kandidat tersebut.
Dalam konteks ini, “sami’na wa ato’na” tidak bisa diterima mentah-mentah. Sebab ada risiko kolektif yang sulit diprediksi bahayanya bila individu-individu menyalurkan hak politiknya berdasarkan anjuran orang lain, bukan berdasarkan kesadaran personal dan rasio politik: “jika saya memilih X, maka rekonfigurasi ekonomi-politik apa yang mungkin muncul? Kelompok mana yang akan berkuasa? Dan konsekuensi apa yang mungkin terjadi terhadap Indonesia?”
Inilah yang kemudian menempatkan kiai hari ini tidak lepas dari sorotan mengenai keterlibatannya dalam tali-temali sumber daya akses, kekuasaan, ekonomi, institusi, dan lainnya, baik yang mengalir ke pribadi, ke yayasannya, ataupun ke pengikut-pengikutnya. Dari sudut pandang umat pengikutnya, ini mungkin termasuk politisasi agama, yakni ia menggunakan otoritasnya untuk memobilisasi massanya memilih calon pasangan tertentu. Tapi kalau ditinjau dari dirinya sebagai individu, ini termasuk kapitalisasi agama.
Sebagian kalangan, ada yang menyebut praktik itu adalah demi kemaslahatan umat. Sebagian lain ada yang menyebutnya sebagai penyelewengan agama, sebab praktik tersebut jelas bertentangan dengan nilai-nilai ketulusan agama: “Mungkinkah disebut tulus ketika ia memanfaatkan ketidak-tahuan dan kepolosan pengikutnya demi keuntungan politik tertentu?” Orang kemudian sering bertengkar menentukan mana yang valid, sebab itulah ruwetnya ketika hal duniawi dikemas dengan agama.
Dalam momen-momen menjelang Pemilihan Presiden 2024 seperti saat ini, wawasan duniawi terasa begitu penting. Sebab, bagaimanapun juga, santri adalah warga negara Indonesia. Ia punyak hak dan kewajiban yang sama dengan penduduk Indonesia lain. Tetapi yang lebih penting dari itu, santri juga berhak memperoleh pendidikan dan literasi politik, sesuatu yang mungkin hari ini masih berjarak di lingkungan pesantren.
Ini penting, karena sesuatu yang sangat agamis bisa jadi aslinya sangat duniawi. Kuatnya tradisi “manut” atau “nderek“, sekadar mengikuti, jelas tidak memadai untuk mengurai licinnya situasi di tahun-tahun politik. Santri perlu mulai berpikir mandiri. Ia perlu mulai memikirkan bahwa Indonesia tidak semata tentang toleransi, radikalisme, dan moderasi beragama.
Yang lebih penting dari itu, santri harus mulai mengingat bagaimana nasib Indonesia dulu ketika berada di rezim otoriter? Dan mulai mempertanyakan, siapa penguasa sumber daya alam? Bagaimana evolusi politik kebijakan Indonesia? Siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan? Iklim berbangsa dan bernegara seperti apa yang mungkin muncul jika misalnya salah satu kelompok diberi kesempatan berkuasa?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mendasar, sebelum kemudian mempertanyakan seperti apa latar belakang kandidat tertentu? Bagaimana kecakapan bernalarnya? Seperti apa kredibilitas dan etika politiknya?