Politik Perut dan Tragedi Makan Bergizi Gratis

Ada satu adagium klasik dalam filsafat Yunani yang sering terlupakan oleh penguasa modern: “Manusia hidup bukan hanya dari roti.”

Tapi entah mengapa, pemerintah kita justru sibuk menjadikan roti (atau nasi kotak, lauk, minuman sachet, dan sejenisnya) sebagai simbol kepedulian. Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang awalnya digadang-gadang sebagai wujud nyata cinta negara kepada anak didik, justru berubah jadi tragedi. Alih-alih menyehatkan, banyak siswa justru keracunan. Inilah politik perut yang gagal memahami etika kehidupan.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Kita sedang menyaksikan absurditas ala Camus dalam wajah birokrasi: makanan yang mestinya menghidupi, justru melukai. Program yang di atas kertas terdengar mulia, di lapangan menjelma jadi racun. Seakan negara berkata, “Kami beri kalian makan, tapi jangan tanya soal kualitas.” Bukankah ini bentuk lain dari kekuasaan yang lebih mementingkan pencitraan ketimbang keselamatan manusia?

Negara dan Nafsu Simbolik

Dalam politik, makanan bukan sekadar asupan kalori, melainkan simbol. Negara ingin menunjukkan dirinya hadir di ruang kelas, hadir di meja makan siswa, hadir di perut anak bangsa. Tetapi ketika kehadiran itu cacat, apa yang tersisa selain penderitaan?

Filosof Jean Baudrillard pernah mengingatkan bahwa dalam dunia modern, simbol sering menggantikan realitas. MBG bukan lagi soal gizi, melainkan soal tanda: pemerintah peduli. Padahal, yang terjadi di lapangan adalah sebaliknya—pemerintah abai. Juga melukai.

Di sinilah ironi itu bekerja. Anak-anak yang mestinya menikmati makanan sehat justru harus berbaris di unit gawat darurat rumah sakit. Dari perut yang keroncongan, mereka pindah ke perut yang mual. Dari “bergizi gratis”, berubah jadi “beracun gratis”.

Pertanyaan filosofis pun muncul: masihkah negara bisa disebut etis jika tubuh warganya dikorbankan demi proyek politik perut?

Etika Kehidupan yang Dilupakan

Filsafat Emmanuel Levinas mengajarkan bahwa wajah orang lain menuntut kita untuk bertanggung jawab. Wajah-wajah pucat para siswa yang muntah-muntah seharusnya menjadi cermin paling jernih bahwa negara gagal menunaikan etika itu. Dalam logika etis, yang utama bukanlah program, bukan pula target politik, melainkan keberlangsungan hidup yang bermartabat.

Namun, yang terjadi justru kebalikannya. Negara lebih sibuk menegaskan narasi “bergizi” ketimbang bertanya apakah makanan itu benar-benar aman. Mereka terjebak dalam logika kuantitas: berapa juta paket sudah dibagikan? Berapa daerah sudah tercapai? Sementara logika kualitas—apa isi kotak itu, bagaimana higienisnya, siapa yang bertanggung jawab jika terjadi keracunan—dibuang ke selokan birokrasi.

Politik yang Lupa pada Tubuh

Nietzsche pernah berkata, “Tubuh adalah akal besar.” Tetapi dalam politik kita, tubuh justru direduksi jadi angka statistik. Anak-anak sekolah tidak lagi dipandang sebagai tubuh yang berhak atas kesehatan, melainkan sebagai objek program. Perut mereka dijadikan laboratorium kebijakan yang penuh trial and error. Anak-anak bangsa dijadikan kelinci percobaan.

Politik perut seharusnya mendahulukan tubuh sebagai pusat kehidupan. Tapi kini ia berubah jadi eksperimen pencitraan, seolah-olah negara sedang berkata: “Tak perlu pendidikan bermutu, yang penting kalian kenyang.” Padahal kenyang yang beracun hanya melahirkan generasi yang sakit, baik tubuhnya maupun kesadarannya.

Dari Perut ke Nurani

Membicarakan MBG tidak cukup dengan kalkulasi anggaran atau klaim keberhasilan. Kita harus membicarakannya dalam bahasa etika: apakah program ini sungguh-sungguh menghidupi, atau justru membunuh secara perlahan?

Negara boleh saja bersembunyi di balik jargon “bergizi gratis”, tapi fakta keracunan siswa adalah tamparan keras yang tak bisa ditutupi. Politik perut hanya akan menemukan legitimasinya jika ia berpihak pada kehidupan, bukan pada proyek simbolik yang mengabaikan kualitas.

Dalam absurditas ini, kita diajak bertanya: untuk apa negara hadir di meja makan, jika yang tersisa hanyalah perut mual dan tubuh yang kejang-kejang? Pada akhirnya, etika kehidupan menuntut satu hal sederhana: jangan beri makan rakyat dengan racun, sekalipun racun itu dibungkus dalam kotak yang berlabel “gratis”.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan