Pramoedya Ananta Toer, Humanisme, dan Dialog Tanpa Sekat

33 views

Pramoedya Ananta Toer, atau Pram, tidak hanya seorang sastrawan besar Indonesia. Ia adalah suara, protes, dan, kadang, luka yang tak pernah selesai dari bangsanya.

Dalam karyanya, kita menemukan kerinduan akan keadilan, kemanusiaan, dan keberanian untuk menolak diam. Namun, yang jarang dibicarakan adalah sisi lain dari Pram: humanismenya yang—secara sadar atau tidak—sering bersinggungan dengan nilai-nilai Islam, serta pertemuannya dengan tokoh-tokoh besar seperti Gus Dur dan Buya Hamka, yang seolah menjadi perwujudan dari dialog tanpa sekat.

Advertisements

Humanisme Pram: Melampaui Ideologi

Dalam novel-novelnya, Pram selalu memihak manusia, terutama mereka yang kerap dilupakan sejarah. Bumi Manusia adalah kesaksian bahwa seorang pribumi bisa berpikir sejajar, bahkan melampaui, tuan-tuan kolonial. Di balik semua kritik sosial dan politik yang ia tulis, Pram membawa pesan universal: kemanusiaan itu ada sebelum agama atau ideologi apa pun.

Nilai ini, meskipun lahir dari seorang Pram yang tidak pernah secara eksplisit berbicara soal agama, memiliki keselarasan dengan Islam. Islam, sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, selalu menekankan keadilan sosial, keberpihakan kepada kaum mustad’afin, dan keberanian melawan penindasan. Mungkin Pram tidak membaca ayat-ayat seperti “wa laqad karamna bani Adam” (dan sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam), tetapi pikirannya bergerak di jalur yang sama.

Gus Dur dan Pram: Dua Dunia, Satu Rasa

Ketika Orde Baru mencoba menenggelamkan Pram, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah salah satu yang tetap menghormatinya. Dalam sebuah pertemuan, Gus Dur bahkan berkata, “Kalau bukan karena Pram, kita tidak pernah tahu bagaimana kita kehilangan sejarah kita.”

Hubungan keduanya lebih dari sekadar pertemuan dua intelektual; itu adalah simbol bahwa spiritualitas dan ideologi bisa berjalan berdampingan. Gus Dur, dengan Islam inklusifnya, dan Pram, dengan idealisme kemanusiaannya, saling melengkapi tanpa harus menyeragamkan pandangan.

Hubungan antara Gus Dur dan Pram adalah contoh persahabatan yang melampaui perbedaan ideologi dan latar belakang. Meskipun mereka berasal dari dunia yang berbeda—Gus Dur sebagai tokoh Nahdlatul Ulama dengan pandangan Islam inklusif, dan Pram sebagai sastrawan dengan idealisme kemanusiaan yang kuat—keduanya saling menghormati dan mendukung.

Pada 27 Oktober 1999, Gus Dur yang saat itu menjadi Presiden RI mengundang Pram ke Wisma Negara di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, mereka membahas berbagai isu, termasuk masalah kelautan dan perikanan di Indonesia. Pram memberikan Gus Dur bukunya yang berjudul “Kretek”, yang membahas tentang laut, sebagai tanda penghormatan dan persahabatan.

Gus Dur juga pernah mengutip filosofi laut dari karya Pram: “Laut tetap kaya takkan kurang, cuma hati manusia semakin dangkal dan miskin.” Pernyataan ini mencerminkan pemikiran Pram tentang pentingnya menjaga kelestarian alam dan sumber daya laut Indonesia.

Meskipun demikian, tidak semua pandangan mereka selalu sejalan. Pada 26 Maret 2000, Pram menolak permintaan maaf Gus Dur terkait pembantaian PKI 1965-1966. Pram merasa bahwa permintaan maaf tersebut tidak disertai dengan tindakan konkret untuk mengembalikan martabat korban dan keluarga mereka.

Meskipun terdapat perbedaan pandangan, hubungan antara Gus Dur dan Pram tetap menunjukkan bahwa dialog dan persahabatan lintas ideologi dapat terjalin dengan saling menghormati dan memahami. Keduanya menjadi simbol bahwa spiritualitas dan ideologi bisa berjalan berdampingan tanpa harus menyeragamkan pandangan.

Pramodya dan Buya Hamka: Pelajaran Toleransi

Barangkali salah satu kisah paling menarik adalah hubungan Pram dengan Buya Hamka. Pada tahun 1962, hubungan antara Pramoedya Ananta Toer dan Buya Hamka mengalami ketegangan akibat tuduhan serius yang dilontarkan terhadap karya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Pramoedya, melalui rubrik “Lentera” di harian Bintang Timur, menuduh bahwa novel tersebut merupakan hasil plagiat dari karya penulis Prancis, Jean-Baptiste Alphonse Karr, berjudul Sous les Tilleuls (Di Bawah Pohon Linden), yang disadur ke dalam bahasa Arab oleh Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi dengan judul Magdalena.

Tuduhan ini memicu polemik di kalangan sastrawan Indonesia. Beberapa penulis dan kritikus sastra dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang berafiliasi dengan ideologi kiri, mendukung tuduhan tersebut.

Di sisi lain, tokoh-tokoh seperti HB Jassin, Anas Ma’ruf, Ali Audah, Asrul Sani, dan Usmar Ismail membela Hamka, menegaskan bahwa karyanya adalah hasil orisinal yang mengangkat tema dan budaya Indonesia.

HB Jassin, seorang kritikus sastra terkemuka, menolak tuduhan plagiat tersebut. Menurutnya, “plagiat” adalah pengambilan karya orang lain sebagian atau seluruhnya dan membubuhkan nama sendiri seolah-olah kepunyaannya. Ia menegaskan bahwa Tenggelamnya Kapal Van der Wijck bukanlah plagiat, melainkan karya orisinal yang mengangkat tema dan budaya Indonesia.

Hamka sendiri memilih untuk tidak banyak menanggapi tuduhan tersebut dan menyerahkan persoalan ini kepada panitia penyelidikan, menyatakan kesiapannya untuk diadili.

Meskipun sempat berseteru, hubungan antara Pramoedya dan Hamka akhirnya menemukan titik damai. Setelah perseteruan panjang, keduanya berdamai melalui cara yang tak terduga. Ketika putri sulung Pramoedya, Astuti, berencana menikah dengan kekasihnya, Daniel Setiawan, Pramoedya menegaskan bahwa ia tidak setuju jika anaknya menikah dengan seseorang yang berbeda agama. Oleh karena itu, ia meminta Daniel untuk memeluk Islam sebelum menikahi Astuti.

Menyadari keterbatasannya dalam pengetahuan agama, Pramoedya mengutus Astuti dan Daniel untuk belajar Islam kepada Buya Hamka, ulama terkemuka yang sebelumnya pernah ia kritik. Pramoedya beralasan bahwa dalam hal ceramah agama, khususnya tentang tauhid, Buya Hamka adalah yang paling mantap di Indonesia.

Astuti dan Daniel kemudian mendatangi kediaman Buya Hamka. Setelah mendengar maksud kedatangan mereka, tanpa ragu, Buya Hamka membimbing Daniel untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, menandai masuknya Daniel ke dalam Islam. Buya Hamka juga menganjurkan Daniel untuk berkhitan dan menjadwalkan sesi belajar agama Islam bersama.

Tindakan Pramoedya yang mengirim calon menantunya untuk belajar agama kepada Buya Hamka dipandang sebagai bentuk permintaan maaf secara tidak langsung atas perseteruan mereka di masa lalu. Sementara itu, kesediaan Buya Hamka untuk membimbing Daniel menunjukkan sikap pemaaf dan kebesaran hatinya, mengesampingkan perbedaan dan konflik yang pernah terjadi antara mereka.

Kisah ini menjadi contoh bagaimana dua tokoh dengan latar belakang dan pandangan berbeda mampu menemukan titik damai melalui sikap saling menghormati dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.

Warisan Pram: Kemanusiaan di Tengah Polarisasi

Di tengah zaman yang semakin terpolarisasi, kita membutuhkan warisan Pramoedya Ananta Toer. Humanismenya mengajarkan bahwa kita bisa melampaui sekat agama, ideologi, atau politik demi nilai-nilai yang lebih besar. Hubungannya dengan Gus Dur dan Buya Hamka adalah bukti bahwa dialog tidak selalu harus menghasilkan kesepakatan, tetapi setidaknya saling memahami.

Pramoedya Ananta Toer, meskipun mungkin tidak pernah mengidentifikasi dirinya dengan nilai-nilai Islam atau ajaran agama tertentu, tetapi telah menghidupi ajaran Islam dan ajaran agama manapun, tentang kemanusiaan.

Dalam kata-katanya yang getir, ia menuntut keadilan bagi mereka yang tertindas, sebuah seruan yang sejatinya adalah inti dari misi kenabian: “Katakanlah kebenaran meskipun itu pahit.”

Seabad setelah kelahirannya, Pram tetap relevan. Dalam dirinya, kita belajar bahwa menjadi manusia adalah tugas yang tak pernah selesai, dan bahwa dialog tanpa sekat adalah warisan yang harus terus kita jaga.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan