Perkembangan bahasa era kiwari mungkin lebih cepat dari yang kita lihat sebelumnya. Di tahun-tahun lampau kita tidak bisa melihat perkembangan bahasa yang melesat sebagaimana hari ini. Tetapi, kurang dari satu tahun terakhir perkembangan berbahasa mulai menunjukkan dinamika berbeda. Perubahannya lekas dan tidak pernah diprediksi sebelumnya. Dahulu, tidak ada seorangpun yang mungkin membayangkan bahwa akan ada masa di mana bahasa dioplos (Indonesia-Inggris). Lagi-lagi kita tidak pernah menduga dan bahkan terkecoh bahwa pada akhirnya bahasa mengalami percampuran.
Sejujurnya, mungkin bahasa memang tidak murni, dan mengalami serapan dari bahasa sebelumnya. Bahasa Indonesia (yang kita kenal sekarang), umpama, mungkin telah melewati persinggungan dengan bahasa lain. Sehingga, tatkala saya cek kembali di kitab agung bahasa Indonesia (baca: KBBI), ada banyak sekali lema serapan. Saya tidak menghitung dengan pasti berapa kata serapan yang termaktub di dalam buku pedoman yang berisi ribuan bahkan jutaan lema itu. Di sisi lain, kita kemudian akan menemukan beberapa hal menarik dari persoalan bahasa.
Persoalan tersebut tidak lain adalah inferioritas dan superioritas di dalamnya. Sebelum jauh masuk terhadap pokok soal, hal pertama yang harus disepakati bahwa bahasa pada titik hakikinya hanyalah alat komunikasi untuk menyampaikan pesan. Kita bisa memahami apa yang dikatakan oleh lawan bicara karena ada alat bantu bernama bahasa.
Dalam Oxford Dictionary bahasa diungkapkan sebagai “system of communication in speech and writing used by people of a particular country”. Secara sederhana dapat dipahami bahwa bahasa adalah bagian dari sistem komunikasi baik dalam (bentuk) pembicaraan maupun tulisan yang dilakukan oleh sekelompok orang dari negara tertentu.
Cakupan bahasa sendiri juga tidak sesempit yang kita bayangkan. Sebagaimana sudah dijabarkan di atas bahwa bahasa bisa berbentuk ungakapan dengan lisan, maupun tulisan, bahkan isyarat. Namun, pada inti pokoknya bahasa hanyalah alat untuk melancarkan komunikasi tiap individu. Tanpa sistem bahasa, individu tidak mungkin dapat berkomunikasi satu sama lain dan tidak dapat menjalin relasi. Bukankah manusia adalah makhluk yang butuh relasi, atau zoon politicon dalam istilah Aristoteles?