Awal Mei 2021, Kementerian Agama secara resmi meluncurkan Peta Jalan Kemandirian Pesantren. Tujuan dari program kemandirian pondok pesantren ini untuk mendorong terbangunnya iklim pesantren yang mandiri, terutama dari segi ekonomi.
Saat Peta Jalan Kemandirian Pesantren diluncurkan, Kementerian Agama juga menetapkan 9 pesantren sebagai percontohan pondok pesantren mandiri. Sembilan pesantren yang menjadi percontohan itu adalah Pondok Pesantren Asadiyah di Kalimantan Utara, Nahdlatul Ulum di Sulawesi Selatan, Dayah Darul Atiiq di Aceh, Qamarul Hida di NTB, Al Imdad di Bantul, Attahdzib di Jombang, Tarbiyatul Banin di Cirebon, Al Amin di Riau, dan Raudlatul Mubtadiin di Jepara.
Dengan adanya 9 percontohan tersebut, diharapkan kemandirian pesantren juga menular pada pesantren-pesantren lain. Seperti apa potret 9 pesantren yang dijadikan percontohan tersebut, berikut rangkumannya disarikan dari berbagai sumber.
Pondok Pesantren Tarbiyatul Banin berada di wilayah Cirebon, Jawa Barat, tepatnya di Kelurahan Kaliwadas, Kecamatan Sumber, Cirebon. Semula, pesantren ini dimaksudkan untuk memberikan pendidikan bagi anak-anak yatim setempat agar tidak perlu belajar terlalu jauh. Kini, Pesantren Tarbiyatul Banin sudah memiliki perguruan tinggi dengan jumlah mencapai lebih dari seribu orang.
Pesantren Tarbiyatul Banin didirikan pada 1989 atas inisiatif para wali santri yang memondokkan anak-anak mereka di Pondok Pesantren Manba’ul Hisan di Sidayu, Gresik, Jawa Timur. Saat itu, banyak anak-anak yang berasal dari Cirebon mondok di pesantren yang diasuh oleh KH Muhammad Bin Sofwan ini. Para wali santri asal Cirebon ini kemudian membentuk jamaah yang disebut Jami’iyah Walidul Banin Walbanat.
Suatu hari, kepada para wali santri ini, KH Muhammad Bin Sofwan mengusulkan agar di Cirebon didirikan saja pesantren khusus anak-anak. Mengingat, banyak sekali anak-anak dari wilayah Cirebon yang dipondokkan di Pesantren Manba’ul Hisan Gresik. Dengan begitu, masyarakat Cirebon tak perlu jauh-jauh memondokkan anaknya sampai ke Gresik.
Setelah memperoleh saran dari KH Muhammad Bin Sofwan tersebut, anggota Jami’iyah Walidul Banin Walbanat bermusyawarah untuk mempersiapkan langkah-langkah mendirikan pesantren khusus anak-anak. Saat itu, Jami’iyah Walidul Banin Walbanat mengirimkan 16 orang ke Pesantren Manba’ul Hisan Gresik. Tujuannya untuk dididik dan dikader guna mempelajari cara memdidik dan beradaptasi dengan anak-anak.
Setelah masa persiapan selesai, Jami’iyah Walidul Banin Walbanat kembali mengadakan musyawarah. Kali ini musyawarah melibatkan para kiai sepuh sewilayah III Cirebon, bertempat di Musala Ash-Shiddiq Kaliwadas, Weru, Cirebon. Rupanya, dalam musyawarah seluruh anggota Jami’iyah Walidul Banin Walbanat sepakat sudah saatnya untuk mendirikan pesantren sendiri. Pesantren khusus anak-anak, terutama untuk anak-anak yatim.
Dalam musyawarah tersebut, yang ditunjuk untuk menjadi pengasuh dan penanggung jawab pesantren yang bakal didirikan ini adalah KH Nasiruddin Siddiq, yang ketika itu masih menjabat sebagai Kepala Desa Kaliwadas. KH Nasiruddin Siddiq tak bisa menolaknya, karena para ulama yang ikut musyawarah mendukungnya.
Setelah itu, untuk pendirian pesantren, KH Abdul Hadi dan Ny Hj Masrifah, yang tak lain adalah kakak kandung KH Nasiruddin Siddiq, menyerahkan tanah untuk diwakafkan sebagai tempat didirikannya pesantren. Pesantren itu akhirnya berdiri dengan sokongan dari seluruh masyarakat setempat. Pesantren yang baru berdiri pada 1989 itu akhirnya diberi nama Pondok Pesantren Tarbiyatul Banin, nama yang diusulkan oleh KH Ahmad Muzani Noor yang saat itu menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Barat.
Sesuai nama dan tujuannya, pesantren ini pada awalnya memang dikhususkan untuk anak-anak usia Sekolah Dasar (SD), terutama untuk anak-anak yatim piatu. Pada tahun pertama, tercatat ada 15 anak yang belajar di sini. Model pendidikannya pun mengadopsi apa yang dipelajari dari Pesantren Manbaul Hisan Sidayu, Gresik, yaitu menekankan pada penguasaan baca-tulis Al-Quran. Selain itu, anak-anak santri ini juga diberi pilihan pendidikan lanjutan berupa penghafalan Al-Quran (Tahfudzul Quran) atau pendalaman dan pengkajian kitab-kitab klasik (Ta’limul Kutub).
Rupanya pesantren ini mengalami perkembangan pesat. Pada awal 1990-an semakin banyak anak-anak usia SD yang dipondokkan di sini. Maka, sebagai penunjang dan penyeimbang proses pembelajaran, dibuka juga Madrasah Diniyah Miftahul Mubtadi’in untuk santri usia SD dan Madrasah Diniyah Ash-Shiddiqiyah untuk santri usia Mts/MA. Tak hanya itu, di pesantren ini dilengkapi juga dengan program bahasa Arab dan bahasa Inggris. Bahkan pada 1998, MA Ash-Shiddiqiyah mendapatkan persamaan (Mu’adalah) dari Al-Azhar l-Syarif Islamic Research Academy Cairo, Mesir.
Pondok Pesantren Tarbiyatul Banin yang kemudian berada dibawah naungan Yayasan Pendidikan Pesantren Kanak-Kanak (YPPK) kemudian berubah nama menjadi Yayasan An-Nasher, pada 2004 juga mendirikan sekolah tinggi, yaitu Akademi Analis Kesehatan An-Nasher Cirebon.
Bisnis Tebu
Kini, dengan jumlah santri lebih dari 1000 orang, Pesantren Tarbiyatul Banin telah berkembang pesat dan memiliki berbagai fasilitas pendidikan yang memadai. Pesantren ini sudah memilik lahan luas dan gedung-gedung sendiri, seperti asrama lantai dua, masjid, perpustakaan, dan laboratorium. Bahkan ada juga lapangan sepak bola, lapangan bola voli dan basket, tenis meja, dan lapangan bulu tangkis. Sarana dan prasarana tersebut diadakan untuk menunjang proses pembelajaran para santri.
Karena dari awal pesantren ini mengutamakan santri dari anak-anak yatim piatu, untuk membiayai operasinal pesantren, pengasuh pondok berbisnis tebu. Mulanya, KH Nasiruddin Siddiq menyewa menyewa lahan dari warga maupun pemerintah. Lambat laun, usahan itu pun mengalami peningkatan. Hasil dari bisnis tebu itulah yang digunakan untuk menopang kegiatan Pesantren Tarbiyatul Banin hingga menjadi pesantren mandiri —meskipun masih ditopang juga dari SPP santri dan donatur masyarakat.