Mandar, daerah yang terletak di pesisir Sulawesi Barat tak hanya dikenal karena keindahan alamnya yang memukau. Mandar juga populer karena merupakan tempat lahirnya sejumlah ulama kharismatik. Selain dikenal sebagai pendakwah, ulama-ulama juga dikenal sebaga pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia.
Sayangnya, literatur terkait pengabdian para ulama tersebut masih sangat kurang. Sehingga generasi muda kini mulai melupakan jejak-jejak perjuangan para ulama pendahulu. Di antara jejak perjuangan yang mulai terlupakan itu adalah seorang ulama kharismatik di Malunda bernama KH Muhammad Husain.
KH Muhammad Husain adalah sosok ulama kharismatik yang ada di Tanah Mandar. Ia lahir pada tahun 1883 Masehi di Malunda, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. KH Muhammad Husain merupakan putra ketiga dari pasangan Puaq Bunga yang berasal dari Malunda dan Pueq Rakka atau Cindaraq dari Rantebulawan.
Menurut catatan para sejarawan Mandar, KH Muhammad Husain adalah salah seorang kadi di Kecamatan Malunda. Dalam bahasa Mandar, Kadi disebut Puang Kali, sehingga ia lebih dikenal dengan sebutan Puang Kali Malunda.
Anak Istimewa
Sejak masa kecilnya, Puang Kali Malunda telah menunjukkan ciri-ciri yang istimewa. Meskipun lahir dari keluarga yang sama seperti anak-anak Malunda pada umumnya, namun fisiknya tidak seperti kebanyakan orang Malunda. Wajahnya tampak putih dan bola matanya memiliki warna yang berbeda. Keistimewaan fisiknya ini membawanya pada kejadian-kejadian unik dalam kehidupannya.
Kisah-kisah unik tersebut antara lain, ketika ia berlayar ke Makassar sebagai anak kecil, ia dicium “Seperti dijilati” oleh pedagang Arab. Menurutnya pedagang Arab tersebut, Puang Kali Malunda adalah anak istimewa.
Lain waktu, ia juga juga pernah diambil oleh penguasa Belanda, bernama Tuan Petor. Puang Kali Malunda disangka keturunan Belanda. Beruntung, orangtuanya bisa membuktikan bahwa Puang Kali Malunda adalah keturunan pribumi.
Belajar Ilmu Agama
Budayawan Mandar, Muhammad Ridwan Alimuddin, mengungkapkan, Puang Kali Malunda pada waktu remaja menuntut ilmu agama di Pulau Salemo, salah satu pulau yang menjadi pusat perdagangan di Selat Makassar dan banyak menghasilkan ulama kharismatik. Di antaranya Imam Lapeo, Annangguru Saleh, dan Ambo Dalle (Ridwan, 2013).
Setelah belajar di Pulau Salemo, ia melanjutkan memperdalam ilmu agama di Mangkoso, di Pambusuang, dan di Lapeo.
Merujuk pada “Galeri Mandar Indonesia”, Puang Kali Malunda saat berada di Lapeo menerima ilmu tarekat dari KH Muhammad Tahir, seorang ulama sufi yang dikenal dengan sebutan Imam Lapeo atau To Salama (orang selamat).
Puang Kali Malunda dikenal sebagai seorang ulama yang sangat mencintai ilmu agama. Suatu ketika, ia menjual 40 kerbau untuk membeli 1 kitab istimewa. Konon, kitab tersebut hanya dimiliki oleh tiga orang di Sulawesi, yaitu Syaikh Hasan, Ambo Dalle, dan Puang Kali Malunda.
Pengabdian
Meskipun dikenal sebagai ulama, namun semasa hidup, Puang Kali Malunda tidak hanya menghabiskan waktu untuk berada di masjid. Setiap selesai salat subuh, ia pergi ke kebunnya untuk membersihkan dan menanam tanaman layaknya petani di Malunda pada umumnya.
Pada malam hari, setelah salat isya, ia menerima pengunjung yang datang ke rumahnya. Pengunjung tersebut berasal dari berbagai daerah. Pernah suatu waktu, ketika pengunjung datang silih berganti, sang istri dan pembantu di rumahnya kelelahan dan tertidur. Akhirnya, Puang Kali Malunda sendiri turun langsung ke dapur membuat jepa (makanan yang terbuat dari singkong) untuk para pengunjungnya.
Pejuang Kemerdekaan
Selain dikenal sebagai ulama kharismatik, Puang Kali Malunda juga dikenal sebagai pejuang kemerdekaan di Tanah Mandar. Puang Kali Malunda adalah orang yang pertama kali mengibarkan bendera merah putih di Malunda.
Ia juga beberapa kali terlibat dalam peristiwa penting untuk mempertahankan kemerdekaan. Di antaranya, melawan kelompok DI/TII yang melakukan pemberontakan terhadap NKRI tahun 1950-1965. Karena keberaniannya itu, ia kerap menjadi target pembunuhan oleh kelompok yang berbeda pandangan politik. Namun usaha untuk membunuhnya tidak pernah berhasil.
Puang Kali Malunda meninggal dunia setelah pulang dari Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji. Ia meninggal di pembaringan dalam keadaan bertakbir, mendekapkan kedua tangan ke dadanya, pada 27 Juni 1992 dan dimakamkan di depan Masjid Raya Malunda.