SUARA DARI SUNGAI MUSI
1/
pada mulanya, air adalah kitab
yang dibacakan para pendayung di bawah langit kuning.
sungai menjadi jalan ziarah —
menghubungkan zikir dan rempah
antara pelabuhan dan pengertian.
di atas gelombang, suara azan pertama disiarkan
menggema hingga menembus pohon-pohon nipah
menyentuh lidah-lidah yang belum mengenal nama ‘Sriwijaya’.
Mereka menulis sejarah dengan perahu
mengirim surat pada Tuhan melalui arus.
tapi kini sungai hanya mengantarkan plastik dan iklan pemilihan wali kota.
airnya berbau janji
dan ikan-ikan mati dengan insang terbuka —
seperti mulut rakyat yang terus menunggu jawaban.

2/
di sekolah, seorang guru sejarah bertanya,
“siapa pendiri Sriwijaya?”
kelas hening, kecuali suara ponsel
yang memutar iklan sabun pencerah wajah.
anak-anak menunduk bukan karena hormat,
melainkan karena sedang mencari di mesin pencari.
“pendiri siapa, Bu?” tanya satu suara.
guru itu tersenyum pahit,
karena yang dicari kini bukan lagi makna,
tapi data.
di luar jendela, Sungai Musi mengalir pelan
membawa kabar bahwa kebesaran tak lagi diajarkan,
hanya diarsipkan.
prasasti-prasasti kini dikurung kaca
bukan untuk dibaca
melainkan difoto, diunggah, diberi caption:
bangga jadi bangsa yang pernah besar.
3/
aku berjalan di tepian sungai—
di mana dulu kapal dagang bersandar
kini berdiri kafe dengan nama: Emporium of Empire.
para pengunjung menyesap kopi
dan berfoto dengan latar sejarah yang telah dipoles lampu neon.
di dindingnya tergantung lukisan raja yang tersenyum
padahal di luar sana rakyat masih menambang pasir dengan doa yang retak.
mereka menyebutnya pembangunan
padahal itu penguburan perlahan.
setiap proyek dimulai dengan upacara
tapi tak ada yang mendoakan sungai.
mungkin karena airnya dianggap saksi yang tak bisa bicara
padahal ia tahu:
setiap kali arusnya keruh
ada sesuatu yang kembali dilupakan.
4/
malam di Palembang datang dengan cahaya yang bukan bintang—
melainkan kilatan lampu dari pusat perbelanjaan.
di sana, nama Sriwijaya dijual dalam bentuk merek pakaian
dan sejarah disulap menjadi desain interior.
aku mendengar azan dari menara masjid tua
tapi suaranya tenggelam di antara musik promosi.
ada anak kecil duduk di pinggir jembatan Ampera
menjual gantungan kunci berbentuk garuda.
ketika kutanya, “kau tahu arti lambang itu?”
ia menjawab, “katanya buat keberuntungan.”
aku tersenyum getir:
di tanah yang dulu mengajarkan kebijaksanaan,
kita kini menukar kebesaran dengan keberuntungan.
5/
di hulu, air masih jernih.
di sanalah mungkin Sriwijaya bersembunyi
bukan dalam bentuk istana atau prasasti
tapi dalam kesunyian yang menolak dijual.
aku duduk di tepi sungai
mendengar suara yang datang dari dalam arus:
“kami bukan hilang, kalianlah yang berhenti membaca tanda.”
dan tiba-tiba aku sadar
sejarah bukan soal masa lalu
tapi cara kita menolak menjadi bodoh lagi.
Sungai Musi terus mengalir
melewati pasar, dermaga, dan gedung pemerintahan
membawa rahasia yang tak pernah usang:
bahwa setiap bangsa yang lupa pada air asalnya,
akan haus selamanya.
JEJAK DI BATU YANG TAK LAGI MENGGEMA
I/ Sebelum Nama Itu Diukir
Sebelum batu itu dipahat
ada doa yang terbang dari hutan ke langit
mencari tempat untuk singgah.
Di antara akar dan tanah basah
waktu belum punya bahasa.
Yang disebut sejarah hanyalah ingatan
tentang siapa yang pertama kali percaya
bahwa batu bisa menyimpan keabadian.
II/ Sang Juru Ukir
Ia datang dari jauh
membawa palu dan keyakinan.
Setiap pukulan bukan hanya kerja tangan
melainkan penaklukan atas diam.
Di matanya, huruf-huruf adalah mata air
yang menolak kering meski abad berpindah.
Ia tahu: kelak batu ini akan retak
tapi suara yang ia ukir
akan menolak padam.
III/ Kerajaan yang Terlupa
Kini tinggal nama
yang ditulis ulang tanpa saksi.
Orang-orang menyebutnya legenda
padahal ia pernah bernapas
memukul genderang, membangun candi,
dan menyalakan obor di tepian rimba.
Sejarah menulisnya dengan tinta kuasa
bukan dengan darah yang ia tumpahkan
demi membela nama tanah.
IV/ Batu yang Menyimpan Lidah
Setiap prasasti adalah luka yang membatu.
Huruf-hurufnya masih menyimpan getar
meski lidah yang menuturkannya telah menjadi tanah.
Siapa yang kini mengerti
bahwa bahasa adalah bentuk paling tua dari perlawanan?
bahwa menulis adalah cara melawan lupa
dengan kesunyian?
V/ Setelah Nama Itu Luntur
Hujan turun seperti penghapus yang sabar.
Batu-batu berlumut, tetapi gema doa di dalamnya tetap hidup.
Sejarah mungkin berpindah tangan
tetapi maknanya akan selalu kembali
kepada mereka yang berani menafsir.
Karena sejatinya
yang abadi bukanlah nama
melainkan keyakinan untuk mengingat.
Sumber ilustrasi: threads.com, irmaprastiwi.
