DI PASAREANMU
Menjelang subuh,
batu-batu kedinginan,
semalam,
tiba-tiba hujan datang,
serupa rindu tak diundang.
Di antara pohon-pohon kenitu, pohon-pohon mangga dan kesambi,
ada pesareanmu mengabadi
Para santri tak beranjak walau sesenti,
saling khusuk saling tunduk,
Sementara aku,
di dekat pasareanmu,
tubuhku diguyur hujan dan air mataku sendiri.
Oh Kiai,
adakah diri ini masuk nominasi,
di hadapanmu sebagai santri?
Oh Kiai,
semoga santri jalang ini diakui, masuk dalam panjang barisanmu, Kiai.
Toa-toa masjid berkumandang,
tanda azan subuh sempurna datang.
Ah!
Barangkali doa dan rindu sama saja,
semakin khusuk mengingatmu, semakin khusuk pula jiwa ini merindu dan mendoakanmu.
Ah!
fragmen kenangan itu berkeliaran lagi di kepala,
apa karena jarakku terlalu jauh dari pesantrenku di madura?
Malang, 2024.
DI KAKI IBU
Sekelam apapun hidupku
Jika masih ada Ibu
Benar-benar tenang,
seperti terlahir kembali.
Di telapak kaki Ibu
Aku mengais sendiri dosa-dosaku
Berkaca-kaca, kapan akhirnya ajal tiba?
Telah terbit air mataku
saat engkau menutup mata selamanya
Seperti gagak memungut tanah kering
Diriku tak lagi berguna.
Di telapak kaki Ibu
Kumembasuh sekujur muka
yang lusuh dengan dosa
Diingatkannya diriku
Pada jarum-jarum panjang
Menatapku dari depan.
Tapi aku salah,
Sebelum benar-benar pergi
Aku mencium wajahmu terakhir kali
Bibirmu menyungging senyum
Menjelma pesan serupa kata
:Saat aku pergi, sudah saatnya kamu sendiri. Tak ada siapa lagi, cukup doa dan Tuhanmu menjadi tempat mengadu. Sebab, tak ada lagi sosok Ibu!
Seolah-olah,
Begitu diriku
Mendengar suaramu.
2024.
DI KUNCUP REMBULAN
Kulihat kuncup rembulan
Dari celah kecil di dinding bambu langgarku
:Tempat segala harap,
serupa doa melangit malam
berjejer bersama rembulan
Kulihat awan-awan beriringan
Melayat malam yang duka dalam kelam
Memunculkan jari-jemari luka
Di ufuk kenangan
Kulihat degub angin kencang di kemalaman
Membasuh bumi dari gerah matahari
Lengkap sudah, semua merangkap indah di ujung mata
Ini baru dunia, bukan akhiratNya
Batulabang, 2024.
DI LANGGAR KECIL
Sekejap mata
Pujian sakral itu sampai di pengujungnya
Merayap dosa-dosa yang tersisa
Tertinggal di bekas sujud terakhirnya
Akhirnya dia sadar,
Setelah seharian ambruk di kaki hujan
Setelah semalaman mabuk wanita dan minuman
Di Langgar kecil itu
Sajadah lusuh menjadi saksi
Atas kejamnya peluh basah membebani
Di Langgar kecil itu
Dosa-dosa menjadi abu
Di langgar kecil itu
Air mata mengalir merdu
2024.
DI SEPANJANG AKU DAN KAMU
Di sepanjang aku dan kamu
Kutemukan ruang kosong
bernama keasingan
Tak ada di tempat lain, kecuali di diriku dan dirimu
Kutulis nama-nama itu di bebatuan
siapa sangka, bebatuan menggugurkannya
Takkan kubiarkan,
Kau khusuk sendiri
Di hadapanNya.
Takkan kubiarkan,
kau sendirian, menemuiNya.
Padahal sebagian tubuhmu adalah aku, padahal sebagian doamu dari jiwaku.
2024.
ilustrasi: markmallett.com/jw/blog/tag/lost/.