Pulang

29 views

Handphone Bu Mai tidak henti-hentinya berdering. Mata Bu Mai tertuju pada tas coklat yang terletak di atas ransel hitam. Tanganya langsung merogoh saku kecil di bagian belakang tas coklat.

“Assalamuaikum.”

Advertisements

“Waalaikumsalam, Saya Syahroni, Kakanwil Kemenag Jawa Timur, nanti tiba di Juanda pukul berapa?”

“Ya, Pak. Insyaallah jika tidak ada kendala pukul 15.15 WIB.”

“Saya ingin memperjelas beberapa hal yang telah disampaikan kemarin oleh Pak Arif. Hal tersebut terkait dengan Alzia memenangkan Aksioma Tahfiz tingkat nasional, ada beberapa undangan untuk mengisi acara. Hal tersebut akan kami jelaskan nanti di kantor.”

Bu Mai tidak bisa bisa menyanggupi terkait dengan kesanggupan Alzia untuk mengisi acara-acara yang ditawarkan oleh Kakanwil Kemenag. Ia harus menunggu izin kepada Aminah, Ibu Alzia. Selain itu, juga Abah Zunaidi, pengasuh pesantren, sekaligus Kepala MA Al-Hidayah.

“Apa tidak bisa besok atau lusa untuk memutuskan hal ini, Pak? Karena saya harus berkoordinasi dulu dengan pengasuh pesantren dan orang tuanya.”

“Jika bisa secepatnya saya dikabari ya, Bu? Karena ada acara yang harus dihadiri Alzia sebagai pemenang lomba tahfiz nasional yaitu peresmian gedung baru Fakultas Ekonomi dan Binis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Minggu depan. Lusa serah terima jabatan Kepala Kanwil Kemenag Jawa Tengah.”

“Baik Pak, saya memahaminya. Saya akan segera mengonsultasikan kepada Alzia, orang tuanya, dan kepala madrasah.”

Sementara panggilan petugas bandara menggema sehingga memecahan konsentrasi Bu Mai. Ia memandang Alzia.

“Petugas bandara telah memanggil kita untuk segera menaiki pesawat. Ayo, Zia segera bergegas.”

“Baik, Bu. Saya boleh bertanya sesuatu Bu, mengenai tawaran Kanwil Kemenag Jawa Timur?”

Alzia membuang pandangannya ke lantai. Dua rasa telah memenuhi hatinya. Antara rasa ingin mengharumkan nama Pondok Al-Hidayah atau menimba ilmu di Al-Hidayah sambil menikmati pertemuannya dengan kedua orang tuanya di setiap Jumat.

“Ya silakan, Zia.”

“Saya kemarin sudah bertanya kepada orang tua saya mengenai saya akan diminta mengisi acara di tingkat kabupaten, provinsi, atau nasional setelah memenangkan lomba tahfiz nasional ini.” Zia berhenti sebentar untuk menyusun kata-kata yang akan disampaikan kepada Bu Mai.

“Terus tanggapan orang tuamu bagaimana?”

***

Setelah prosesi pengumuman juara, Bu Mai memeluk Zia dengan sangat erat. Seakan sangat bangga sekaligus tak percaya bahwa anak didikannya bisa menjadi pemenang lomba Tahfiz Aksioma Putri Tingkat Nasional.

“Zia, saya akan menelepon Abah Zunaidi untuk mengabari berita mengejutkan ini.”

“Ya Bu, saya juga mohon izin menelepon ibu saya.”

“Assalamualaikum, Ibu Maisaroh.” Seorang laki-laki, bertubuh agak gemuk berkacamata mengucap salam kepada Bu Mai.

“Waalaikumsalam.”

“Saya Pak Arif, Official Aksioma Jawa Timur. Pertama saya ingin mengucapkan selamat atas keberhasilanmu ya, Alzia.”

“Terima kasih Bapak. Ini berkat bimbingan Bu Mai dan orang tua saya.”

“Ya Zia, tentu dengan kerja kerasmu juga. Bu Maisaroh, saya cuma ingin menyampaikan bahwa Alzia akan sering menjadi pengisi acara dalam berbagai kegiatan Kemenag baik dari tingkat kabupaten sampai nasional. Bahkan jika memungkinkan akan diikutkan dalam ajang lomba internasional.”

“Baik Pak Arif. Tetapi saya harus meminta izin kepada Abah Zunaidi, Pengasuh Pesantren Al-Hidayah. Zia, kamu juga harus izin orang tuamu dulu.”

“Baik Bu Mai, nanti saya akan telepon ibu.”

“Baik jika bisa nanti disegerakan ya? Saya rasa cukup itu saja yang saya sampaikan. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Jawaban kompak itu keluar dari mulut Bu Mai dan Zia.

“Zia lekas telepon orang tuamu. Saya akan menelepon Abah Zunaidi.”

Zia mengeluarkan HP sederhananya. Ditekannya simbol telepon hijau. Hanya ada dua nomor yang ada di riwayat panggilan yaitu nomor ibunya dan Bu Mai. Kemudian, ditekanlah nomor ibunya.

“Assalamualaikum, anakku yang cantik dan pandai.”

“Waalaikusalam Ibu. Bagaimana kabar Ibu? Ayah juga baik-baik saja?”

“Alhamdulliah Zia, semua baik-baik saja. Kapan pulang? Ibu sudah sangat kangen.”

Aminah memang sangat mencintai Zia. Ia memang tak bisa berpisah jauh dengan Zia. Makanya, Zia dipondokkan di Al-Hidayah, pondok pesantren yang jaraknya tidak ada satu kilometer dari rumahnya.

“Iya bu, saya juga sangat kangen dengan suapan Ibu. Kangen masakan ibu. Kangen semua tentang Ibu. Insyaallah besok akan pulang. Saya punya kabar, Bu. Entah ini menggembirakan atau menambah beban hatiku.”

“Jangan berkata begitu Zia. Tugas kita hanya melakukan yang terbaik, berdoa, dan bertawakal. Apa pun hasilnya itulah yang terbaik untuk kita. Yakinlah, Allah tidak akan memberikan keputusan yang menyusahkan hambanya.”

“Iya Bu.” Alzia sejanak diam.

“Saya tadi memenangkan lomba.” Belum sempat selasai berucap, ibunya meluapkan kebahagiaannya.

“Alhamdulillah. Doa Ibu terwujud. Kamu berhasil mencapai citamu, membuat bangga orang tua, dan mengenalkan Pondok Pesantren Al-Hidayah.”

“Alhamdulillah, Ibu. Tetapi saya mungkin akan sering tidak di pesantren. Tadi, Official Aksioma Jawa Timur menyampaikan kepada kami, mulai sekarang sampai tahun depan akan ikut menjadi pengisi acara tingkat kabupaten sampai nasional yang diadakan Kementrian Agama. Saya tidak bisa menimba ilmu kepada Bu Nyai Rohmah, Bu Mai, dan lainnya. Saya merasa masih ada banyak hal yang belum saya kuasai sedangkan tahun depan saya sudah lulus.”

“Jika itu tugas dari negara berarti harus dipenuhi, Nak. Kamu sebagai santri harus mengutamakan tugas negara daripada kepentingan pribadi. Nanti saya akan bicara kepada Bu Mai agar meminta pertimbangan kepada Abah Zunaidi.”

“Baiklah Ibu, terima kasih atas nasihat ibu. Saya sangat bangga menjadi anak dari ayah dan Ibu.”

“Sudah jangan bersedih, doa dan restu ibu selalu mengiringi langkahmu. Apa ada yang masih ingin kamu sampaikan kepada ibu?”

“Sementara ini tidak ada. Sampaikan salam hormat saya kepada Ayah. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Ada yang membuat Zia tidak bisa bertelepon lama dengan ibunya yaitu terdengar pengumuman yang berisi Kontingen Aksioma Jawa Timur diminta berkumpul di ruangan tempat parkir.

***

“Zia, kita tinggal menunggu hasil salat istiqarah Abah Zunaidi.”

“Ya Bu.”

Zia duduk di pinggir jendela. Matanya menatap ke hamparan awan putih. Mulutnya komat-kamit tanpa suara. Ia melantun dalam diam ayat-ayat al-Quran yang terukir di pikirannya. Sementa Bu Mai, yang duduk di sebelahnya memejamkan mata. Ia kelelahan karena seharian mondar-mandir di depan ruang ujian Aksioma Tahfiz Putri.

Sesaat kemudian, terjadi guncangan. Tiba-tiba di bagian atas tempat duduk keluar selang bening yang terhubung dengan masker oksigen dan pelampung kuning. Semua penumpang mulai panik histeris. Ada suara wanita yang berbicara melalui speaker.

“Penumpang harap tenang. Jangan meninggalkan tempat duduk. Mesin pesawat mengalami gangguan sehingga kita akan mendarat darurat. Untuk keselamatan penumpang, silakan dipakai pelampung kemudian masker oksigen.”

Seisi kabin riuh. Lampu dalam pesawat kemudian padam. Hanya teriakan yang bercampur dengan tangisan histeris yang ada dalam pesawat itu.

Zia tetap melantunkan ayat-ayat Quran. Karena dengan itu, Zia merasa tidak bisa mendengar riuh-riuh kepanikan penumpang pesawat. Tekanan udara yang berubah drastis menekan gendang telinga mereka. Semua telinga-telinga penumpang serasa semakin berdengung menyakitkan. Kepala Zia semakin sakit serasa semua udara masuk lewat hidung, telinga, dan mulut kemudian memenuhi otaknya. Tapi, Zia tak henti-hentinya melantunkan ayat-ayat suci.

Badan pesawat melaju ke bawah semakin cepat. Jarak ke tanah semakin dekat. Walaupun pilot berusaha mengendalikan benturan badan pesawat ke tanah sudah tak terelakkan. Tapi ada yang aneh, ketika semakin lama tubuh Zia merasa melayang. Ia merasakan ada tangan-tangan yang mengangkat tubuhnya hingga melayang.

***

Tadi pagi setelah memasak menu kesukaan Zia, Aminah mempercepat pekerjaannya menjemur padi. Walaupun rasa kecapaian membelenggunya masih menyempatkan datang setiap hari di Serambi Masjid Al-Hidayah. Masih tetap seperti Zia yang selalu menunggunya ketika sepulang sekolah. Aminah masih mambawa ransum yang berisi makan siang yang dimasaknya sendiri.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan