DOA YANG TERBAWA KE PANGKUANMU
(Haul pendiri dan reuni alumni Nurul Islam)
Telah tersampaikan dauh laut lewat panjatan doa. Menghentikan kembara di kota tanda tanya. Sebab, semesta sedang merayakan kepergian di pangkuanmu, sembari merangkai kembali peristiwa-peristiwa masa lalu yang pecah di lubuk kenangan. Ada budi yang menjadi harapan bagi kaki-kaki berwajah kepiluan. Meski tubuh berada di kursi bayangan di sepanjang waktu. Entah, kuasa masih berlabuh pada gelombang yang menjadi ratu bagi langkah, atau hanya tersurat di desir angin yang berbagi kehidupan dengan layar cakrawala jiwa. “Aku putuskan menjadi pinta bagimu, guru.”
Hendak ke mana pemujaan berlalu? Jantungmu telah berpenghuni harapan, setiba senja di antara purnama yang kembali dari perantau luka di atas laut kesunyian. Setelah mengucapkan, “pada tanah leluhur doa bersemayam.” Bahasa menjadi keabadian sunyi yang menyatu pada bahasa malam. Memuja megah warna abjad doa. Sambil lalu membacakan waktu yang bisu di dadaku. Padahal, purnama masa sudah dilestarikan dalam lagu-lagu Tuhan. Sebelum pagi menyapa kiblat di mata matahari. Ah, masih saja doa berarah pemujaan, bersemesta gelap di embun air mata. “Kubawakan doa bermunajat di pangkuanmu, guruku.”
Karangcempaka, 6 Juli 2022.
PURNAMA CINTA DALAM HIKAYAT LAUT
Riwayat 27 Juni 2022
Aku meminangmu dengan bismillah yang tumbuh dan mengakar di jantungmu. Merawatnya dalam hikayat laut yang mencatat sebuah arti: tentang kisah pertemuan gelombang dan batu-batu yang mencipta cinta. Meskipun keabadian merapuh di antara dua tiupan angin. Begitu purnamanya cinta, ketika dua kaki bertemu di tepi nan sunyi, “Bismillah, cintaku adalah doa.”
Pada ruang–tempat sepasang mata saling merebut kenangan. Aku membiarkan isyarat ketulusan pada debar hati. Ada bahagia yang kian berlinang ke laut; menjadi harapan mahligai surga di jembatan kesunyian. Barangkali, camar-camar telah putus asa memisahkan aku dan kamu, setelah tasbih mengikatnya dengan tahlil kehidupan. Sebab, aku hanyalah kepastian yang mengikatmu dalam hikayat laut.