PUTRI #1
Di antara kenang jejak yang kau sebar di atas aspal ini,
Kupungut bekas jemari kakimu yang tampak layu; rapuh; tapi bekas gincumu masih membiru.
Kulanjutkan menelusur kenang yang terus memburu bagai busur,
tampak siluet lambaianmu dari keramaian para pedagang asongan.
Kukejar, namun dalam sekejap lenyap di balik hingar bingar pasar.
Kau hilang,
dalam derap langkah kerinduan yang terus mengambang,
pada sudut gang remang-remang.
Wonokromo, 29 September 2021.
PUTRI #2
Aku pulang, berselimut kenang.
Kau hadir dalam bayang-bayang mimpi, menari-nari, berujar samar tentang negeri seribu mimpi.
Kutanya,
hanya kau jawab tawa.
“Kata Baginda, jangan banyak tanya,”
Katamu lalu kembali sirna.
Aku sadar, menatap nanar langit-langit kamar.
Kelam malam kian mencecar,
sedang aku tak mampu lagi bersembunyi dari lekuk bibirmu yg terus mengejar.
Maumu apa?
Ragamu menolak,
Nuranimu terdesak.
Sialnya,
bayangmu tak mampu kutolak.
Stasiun Sidoarjo, 29 September 2021.
PUTRI #3
Kuputuskan mengadu pada muasal segala rindu.
Membuai air di sepertiga terakhir,
Mengecup bumi yang kini tak lagi menjadi tempat kembali,
Berurai basah di saat banyak mata bermimpi indah,
Mendekap harap tentang isyarat yang belum telat.
Hanya namamu yang menggema di antara ceracau laba-laba.
Tak ada lelah,
maupun kesah.
Tiba-tiba aku melihat sebuah rumah tua,
dikelilingi pohon-pohon akasia.
Di depan pintu,
Kau melambai ramah,
berkata, “Selamat datang di rumah.”
Pandaan, 29 September 2021.
PUTRI #4
Pijar fajar seolah memberi kabar:
“Jejak yang kau kejar tak lagi menghindar.”
Aku kembali memungut jejak di tempat pertama kau berpijak.
Kusimpan jejakmu dalam sehelai kain kusut,
lalu mendadak wajahmu mengintip dari balik gerobak penjual luka; tawa; dan ketela.
Kupanggil, “Putri, jangan lagi lari,
dari ujung jari manismu,
adalah sebaik-baik tempat beradu.”
Pandaan, 29 September 2021.
ilustrasi: lukisan pablo picasso.