Akhir-akhir ini, radikalisme menjadi salah satu istilah yang paling sering diperbincangkan dan diasosiasikan dengan Islam; bahwa seakan-akan Islam adalah agama yang kaku, keras, dan tegas. Sedikit-sedikit hukuman. Salah sedikit harus membayar kafarat (denda yang harus dibanyar oleh seorang yang telah melakukan perbuatan dosa tertentu), dam (denda bagi orang yang berhaji atau berumrah), dan lain-lain, sehingga banyak di antara umat muslim di Indonesia terobsesi paham itu, dan menyalahkan golongan yang lain.
Pemicu radikalisme, mulai dari bom Bali dan bom-bom bunuh diri lainnya adalah pengaruh dari cekokan paham ini. Banyak dari mereka menyalahgunakan implementasi ayat-ayat dan hadis-hadis tentang jihad untuk memerangi saudara muslim sendiri atas dalih tidak selaras dengan perintah agama.
Radikalisme adalah suatu paham yang mengingingkan sebuah perubahan sosial dan politik dengan cara kekearasan. Sebagai contoh: peristiwa bom Bali dan pengeboman salah satu gereja di Surabaya. Kebanyakan dari pelakunya adalah mereka yang dicekoki ayat-ayat dan hadis-hadis jihad, sehingga terobsesi untuk memberantas kemungkaran yang ada di muka bumi.
Padahal, Islam adalah agama yang fleksibel dan penuh kasih sayang. Misalnya, mayoritas orang Afrika menganut mazhab Hanafi, karena lebih relevan dengan musim dan keadaan sosial di sana. Di Yaman dan di Indonesia, mayoritas menganut mazhab Imam Syafi’i, karena mayoritas adanya relevansi dengan kondisi sosial masyarakatnya, dan lain sebagainya.
Dikuti dari kitab Syariatullah al-Kholidah karangan Sayyid Muhammad bin Alawy al-Maliky, bahwa syariat Islam tidak akan kekal dan diterima oleh masyarakat secara luas kecuali bisa dinalar dan diterima oleh logika. Dalil ini menunjukkan bahwa betapa Islam sangat menjaga muqtadhol hal (keadaaan) mukallaf (seorang yang dikenai hukum Islam).
Salah satu contoh ringan, Islam memperbolehkan meringkas salat 4 rakaat menjadi 2 rakaat (qoshor), juga mengumpulkan dua salat dalam satu waktu, kemudian diperbolehkannya tidak berpuasa bagi orang yang berpergian jauh. Di dalam sebuah kaidah ushul fikih disebutkan: Al-hukmu yaduuru ma’a illatihi, bahwa hukum itu sesuai kausalitasnya, sebab-musababnya. Contoh kecil, diperbolehkannya menjamak salat, meng-qoshor, atau tidak berpuasa karena adanya sebab lelah. Ini yang dinamakan illat.
Analoginya, jika ada sebuah hadis yang menerangkan tentang ayat jihad, maka tidak bisa kita pahami secara tekstual. Kacau nanti jadinya. Misal, ketika Nabi ditanya oleh seorang anak muda tentang hukum mencium istri siang hari saat puasa, maka beliau menjawab tidak boleh. Berbeda ketika beliau ditanya oleh seorang kakek-kakek tua renta, maka beliau menjawab boleh. Ini yang disebut dengan muqtadhol hal (menyesuaikan keadaan).
Maka, tuntutan para pendakwah, kiai, dan ustaz zaman ini adalah mengetahui posisi lawan bicara. Kesalahan seroang ahli ilmu adalah kesalahan yang fatal, karena akan banyak masayarakat yang mengikuti pernyataannya. Sehingga tak heran, jikalau orang-orang yang menganut radikalisme sangat minim soal pengetahuan agama. Mereka hanya terobsesi oleh penyampaian interpretasi para pendakwah yang ada di kanal-kanal media soal dalil-dalil jihad.
Dari sini bisa kita pahami, bahwa dalil-dalil tentang jihad yang mereka interpretasikan adalah benar adanya. Namun, prespektif mereka soal merealisasikan dalil sedikit kurang objektif. Sehingga semua dalil yang mengandung jihad dipahami secara tektual, lalu diinterpretasikan seolah-olah sasaran jihad adalah semua perkara yang mengandung kemaksiatan, kebatilan, dan anarkisme, meskipun yang melakukan adalah saudara sendiri: kaum muslimin.
Ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi harus dipahami secara komprehensif-kontekstual; upaya menampilkan kebenaran pada setiap peristiwa yang terjadi, juga penalaran yang didasari oleh nash (Al-Quran dan hadis) yang dianalogikan dengan kausalitas sosial masyarakat (qiyas), bukan sekadar dipahami secara tekstual yang akan mengarah pada redaksi hadis saja, tanpa memandang asbabun wurud (sebab adanya dalil tersebut) dan abrogasi (nasakh dan mansukh) sebuah dalil.
Singkat kata, tidak semua dalil yang mereka interpretasikan bisa diimplementasikan. Islam mengutamakan kedamaian dan melarang adanya perpecahan. Sabda Nabi Muhammad Saw: “Perbedaan pendapat di antara umatku adalah bentuk rahmat Allah.” Selaras dengan itu, apa yang disampaikan oleh Gus Dur: “Islam melarang adanya perpecahan, bukan perbedaan.”
Wallahu a’lam bisshowab…