Indonesia memang negeri dengan banyak tradisi. Datangnya Ramadan pun disambut dengan tradisi yang berbeda-beda di banyak tempat. Beberapa di antaranya, ada Ngaliweut, Unggahan atau Punggahan, juga Basuluak, dan banyak lagi. Tak ada aturannya dalam fikih, tapi tradisi-tradisi itu sebagai bentuk kecintaan dan penghormatan terhadap bulan suci ini.
Pondok Pesantren Roudhatul U’lum Cidahu di Kecamatan Cadasari, Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat, adalah salah satu pesantren yang memiliki tradisi khusus dalam setiap menyambut datangnya Ramadan. Setiap bulan Ramadan, selalu ada acara ngaliweut di pesantren yang diasuh oleh KH Abuya Muhtadi ini.
Ngaliweut adalah masak berang-bareng yang dilakukan oleh seluruh santri, kemudian dilanjutkan dengan bancakan atau makan ramai-ramai. Di lingkungan pondok pesantren, bancakan sebenarnya bukan hal baru. Bahkan, bancakan masih menjadi kebiasaan di banyak pesantren.
Namun, ngaliweut dan bancakan untuk menyambut bulan penuh berkah ini berbeda suasananya. Semua santri Pesantren Roudhatul U’lum ikut serta dalam acara ngaliweut dengan penuh suka cita seperti terlihat saat menyambut datangnya Ramadan tahun ini. Ngaliweut di Pesantren Roudhatul U’lum biasanya diadakan mulai dua hari sebelum datangnya Ramadan.
Pada Sabtu 10 April 2021, para santri Pesantren Roudhatul U’lum sudah ngaliweut. Setelah bancakan, para santri kemudian mengadakan acara doa bersama agar diberi kekuatan menjalani bulan puasa sebulan penuh. Usai bancakan, para santri saling meminta maaf atas segala kesalahan. Setelah itu, tradisi yang dijalani para santri Pesantren Roudhatul U’lum adalah ngaji kitab kuning selama sebulan penuh.
Unggahan
Seperti masyarakat Jawa pada umumnya, saat menyambut Ramadan, masyarakat Pekuncen di Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah menggelar ritual unik yang disebut Unggahan. Istilah ini berasal dari kata unggah yang berarti naik atau masuk. Bisa diartikan sebagai langkah memasuk bulan Ramadan.
Ritual unggahan masyarakat Pekuncen ini memang beraroma magis karena dilakukan di situs tertentu yang dianggap keramat. Dalam menyambut Ramadan tahun ini, ritual unggahan dimaknai sebagai bentuk pelestarian warisan tradisi dan budaya para nenek moyang dalam upaya mendekatkan diri dengan Tuhan.
Di masyarakat Pekuncen, ritual unggahan perlu persiapan yang matang karena merupakan kegiatan besar dalam komunitas ini. Dalam unggahan, masyarakat Pekuncen membuat jenang dan nasi serta lauk pauknya untuk kenduri.
Saat ritual dilaksanakan, masyarakat Pekuncen mengenakan pakaian kejawen serba hitam. Selanjutnya mereka akan berjalan puluhan kilometer dengan bertelanjang kaki sambil memikul hasil bumi, ternak dan perlengkapan bumbu dapur sebagai bekal sowan juru kunci Bonokeling. Tradisi ini telah berlangsung secara turun-temurun.
Tradisi Basuluak
Di Padang, Sumatera Barat, juga ada tradisi khusus menyambut Ramadan. Jemaah tarekat Naqsabandiyah di Kecamatan Pauh, Kota Padang, sepuluh hari sebelum Ramadan sudah mulai menjalankan tradisi Basuluak. Tradisi Basuluak ini diartikan sebagai laku mengasingkan diri beribadah di masjid selama Ramadan. Seperti uzlah dari tradisi sufi. Tradisi Basuluak ini bagi Jemaah tarekat Naqsabandiyah di sana sudah berlangsung cukup lama dan diwariskan secara turun-temurun.
Banyak masjid yang digunakan untuk laku Tradisi Basuluak ini. Salah satunya adalah Masjid Baitul Makmur di Kampuang Binuang, Kecamatan Pauh, Kota Padang. Tak hanya dari Padang, jemaah yang mengikuti Tradisi Basuluak di masjid ini juga datang dari berbagai kabupaten lain, termasuk dari Riau dan Jambi.
Selama 40 hari, para jemaah tarekat Naqsabandiyah ini mengasingkan diri di masjid dengan beribadah dengan tujuan mendekatkan diri (taqarrub) dengan Allah. Selama 40 hari tersebut, sampai Lebaran tiba, para jemaah beribadah salat berjamaah, membaca wirid dan zikir, dan amalam-amalan lainnya.