Tak biasanya ibu mengeluarkan pisau dari sarungnya malam-malam. Ia mengamatinya dengan tatap yang teramat teliti mulai dari ujung hingga gagang. Pisau itu berkilau ditimpa cahaya lampu yang bergantung bisu tepat di atas kepalanya. Sejenak ia mendekatkan pisau itu ke lubang hidungnya, seperti menghidu bau tertentu, matanya terpejam, lalu wajahnya mendadak muram dan sudah kuduga, ia akan menyeka air mata dari ujung jilbabnya.
Aku hanya bisa mengintipnya dari balik pintu. Senyap merayap. Angin malam yang dingin berembus dari arah ventilasi. Di luar, di balik datar kaca jendela yang berembun, bulan meredup di pucuk daun jambu.
Ibu memasukkan kembali pisau itu ke dalam sarungnya yang terbuat dari kuilt binatang, menaruhnya kembali di rak lemari teratas, tak lupa menutup dan mengunci pintunya dengan memutar anak kunci yang bergantung. Ibu beranjak ke arah kamar tidurnya dengan langkah yang lemas, sebelum akhirnya menutup pintu dan memadamkan lampu.
Sejak ayah meninggal, ibu selalu terlihat di ruang tengah malam-malam, mengamati pisau kesayangannya, lalu menangis. Aku yakin, ibu punya kenangan manis dengan ayah melalui pisau itu, yang mengharuskannya menangis sebagai bentuk kerinduannya kepada ayah. Walau pun mereka sering bertengkar, bahkan tak jarang kulihat ayah menampar ibu, tapi begitulah kelembutan hati seorang istri yang baik, ia akan selalu menghormati, menyayangi, dan mengenang suaminya meskipun si suami telah menyakitinya sekalipun.
#
Siapa yang tak kenal pisau ibu. Bentuknya memanjang dengan sedikit lengkung pada ujung. Pangkalnya menancap pada sabuk logam kuning yang sekaligus mengikatnya pada gagang cokelat tua yang terbuat dari kayu sawo. Pisau itu diwariskan secara turun-temurun oleh tetua keluargaku hingga tiba di tangan ibu.
Setiap sayur, palawija, dan buah yang diiris dengan pisau itu, rasanya akan jauh lebih lezat dari biasanya. Maka tak heran bila si pemilik pisau itu—sejak dari moyang pada zaman dahulu—akan dipercaya jadi juru masak di setiap ada acara perkawinan, selamatan, dan acara hajatan lain.
Mula-mula setiap per satu jenis palawija atau sayur diiris dengan pisau itu oleh si empunya, kemudian pisau itu direndam ke dalam semangkuk air suci, dan air suci itu disiramkan pada palawija dan sayur lain yang tak sempat teriris oleh pisau itu. Cara seperti itu bisa meratakan efek lezat yang ditimbulkan pisau itu sehingga semua masakan akan lebih enak.
Dari waktu ke waktu, sangat tersohor kelezatan masakan yang bahannya dipotong atau diiris dengan pisau itu. Konon, ada beberapa pengusaha makanan dari luar daerah yang hendak membeli pisau itu dengan harga puluhan juta rupiah. Tapi sudah jadi wasiat tetua, agar pisau itu tidak dijual. Ia hanya boleh diwariskan kepada anak perempuan yang paling tua dari sesama saudara perempuan lainnya.
Nenek mewariskan pisau itu kepada ibu tiga tahun lalu, tepat dua hari sebelum nenek meninggal. Sejak saat itu ibu mulai membantu orang yang membutuhkan untuk memotong bahan-bahan yang akan dimasak demi mencapai sebuah kelezatan yang istimewa.
“Apa ada mantranya saat menggunakan pisau itu, Bu?” tanyaku suatu waktu, ketika ibu mengiris wortel di acara persiapan resepsi pernikahan salah seorang tetangga. Ibu tersenyum sambil terus menggerakkan pisau agak cepat, menimbulkan suara potongan wortel yang jatuh ke dalam wadah seng itu terus beruntun.
“Tidak ada mantranya, Nak. Cukup baca basmalah satu kali sebelum memotong,” ibu melirikku perlahan. Beberapa orang di sekitar kami melihat kelihaian tangan ibu yang seolah melompat-lompat menghabiskan wortel sangat cepat.
“Coba kaumakan ini,” ibu menjulurkan seiris wortel. Aku menggeleng karena tidak terbiasa maka wortel mentah.
“Ayo coba! Ini hasil irisan pisau ibu, rasanya pasti beda.” Ibu memaksaku, aku pun memberanikan diri mengunyahnya walau dengan hati yang khawatir. Saat kukunyah, aku terkejut dan merasa heran. Wortel yang kukunyah rasanya sangat lezat, seperti mengunyah potongan daging yang berpupur beragam bumbu, kupindah-pindah di antara barisan gigi dan kutahan agar tak segera tertelan demi menahan kelezatan yang ditimbulkan.
“Sungguh sangat lezat! Bagai menguyah daging, Bu!”
“Itu masih wortel mentah, jika dimasak, tentu rasanya akan lebih lezat lagi,” tambah ibu, berpaut senyum lembut. Tangannya masih menggerakkan pisau ajaibnya dengan cepat, membuat potongan wortel itu terus berjatuhan ke dalam mangkuk. Saat kutelan, melewati tenggorokan hingga ke dalam perut, wortel itu kurasakan persis daging sapi yang renyah.
Menurut cerita ibu, pisau ajaibnya itu adalah pisau purba kala yang pernah ada di surga. Mulanya pisau itu tak bergagang, menancap di datar sebatang pohon, sebelum akhirnya diambil oleh Hawa. Suatu waktu, pisau itu pernah digunakan Hawa saat membelah buah, kemudian ia dicampakkan begitu saja di atas rumput, setelah Adam memberi tahu Hawa bahwa di surga segala keinginan tinggal diucapkan, tak perlu menggunakan pisau untuk membelah.
Setelah Adam dan Hawa diusir ke bumi, pisau itu masih tetap berada di atas sehampar rumput; ia baru pindah ke bumi beberapa ratus tahun kemudian, melesap ke dalam tubuh seorang wanita tua yang bertapa di tengah hutan. Wanita tua itu kemudian membawa pulang pisau itu ke rumahnya, dilengkapi gagang dan sabuk logam dan digunakannya mengiris bahan makanan sehingga rasanya sangat lezat.
#
Sebagaimana malam-malam sebelumnya, ibu mengambil pisau itu dengan wajah yang ditimpa rasa cemas. Kali ini ibu tak lagi mengamatinya di bawah lampu. Ia hanya mendekap pisau bersarung itu di dadanya, lalu disembuyikan di balik bajunya, mondar-mandir ke sana kemari seolah ingin menyembunyikan pisau itu di tempat yang aman. Agak lama ia mondar-mandir antara kamar tengah dan kamar samping. Wajahnya semakin layu, bagai daun tua dicekik kemarau panjang. Akhirnya ia menuju pintu samping yang terhubung ke pekarangan. Lekas ia membuka pintu. Setelah melihat keadaan, tangan kanan yang memegang pisau itu diangkat dan ditarik ke belakang, ibu hendak melempar pisau itu ke luar pagar.
“Jangan, Bu!” aku berlari ke arahnya. Ibu terkejut dan segera menyembunyikan pisaunya. Ia sangat panik.
“Mohon jangan buang pisau itu, Bu. Itu pisau warisan. Sumber kelezatan bagi bahan masakan. Masih banyak orang yang membutuhkan itu, termasuk aku. Aku ingin besok atau lusa ibu memotongkan bahan-bahan sayur untukku.”
“Aku khawatir kamu juga sama dengan ayahmu. Ia tak percaya lagi pada kelezatan masakanku. Ia bukan menyanjung, malah memarahiku setiap hari karena menurut ayahmu, masakanku tidak enak,” bibir bawah ibu dilipat ke dalam, ia berurai air mata, bahunya bergetar, isaknya terdengar.
“Sudahlah, Bu! Tak usah nyebut-nyebut almarhum ayah. Mestinya kita berdoa untuknya walau ia pernah menyakiti ibu sekalipun.”
Ibu memelukku cukup erat hingga kudengar jelas deru napasnya di antara isak yang beruntun. Sebagian air matanya membasahi bahuku.
“Aku trauma dengan pisau ini.”
“Kanapa harus trauma, Bu?”
Aku membuka pelukan ibu, memegang wajah ibu dengan kedua tangan dan menatap matanya dalam-dalam. Ibu tidak menjawab pertanyaanku. Pelan ia hanya membalikkan badan dan melempar pisau itu ke atas lemari. Isak tangisnya terus terdengar mengetuk kesunyian.
Aku tahu, ayah semasih hidup berwatak keras. Ia juga rajin memarahi ibu. Tak jarang ia mengempaskan makanan dari meja ke lantai apabila makanan itu bukan seleranya. Selanjutnya ia akan menampar atau menendang ibu hingga ibu terkapar lemas di lantai, dilulur debu-debu. Ia akan berbicara banyak hal di depan ibu, sebelum akhirnya pergi entah ke mana, dan baru datang pada dini hari dalam keadaan mabuk, mengunci pintu kamar, lalu ngorok.
#
Aku tak mengira semuanya akan begini. Sore itu, setelah satu mobil polisi bersenjata lengkap mendatangi rumah ini dan beberapa kali menanyakan kematian ayah kepada ibu, ibu langsug mengaku jika ia sendiri yang membunuh ayah. Ibu berterus terang jika ia membunuh ayah dengan pisau ajaibnya itu. Alasannya karena terlalu kesal lantaran ayah selalu memarahinya. Tapi ibu mengaku menyesal atas apa yang telah dilakukannya itu dan ia bersedia dihukum seberat-beratnya demi menebus kesalahannya kepada ayah.
Ibu memperlihatkan pisau itu sebagai barang bukti kepada polisi, tapi ia memohon agar pisau itu tidak dibawa oleh polisi, sebab ibu akan memberikan pisau itu kepadaku sebagai pewaris sah, agar dijaga dengan baik dan digunakan untuk memotong bahan-bahan makanan sebagaimana para tetua terdahulu. Polisi pun memahami itu.
Ibu menangis di depan polisi sambil menunduk, menopangkan kepalanya ke pahaku. Aku pun berurai air mata. Tubuhku gemetar. Aku melihat air mata ibu yang bening seolah butiran cinta tulus kepada ayah meski ia sering disakiti. Sore itu pula, ibu dibawa polisi—mungkin—langsung ke sebuah penjara. Ia melambaikan tangan dari balik kaca mobil, lirih sekali. Wajahnya sangat muram diliputi air mata. Tangisku memuncak, lambaian ibu bagai pisau menusuk dada.
Suatu malam, saat kesunyian menyekap dan hanya menyisakan bunyi detak jam dari atas tembok, untuk pertama kalinya, kukeluarkan pisau itu dari sarungnya, dingin dan berkilau. Dengan tangan yang agak gemetar, coba kuuriskan pada sebuah apel merah di atas meja. Apel itu terbelah. Aku menghidu bau yang ganjil, seperti amis darah. Kuambil seiris dan kumakan. Saat kukunyah, aku seperti mengunyah-ngunyah daging. Aromanya sangat menyengat. Tiba-tiba perutku mual, lalu muntah.