Sesungguhnya puasa bukan melulu tentang makan dan minum, kulineran. Ada rahasia mendalam di balik diwajibkannya puasa sebulan penuh di bulan Ramadan bagi umat Islam. Rahasia itu yang perlu dicari di dalam bulan yang penuh rahmat, berkat, dan pahala ini.
Inilah bulan tidak pernah dimiliki para nabi terdahulu. Ironisnya, tak semua muslim mampu mengaplikasikan amalan terbaiknya sepanjang bulan suci ini.
Membincang perihal Ramadan sudah tidak asing lagi di telinga kita. Bahkan, seluruh kitab klasik maupun kontemporer secara detail telah membahasnya, terutama Kitab Ihya Ulum al-Din karya al-Ghazali. Di sana perihal puasa dibahas secara gamblang beserta hikmahnya.
Menurut penulis, kitab Ihya seharusnya menjadi rujukan kalangan santri dan nonsantri, dan perlu dibaca dan ditelaah ulang, karena ia mampu memadukan antara amalan zahir-batin dan fikih-tasawuf. Karena, tidak asing jika pesantren-pesantren di Jawa dan Madura pada bulan Ramadan mentradisikan kajian kitab Ihya sebagai bekal diterimanya puasa dan amaliah lainnya.
Secara makna dari sisi bahasa, ramadan berarti “membakar.” Makna konotatifnya berarti bisa membakar nafsu syahwat, membakar semangat, dan lainnya. Ulama memang berbeda pendapat perihal maknanya. Namun, intinya bulan ini menjadi pengobar semangat para muslim sedunia dalam meraih rahmat Allah.
Nabi menyambut Ramadan dengan sebutan “Syahrun Mubarakun.” Bahkan, di saat detik-detik akhir bulan Sya’ban, Salman al-Farisi menceritakan tentang sabda Nabi, “Rasulullah SAW memberikan khutbah kepada kami pada detik-detik akhir bulan Sya’ban. Sabda Beliau, wahai manusia, bulan yang mulia dan penuh berkah datang menaungi kalian. Suatu bulan yang di dalamnya terdapat malam yang lebh baik dari seribu bulan. Bulan yang Allah menetapkan puasa di dalamnya sebagai kewajiban dan qiyamullail di dalamnya sebagai kesunahan. Barang siapa mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu perbuatan baik di dalamnya, dia bagaikan orang yang melakukan suatu kewajiban di bulan lain. Barang siapa melakukan suatu kewajiban pada bulan ini, maka dia sama dengan oang yang melakukan tujuh puluh kewajiban di bulan lain.(HR. Ibnu Khuzaimah)”