Setiap pagi, saat membuka ponsel, banyak dari kita disambut oleh daftar trending topic di media sosial. Ada tagar yang sedang ramai diperbincangkan, berita terbaru yang terus diulang-ulang, atau perdebatan panjang yang menyita perhatian jutaan warganet. Seakan-akan, apa yang trending itulah yang penting, dan apa yang ramai dibicarakan itulah realitas yang harus diperhatikan.
Tetapi benarkah demikian? Apakah trending topic di dunia maya benar-benar mencerminkan realitas sosial di dunia nyata, atau sekadar bayangan semu dari algoritma yang mengatur arus perhatian publik?

Fenomena trending topic adalah gambaran paling nyata dari bagaimana ruang digital mengorganisasi atensi masyarakat. Algoritma media sosial bekerja dengan logika tertentu: semakin banyak orang berinteraksi dengan sebuah isu, semakin besar kemungkinan isu itu muncul di daftar trending. Logika ini membuat popularitas sering kali lebih menentukan daripada substansi. Akibatnya, apa yang terlihat penting di linimasa belum tentu sama dengan apa yang betul-betul mendesak di lapangan.
Namun, ada celah besar antara apa yang trending dan apa yang sungguh-sungguh penting. Tidak jarang, isu sepele atau bahkan tidak bermakna menjadi trending hanya karena lucu, kontroversial, atau penuh sensasi. Sebaliknya, isu-isu serius seperti krisis pangan, kerusakan lingkungan, atau ketidakadilan struktural kerap terpinggirkan karena dianggap “tidak menarik” di mata algoritma.
Dengan kata lain, dunia digital lebih sering mengutamakan apa yang memancing emosi sesaat dibanding apa yang berdampak jangka panjang bagi kehidupan bersama.
Ambil contoh fenomena olahraga. Kekalahan atau kemenangan tim sepak bola bisa mendominasi trending topic selama berhari-hari, lengkap dengan perang komentar antarpendukung, meme sindiran, hingga perdebatan tak berujung.
Sementara itu, laporan mengenai tingginya angka stunting, kesenjangan ekonomi, atau ancaman perubahan iklim hanya menjadi berita kecil yang cepat tenggelam. Padahal, dalam skala kepentingan publik, isu kesehatan dan kesejahteraan jauh lebih vital dibanding hasil pertandingan. Ini menunjukkan bahwa realitas sosial di dunia nyata sering kali kalah pamor dibanding realitas virtual yang dibentuk oleh trending topic.
Meski demikian, trending topic tidak sepenuhnya buruk. Ia bisa menjadi cermin cepat dari apa yang sedang dirasakan masyarakat. Ketika terjadi bencana alam, misalnya, trending topic bisa berfungsi sebagai alarm publik yang memobilisasi solidaritas.
Informasi mengenai kebutuhan logistik, lokasi pengungsian, atau nomor rekening donasi bisa menyebar dalam waktu singkat, menggerakkan orang untuk membantu meski dari jarak jauh. Begitu pula ketika ada kasus hukum yang dianggap janggal, trending topic bisa mengangkat suara-suara kecil agar didengar oleh penguasa. Dalam situasi seperti ini, daftar trending berfungsi sebagai termometer sosial yang menangkap suhu emosi masyarakat secara instan.
Masalahnya muncul ketika trending topic dijadikan satu-satunya patokan untuk memahami realitas. Kita menjadi terjebak pada apa yang viral, seolah-olah itulah kebenaran tunggal. Padahal, viralitas bukan ukuran validitas. Apa yang ramai dibicarakan tidak selalu benar, dan apa yang benar tidak selalu ramai dibicarakan. Jika masyarakat hanya terpaku pada trending topic, mereka rentan kehilangan kemampuan untuk memilah mana isu yang benar-benar mendesak dan mana yang sekadar hiburan digital.
Media massa arus utama pun menghadapi dilema serupa. Demi mengejar klik dan rating, mereka kerap ikut latah mengangkat isu-isu yang sedang trending tanpa memberi konteks mendalam. Akibatnya, siklus informasi menjadi semakin dangkal. Publik digiring untuk terus mengikuti sensasi, sementara persoalan mendasar tetap terabaikan. Fenomena ini memperlihatkan betapa kuatnya cengkeraman budaya viral terhadap cara kita memandang dunia. Alih-alih menjadi penyeimbang, media justru sering mempertebal bias viralitas dengan mengulang-ulang topik yang sebenarnya tidak esensial.
Lebih jauh, kita juga perlu mencermati bagaimana trending topic bisa dimanipulasi. Tidak semua yang viral tumbuh secara organik. Kehadiran buzzer, bot, atau akun-akun anonim bisa mendorong sebuah isu menjadi trending demi kepentingan politik atau ekonomi tertentu.
Dalam banyak kasus, tagar yang tiba-tiba muncul dan mendominasi percakapan publik ternyata lahir dari orkestrasi sistematis, bukan dari kegelisahan asli masyarakat. Hal ini menunjukkan betapa rentannya ruang digital kita terhadap rekayasa. Apa yang tampak sebagai “suara rakyat” bisa jadi hanyalah gema buatan dari segelintir pihak yang memiliki sumber daya besar.
Lantas, bagaimana sebaiknya kita menyikapi perbedaan antara trending topic dan realitas sosial? Pertama, dengan memperkuat literasi digital. Masyarakat perlu belajar bahwa tidak semua yang viral itu penting, dan tidak semua yang penting itu viral. Kemampuan memilah ini sangat krusial agar kita tidak mudah terbawa arus emosional yang dimainkan algoritma atau digerakkan oleh kepentingan tertentu.
Kedua, media massa perlu mengambil peran sebagai penyaring informasi. Alih-alih sekadar mengikuti arus viralitas, media harus memberi konteks, analisis, dan perspektif yang mendalam. Dengan begitu, publik bisa melihat bahwa di balik riuh-rendah trending topic, ada isu-isu fundamental yang lebih berpengaruh terhadap kehidupan mereka.
Ketiga, pemerintah dan para pembuat kebijakan harus berpijak pada data dan realitas nyata, bukan sekadar terbuai euforia digital. Jika kebijakan negara hanya mengikuti apa yang trending hari ini, maka arah pembangunan akan mudah goyah. Sebaliknya, jika kebijakan berbasis pada data yang kuat, trending topic bisa dimanfaatkan sebagai sinyal tambahan, bukan sebagai penentu tunggal.
Akhirnya, kita harus menyadari bahwa trending topic adalah fenomena khas zaman digital, sebuah cermin sekaligus bayangan. Ia bisa memperlihatkan apa yang sedang dirasakan masyarakat, tetapi juga bisa menipu dengan menutupi apa yang sebenarnya penting.
Dunia maya dengan segala algoritmanya tidak boleh menjadi satu-satunya penentu cara kita memahami realitas sosial. Tugas kita adalah menjaga keseimbangan antara apa yang viral dan apa yang vital, antara apa yang menghibur dan apa yang betul-betul menentukan masa depan.
