Jamus Kalimasada adalah pusaka keramat yang menjadi rebutan para ksatria. Siapa yang menguasai pusaka ini akan memiliki kedigdayaan, tidak saja menjadi sakti mandraguna, tetapi juga dapat memegang kekuasaan. Pusaka ini sebenarnya milik prabu Puntadewa, raja Amarta.

Bagi para Pandawa, pusaka ini selalu dijaga karena menjadi simbol kekuatan untuk mempertahankan kekuasaan. Bagi para Kurawa, senjata ini selalu diburu. Mereka ingin merebut pusaka Kalimasada untuk melemahkan para Pandawa. Kalau mereka berhasil merebut pusaka Jamus Kalimasada dari tangan Pandawa, maka Pandawa akan lemah sehingga dapat dikalahkan dengan mudah.

Dalam cerita pewayangan, rebutan Jamus Kalimasada antara Pandawa dan Kurawa terjadi dalam lakon Srikandi Mustakaweni. Dewi Mustakaweni adalah perempuan perkasa yang sakti mandraguna. Dia anak Raja Niwatakawaca dari negeri Manimantaka. Wajahnya cantik, pemberani, dan cerdas. Dia menguasai Aji Kamayan, suatu ilmu kanuragan yang membuatnya bisa berubah wujud sesuai dengan yang diinginkan.
Sementara itu, Srikandi adalah seorang putri Raja Drupada dari Kerajaan Pancala yang menjadi salah satu istri Arjuna. Dia dikenal sebagai wanita pemberani, cerdik, dan mahir dalam memainkan senjata panah.
Berkat kemampuannya memainkan senjata dan berperang, Srikandi diangkat menjadi salah satu senopati Pandawa yang bertempur di medan laga dalam perang Bharatayudha. Dalam pertempuran tersebut, Srikandi berhasil membunuh dengan panah Hrusangkali.
Dikisahkan, Dewi Mustakaweni bersama kakaknya, Prabu Nilarudra yang dikenal juga dengan julukan Prabu Bumiloka, bermaksud balas dendam pada Arjuna, salah seorang ksatria Pandawa yang telah membunuh ayahnya, Prabu Niwatakawaca. Mereka mengatur siasat untuk melaksanakan niat balas dendam membunuh Arjuna dan menghancurkan Pandawa.
Mereka berencana mencuri Jamus Kalimasada, pusaka suci yang menjadi sumber kedigdayaan Pandawa. Dengan mencuri pusaka tersebut, mereka yakin akan dapat mengalahkan Arjuna. Saat itu pusaka Jamus sedang dititipkan kepada Dewi Drupadi, karena seluruh keluarga Pandawa sedang pergi membangun candi Sapta Arga.
Agar dapat mengambil pusaka Jamus Kalimasada, Mustakaweni melakukan siasat menyamar menjadi Gatotkaca. Setelah berubah bentuk menjadi Gatotkaca palsu, Mustakaweni segera pergi menghadap Dewi Drupadi. Saat bertemu Dewi Drupadi, Gatotkaca jelmaan yang tak lain Mustakaweni ini, menyampaikan maksud kedatangannya. Ia mengaku diutus Prabu Puntadewa untuk mengambil Jamus Kalimasada sebagai sarana membangun candi Sapta Arga. Tanpa ragu, Dewi Drupadi menyerahkan pusaka tersebut pada Gatotkaca yang tak lain dalah Dewi Mustakaweni.
Setelah menerima Jamus Kalimasada, Gatotkaca palsu langsung pergi tanpa pamit. Srikandi yang saat itu mendampingi Dewi Drupadi mencium gelagat yang mencurigakan. Dia langsung mengejar Gatotkaca yang pergi membawa Jamus Kalimasada. Kecurigaan Srikandi benar, setelah berhasil mengejar, sang Gatotkaca berubah menjadi Mustakaweni. Srikandi pun berusaha merebut kembali pusaka Jamus Kalimasada dari tangan Mustakaweni. Terjadi pertarungan antara keduanya.
Saat terdesak, Mustakaweni mengeluarkan ajian terbang ke angkasa, dan Srikandi tidak dapat mengejar. Srikandi kalah dalam perang tanding melawan Mustakaweni. Dia hanya bisa menatap pusaka Jamus Kalimasada dibawa terbang Mustakaweni. Hatinya resah karena tidak berhasil merebut kembali Jamus Kalimasada. Terbayang olehnya pusaka tersebut akan disalahgunakan oleh Mustakaweni bersama kelompoknya.
Saat sedang galau meratapi kekalahannya melawan Mustakaweni, tiba-tiba datang satria tampan bernama Bambang Priyambodo bersama para punakawan. Dia adalah anak Prabu Harjuna dengan Dewi Prihastuti. Dia datang ingin menghadap sang ayah, Prabu Harjuna. Setelah mengetahui maksud Bambang Priyambodo, Srikandi memintanya untuk membantu merebut pusaka Jamus Kalimasada dari tangan Mustakaweni sebagai bentuk dharma bakti kepada orangtua.
Bambang Priyambodo menyanggupi permintaan Srikandi. Sebelum berangkat menemui Mustakaweni, Bambang Priyambodo sowan ke kakeknya, Begawan Purnomojati, di pertapan Deder Panewu. Dia meminta bantuan sang kakek untuk merebut Jamus Kalimasada dari tangan Mustakaweni dan membawa kembali ke tangan Pandawa.
Sang kakek mengatur siasat untuk dapat merebut kembali pusaka Jamus Kalimasada tersebut. Dia mengubah wujud Bambang Priyambodo menjadi Prabu Bumiloka, sedangkan pyetruk diubah menjadi jadi Pujangga. Setelah berubah bentuk menjadi Prabu Bumiloka, Bambang Priyambodo segera menemui Mustakaweni dan meminta Jamus Kalimasada. Tanpa ragu, Mustakaweni menyerahkan Jamus Kalimasada pada Prabu Bumiloka palsu. Setelah menerima pusaka, Prabu Bumiloka palsu langsung berubah menjadi Bambang Priyambodo, dan lari membawa Jamus Kalimasada. Sadar telah ditipu, Mustakaweni langsung mengejar Bambang Priyambodo.
Saat dalam pengejaran, Jamus Kalimasada diserahkan kepada Petruk untuk diteruskan pada Pandawa. Sementara, Bambang Priyambodo menghadapi Mustakaweni. Terjadi pertempuran sengit antara keduanya. Senjata panah Bambang Priyambodo mengenai pakaian Mustakaweni hingga terlepas dan tubuhnya telanjang. Singkat cerita, terjadi hubungan cinta kasih antara mereka. Keduanya sepakat untuk islah dan menikah.
Srikandi tidak setuju dengan rencana mereka untuk islah dan menikah. Dia melihat, bagaimanapun Mustakaweni adalah bekas musuh yang berbahaya. Jika terjadi pernikahan, dia akan berpotensi menjadi musuh dalam selimut. Srikandi yakin para Pandawa pasti akan menolak Mustakaweni.
Melihat sikap Srikandi, Semar menjamin hal itu tidak akan terjadi. Semar juga berjanji akan menjelaskan kepada para Pandawa. Setelah mendapat jaminan dari Semar, Srikandi dan para Pandawa dapat menerima islah dan pernikahan Mustakaweni dengan Bambang Priyambodo..
Meskipun para Pandawa setuju atas pernikahan Mustakaweni dengan Bambang Priyambodo, namun kakak Mustakaweni, Prabu Bumiloka, tetap tidak setuju. Bagi Prabu Bumiloka, islah berarti memupus balas dendam terhadap Arjuna yang telah membunuh bapaknya. Prabu Bumiloka terus mengobarkan api dendam dalam dirinya. Dia menyiapkan balatentara utuk menyerang Pandawa, hingga akhirnya dia mati di tangan Bima.
Cerita perebutan pusaka Jamus Kalimasada ini dapat menjadi tamsil untuk melihat realitas kekinian. Jika Jamus Kalimasada dimaknai sebagai legitimasi yang dapat membuat suatu kelompok menjadi digdaya, atau sumber kekuasaan, saat ini kita dapat melihat bagaimana kelompok kepentingan saling melancarkan intrik dan saling klaim telah mendapat legitimasi tersebut.
Ada yang menyamar menjadi resi, ada yang memakai topeng kebijakan laksana satria Pandawa untuk dapat mendapatkan Jamus Kalimasada. Ada juga yang mencatut nama Raja Puntadewa dari istana Amarta dengan mengaku dan menyebarkan isu sudah mendapat restu dan dukungan dari istana untuk mengambil pusaka Jamus Kalimasada. Mereka menggunakan berbagai cara, mulai menipu dan menyebarkan hoaks, memelintir informasi, sampai menebar fitnah dan intimidasi keada pihak lawan.
Narasi-narasi tajam dihamburkan memenuhi dunia medsos seperti panah yang dilontarkan dari busurnya. Sebagaimana halnya anak panah, narasi itu menghunjam hati dan menusuk perasaan masing-masing pihak. Memang tidak terlihat ada luka yang menganga dan darah yang mengucur, tapi luka itu ada di dalam hati, dalam jiwa, dan sakitnya melebihi luka fisik. Tidak seperti luka fisik yang bisa segera sembuh dengan jahitan dan antibiotik, luka hati lebih sulit diobati dan dipulihkan.
Tapi, bagaimanapun sengitnya pertempuran, kisah tersebut mencerminkan, pemenangnya adalah mereka yang mau islah, mau berbagi kasih dan cinta. Sedangkan, mereka yang tidak mau islah, terus menuruti nafsu dan egonya yang serakah, terus mengobarkan konflik dan permusuhan, akhirnya akan binasa, hancur dan mati terkubur bersama seluruh ambisi dan nafsu angkara.
Meski sekadar cerita wayang, namun kisah Srikandi Mustakaweni rebutan Jamus Kalimasada ini layak untuk dijadikan bahan muhasabah bersama saat menghadapi realitas yang terjadi saat ini.
