Ini adalah sebuah pengalaman yang perlu diwaspadai oleh semua santri. Berawal dari sulitnya bersosialisasi dan berintraksi dengan para santri yang semuanya adalah hal yang baru, lingkungan baru, teman baru, dan kegiatan baru.
Rata-rata semua kegiatan yang ada di rumah, 180 derajat berubah menjadi lebih ketat, penuh sanksi dan pengawasan. Awal yang baik menurut santri baru adalah mengikuti semua maunya santri yang sudah lama di mondok pesantren atau biasa disebut senior. Sehingga hal itu akan berlaku secara turun-temurun ke seluruh santri baru yang belum punya pendirian.
Sikap seperti itu akan membuat para santri baru mengalami kegelisahan, susah berintraksi, dan berdampak ke arah tindak kerasan. Hal inilah yang perlu dievaluasi oleh para santri lama atau pengurus untuk memutus mata rantai senioritas yang berkostum para penjajah pada zaman sebelum kemerdekaan.
Senoiritas secara harfiah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai keadaan yang lebih tinggi dalam hal pangkat, usia, dan pengalaman. Penyebab terjadinya senioritas ini ialah bermula pada faktor usia atau lebih dulu bergabung pada suatu institusi atau ia yang lebih dahulu ada di suatu pesantren.
Biasanya para santri lama ini melakukan hal sewenang-wenang kepada santri baru agar dapat melakukan apa saja yang menurut ia bermanfaat kepada dirinya dan merugikan kepada santri baru tersebut. Bahkan sampai bullying dan meminta uang saku serta lain sebagainya.
Hal ini tidak hanya berhenti pada penyiksaan secara batin saja, tapi secara zahir juga. Biasanya dilakukan oleh para pengurus yang masih berstatus santri dan memiliki kewenangan di bidang keamanan dan ketertiban. Kesempatan ini diterapkan ketika para santri memiliki kesalahan atau melanggar peraturan.
Bentuk-bentuk kekesaran yang sering dilakukan oleh santri senior atau pengurus ialah dengan cara dipukul, dicambuk, dicubit, dan lain sebagainya. Sehingga, kesan yang terjadi kepada santri khususnya santri baru adalah pesantren merupakan suatu tempat yang menyeramkan dan tidak menyenangkan.