Refleksi Kritis atas Krisis Ekologi di Pulau Sumatra

Menyaksikan duka ekologis, sekaligus duka sosiologis, di Kepulauan Sumatra. Hampir semua kita bersepakat, bahwa tragedi itu bukan karena fenomena alam yang biasa. Tetapi, itu adalah desain struktur kebijakan yang tidak ideal, yang bersifat eksploitatif terhadap lingkungan dan kemanusiaan.

Dalam menganalisa fenomena sosial, Michel Foucault mengungkapkan, ada relasi antara kekuasaan, penguasa, dan pengetahuan. Artinya, pilihan-pilihan kebijakan yang diambil oleh suatu negara, adalah cerminan dari sikap dan perilaku penguasanya. Di sini, sikap dan perilaku penguasa merupakan cerminan dari pengetahuan yang membentuknya.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Lebih jauh, Gus Dur pernah menerangkan, bahwa perilaku individu juga mencerminkan suasana batinnya, yang secara umum terbagi ke dalam dua, yaitu; nafsul lawwamah dan nafsul mutmainnah.

Krisis Keanekaragaman Hayati

Pulau Sumatra, yang kini mengalami musibah, merupakan wilayah yang memiliki keanekaragaman hayati sangat tinggi. Pulau ini memiliki lebih dari 10.000 spesies tumbuhan, dan hanya kalah dari New Guinea dan Kalimantan dalam beberapa daftar regional (PMC, 2024).

Selain tumbuhan, di Pulau Sumatra juga terdapat ratusan spesies mamalia, burung, reptil, dan amfibi, termasuk banyak spesies endemik seperti Harimau , Orangutan, Badak, dan Gajah. (UNESCO World Heritage Centre, 2004).

Sayangnya, oleh kepentingan sesaat, hanya dalam kurung waktu tiga sampai empat dekade, seluruh anugerah itu berubah  menjadi fenomena yang memilukan. Puncaknya, tragedi banjir di akhir tahun 2025 ini.

Kapitalisme dan Kemenangan Nafsul Lawwamah

Coba kita bertanya, untuk apa semua itu dilakukan (pembabatan hutan, penebangan pohon, konversi lahan, penggalian tambang)?

Jika penjelasannya untuk kepentingan rakyat, untuk bangsa, dan negara, maka jawaban itu nampaknya sangat sulit diterima. Sebab berbanding terbalik dengan realitas di lapangan. Di mana, daerah-daerah yang masuk sebagai wilayah garapan, justru penduduknya masuk kategori miskin di Indonesia (CNN Indonesia, 2024).

Maka, jawaban yang masuk akal adalah, semua aktivitas itu terorientasi pada kepentingan kelompok atau individu, yang ingin mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Dengan tanpa perasaan bersalah, mendagangkan tanah, air, dan kemanusiaan.

Karl Marx menyebutnya sebagai sistem kapitalisme yang bersifat ekspansif, eksploitatif, dan akumulatif. Meminjam kacamata Gus Dur, maka kondisi ini dapat dibaca sebagai kemenangan nafsul lawwamah. Jiwa yang rakus, serakah, dan penuh kegelisahan, telah berhasil dan terlembagakan dalam struktur kebijakan di negeri ini.

Di sisi lain, nafsul mutmainnah terkikis dari sanubari bangsa. Jiwa yang damai dan tentram, kian tersingkir dari tatanan negeri ini. Negara yang seharusnya untuk melindungi kedaulatan rakyat, justru ikut andil dalam mengeksploitasi rakyatnya, dan melanggengkan kekuasaan nafsul lawwamah.

Dalam suasana seperti ini, kita seolah didengungkan kembali ungkapan Sang Proklamator Kemerdekaan Indonesia: Perjuangan kami lebih mudah, sebab musuh kami penjajah asing. Sementara kalian melawan bangsa sendiri.

Itikad Baik Negara

Sampai pada hari ini, kita masih menunggu itikad baik dari negara untuk membuat kebijakan yang berdampak positif bagi rakyatnya. Terutama bagi mereka yang sedang menghadapi musibah ini. Oleh karena itu, dibutuhkan pilihan-pilihan kebijakan yang produktif, pro-rakyat, dan pro-kemaslahatan umat.

Guru Besar Pemerintahan Daerah Universitas Terbuka, Hanif Nurcholis, mengusulkan solusi terkait persoalan ekologi ini. Yaitu, solusi jangka pendek dan jangka panjang.

Untuk jangka pendek, pemerintah pusat harus segera menetapkan status bencana ini sebagai Bencana Nasional. Hal ini diperlukan agar segala kebutuhan mendasar bisa diberikan melalui bantuan kemanusiaan dalam skala manca negara. Kemudian, negara mengambil alih penanganan bencana dengan mengerahkan seluruh instrumennya: BNPB, PUPR, Kemenhub, Kemensos, dan TNI–Polri dalam penanganan.

Untuk jangka panjang, setiap individu yang terlibat dalam urusan negara harus diserahkan pada yang ahlinya yang berintegritas. Dengan penyerahan urusan yang lebih jelas sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Hal ini diperlukan agar tidak ada lagi kebijakan-kebijakan yang berpotensi menyengsarakan rakyatnya.

Selanjutnya, kita sebagai warga negara yang merasakan langsung, dampak dari pilihan-pilihan kebijakan yang diambil pemerintah. Harus melakukan segala upaya yang kita bisa, untuk memerangi semua kebijakan, yang hanya mementingkan segelintir orang atau golongan.

Dengan begitu, kita semua berharap, semoga nafsul lawwamah tersingkirkan, dan nafsul mutmainnah terejawantahkan ke dalam struktur kebijakan di negeri ini. Aamiin.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan