REINKARNASI MAKNA
Kutemukan dirimu sebagai kata-kata
Dari sajak-sajak paling purba yang kehilangan makna
Sebermula malam, matamu memeram rahasia
Dari perjalanan rintik hujan ke gemetar bulan
Mawar-mawar layu di jurang hatimu
Seakan mengekalkan epitaf puisi ini
Adakah masih kau simpan harap
Akan tumbuhnya bianglala di kelam hatimu?
Biar ia mengguyurkan warna-warna
Hingga kau kembali menghikmati langit biru
Di baliknya kan kau temukan ayat kelahiran
URBANISASI
Gedung-gedung tinggi
Jalanan panjang terbentang
Toko-toko merembeskan saliva yang paling gelombang
Rumah sakit dan bioskop membangun taman-taman rindang di jiwa yang gersang
Semuanya kutemukan di kota ini
Dalam hati aku bertanya, “di sinikah surga?”
Suatu Ketika, seorang dewi berkata bahwa kota ini telaga paling kautsar
“Datanglah kau kemari, airnya akan meruntuhkan segala dahaga”
Maka aku datang dengan jiwa pendamba
Ke kota ini
Biar garis-garis qadar paling gurun di tangan
Memunculkan oase dari sidik-sidik doa yang air mata
SUBUH
Kau ketuk mataku sementara jejak kaki masih sunyi. Doa-doa masih belum Kembali dari mimpi dan aku setengah mati. Tubuh malam yang erat mendekapku menyusupkan gigil dan gelinjang seribu hasrat, hingga mataku berasap. Aku ingin jadi susuk di binal malam.
Namun kau ketuk mataku dan tak ayal kau bawa lentera yang mendamparkan cahaya ke jiwa. Kau rengkuh diriku dari persetubuhan dengan maut.
Kau ketuk mataku, lalu kudekap dirimu. Itulah surga.
Sumenep, 2020.
MAGHRIB
Senja yang membekap hari dalam sunyi tak ubahnya ritus yang bergemilir menanti sujud matahari. Biarlah matahari rebah, ia begitu lelah, sudah ada bulan yang akan menari di lembah hatimu yang melandai jadi ngarai, dan suara yang mengetuk-ngetuk langit, dapatkah kau dengar itu, dan tabuhan tetabuhan yang berdentum-dentum, doa-doa yang memulai safari, dzikir serta jejak Langkah yang menggema di lorong langit yang masai. Oh, betapa kultusnya.
MasyaAllah