Ki Hajar Dewantara yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia mewariskan tiga ajaran yang dikenal hingga sekarang, yaitu Ing Ngarsa Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani.
Tiga ajaran tersebut dapat dimaknai sebagai “menjadi seorang pemimpin yang memberikan suri teladan, seorang yang sibuk namun mampu memberikan dorongan semangat, dan seseorang yang mampu memberikan dorongan moral di belakang”. Selain mewariskan tiga ajaran tersebut, Ki Hajar Dewantara juga mewariskan ide “Kelas Tiga Dinding” yang menjadi ciri khas dari sebuah pendidikan.
Ki Hajar Dewantara sangat menekankan pentingnya pendidikan sebagai kebutuhan hidup anak-anak. Pendidikan bagi anak-anak adalah tongkat yang menuntun mereka ke jalan kebaikan, yang nantinya mampu memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat umum. Urgensi pendidikan inilah yang menjadikan Ki Hajar Dewantara menggagas beberapa konsep untuk mensejahterahkan pendidikan di Indonesia.
Konsep “Kelas Tiga Dinding” mungkin agak aneh bagi kita. Karena, seperti kebanyakan kelas, tersusun atas empat dinding yang berbentuk persegi ataupun persegi panjang. Sehingga membentuk satu bangunan utuh yang ditempati banyak orang. Namun, makna kelas tiga dinding yang dilontarkan Ki Hajar Dewantara tidak untuk diterjemahkan secara eksplisit saja, namun harus digali makna lebih dalam untuk menemukan arti relevan.
“Kelas Tiga Dinding” yang digambarkan oleh Ki Hajar Dewantara mempunyai makna keterbukaan ilmu. Di mana, kelas yang dibangun atas tiga dinding akan menyisakan satu sisi yang kosong. Celah inilah yang nantinya bisa dimanfaatkan oleh peserta didik untuk menengok hal-hal lain di luar sekolah. Celah ini pula yang nantinya menjadi dunia penghubung antara dunia sekolah dan dunia di luar sekolah. Sehingga pengetahuan yang didapatkan oleh peserta didik menjadi seimbang.
Ki Hajar Dewantara benar-benar menginginkan agar peserta didik tidak hanya terfokus perhatiannya oleh dunia pendidikan di dalam kelas. Sebab, walau bagaimanapun, ilmu yang mereka dapatkan di dalam kelas, perlu diaplikasikan ataupun dikombinasikan dengan realita di luar kelas. Peserta didik perlu mempelajari realitas yang ada di lingkungan mereka, sehingga apabila mereka lulus dari lembaga pendidikan, mereka mampu menjadi sosok tangguh dan cerdas untuk memperbaiki kondisi sosial yang kurang sesuai.
Relevansi Kelas Tiga Dinding
Konsep “Kelas Tiga Dinding” yang digagas Ki Hajar Dewantara juga relevan apabila ditinjau dari penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Khafidah dan Maryani (2020) dengan judul “Aspek Sosial dalam Pendidikan”. Dalam penelitian tersebut, peneliti mengemukakan jika aspek luar sekolah dalam pendidikan merupakan hal yang penting adanya. Karena realitas manusia yang tercipta sebagai makhluk sosial, mewajibkan setiap insan untuk mengenal lingkungannya, termasuk problematika dan segala sesuatu yang terjadi di dalamnya. Dan apabila ditarik dalam muatan agama, konsep ini juga relevan dan diajarkan dalam salah satu ayat di Kitab Suci Al-Qur’an.
Dalam QS. Al Hujurat ayat 13, Allah swt berfirman; “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu”.
Di sini, Allah menunjukkan bahwa konsep dasar yang harus dipelajari oleh manusia adalah konsep saling mengenal. Dan lingkup saling kenal mengenal ini sangatlah luas, dan tidak mungkin hanya bisa dipelajari di dalam sekolahan. Maka sesekali peserta didik harus berefleksi terhadap dunia luar untuk mengenal tentang terciptanya lingkungan, mobilitas yang terjadi didalamnya, siapa saja pelaku yang ada didalamnya, dan pengaturan yang harus dilakukan agar semuanya bisa tetap berjalan. Inilah sebenarnya fungsi dari pendidikan yang diselenggarakan, yaitu menghasilkan generasi yang cerdas untuk memimpin peradaban ke arah kemajuan.
Kejemuan Pengajaran Satu Kelas
Dalam beberapa kasus, pengajaran di ruang kelas kerap kali menemui titik bosan, yang menyebabkan peserta didik tidak bersemangat mengikuti jalannya pembelajaran. Penyebab bosan ini bisa bermacam-macam, namun satu penyebab paling dasar dari bosannya peserta didik di kelas adalah hilangnya motivasi mereka untuk belajar. Tentu motivasi bisa datang dari mana saja, namun fokus pengajaran yang dilakukan untuk mengejar target tanpa memperhatikan hal paling dasar, menyebabkan murid menghilangkan urgensitas dari pendidikan.
Sering kali murid lebih tertarik pada hal-hal yang mereka temukan di luar sekolah, seperti bermain game ataupun menjelajah ke alam bebas. Ketertarikan mereka pada keduanya tidak terlepas dari adanya motivasi dari beberapa orang yang mereka anggap hebat. Seperti halnya pandangan positif mereka terhadap dunia game, yang termotivasi oleh beberapa orang yang “kaya mendadak” akibat hebat dalam bermain game. Ataupun menjelajah alam bebas dengan motivasi dianggap “keren” oleh komunitas sosial mereka. Motivasi-motivasi tersebut sering kali mengalahkan motivasi mereka untuk belajar. Sehingga fokus peserta didik tidak lagi pada dunia pendidikan.
Maka perombakan yang harus dilakukan dalam dunia pendidikan adalah membuka satu dinding untuk mengenalkan betapa indahnya dunia pendidikan itu sendiri. Mengajak mereka berpikir akan kenikmatan dan hal-hal apa saja yang nantinya bisa didapatkan dengan memfokuskan diri pada dunia pendidikan. Kemudian bisa juga dilakukan dengan memberikan motivasi yang berisi kolaborasi dunia sekolah dengan dunia luar, sehingga pernyataan-pernyataan yang dilemparkan oleh para guru akan sangat kuat.
Proses pendidikan yang terkungkung dalam satu bangunan hanya akan menimbulkan kejemuan. Peserta didik cepat bosan dan melarikan diri dari urgenitas belajar. Diperlukan pengajaran yang lebih segar dengan membuka jendela pengetahuan baru bagi murid. Tentu tugas ini sangat berat bagi guru, karena dituntut untuk mempelajari hal baru dan mengaitkannya dengan dunia pendidikan. Namun begitu, rasanya hal ini sangatlah setimpal jika melihat gelar yang disematkan kepada setiap guru, yaitu sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Pun tidak kalah penting, orang tua dan aspek pendidik yang lain, juga menyandang tugas yang sama, untuk menjalankan roda pendidikan ke arah yang lebih baik.