RITUS PEJALAN
— kepada Den Sawurangin
di jalan ini, mungkin kita ingat
betapa perjumpaan memang sangatlah mahal
kau menuntunku – yang kehilangan arah
memulihkan resah desember
dengan nasihat dan doa yang basah
kau tak pernah membiarkan nasib bagiku
baik buruk hanyalah proses
tak benar-benar kita memilikinya
di jalan ini, Tuan
dalil kita adalah perjumpaan
kisah platonik, deru rindu dan dendam biru
seperti pernah kita ingat
aku meneteskan air mata
ketika tanganmu menyentuh
dingin kepalaku
Damparalit, 2024.
DI SEBUAH HALTE, SEBELUM ASHAR
kau tiba di halte kecil itu sebelum ashar berkumandang
hari mulai padam, sebab mendung datang mengurung siang
di kursi tempat kau menunggu bis kota menghampirimu,
sehelai kertas berterbangan dibawa angin, menjumpai nasib dan kesunyian
ceritamu tertahan, tersendat sesak di dada,
barulah air mata berhasil menjelaskan
perihal makna datang, juga perihal pergi,
serta keintiman makna pulang
halte hanyalah tempat menunggu, bukan
tujuan di mana hati akan tinggal
demikian pula terminal, ia hanya sebagai
tempat beristirahat, jeda dari satu tempat
ke tempat lainnya, dari satu waktu ke waktu berikutnya
barangkali sehelai kertas lebih mengerti
tentang apa itu takdir, hingga, ia biarkan
dirinya terbang ke mana saja sekehendak
angin berkata bagaimana
dan kita di sini, di halte kecil ini, menyusun rencana, membaca peta, mengingat rumah sederhana
sebagai tempat pulang yang selalu dirindukan
Arjosari, 2024.
DOA HUJAN
Tuhan,
berilah kami rintik
pelan saja
bukan gemuruh petir
mengacaukan
suasana
Tuhan,
berilah kami rinai
lembut saja
agar hati kembali