DI HADAPAN AULIYA
Jika matamu barangkali tak melihat
babak kesahihan dalam taslim ini
maka sebuah mimpi datang memahami
lapang dada seseorang membelah diri
yang saleh kini,
membumi munajat dan dzikrus shalihin
Entah berkat diriku atau dirimu
yang menggapai limpahan kasih Tuhan
sebab silsilah pada penghulu Alaydrus
makrifat dalam diri sang alim
hingga tumpah ruah shahibul haul
menembus sinar hamparan tanah lapang
Ternyata, sayatan rayap kecil itu mencengkeram hati seseorang,
hingga isi kepalamu penuh dengan ukiran jimat seberang.
BIKAIKAJIN
Di halaqoh tercinta ia duduk tenang
bersama kitab pujaan bangsa-bangsa salaf
Menggerisik hingga tertiup bait-bait usang
meluap penuh sebelum Kausenyapkan larang
Mereka memandang takjub saat
malam bergemuruh berebut kitab-kitab pujaan
Sedang kau hanya ingin bertanya perihal
bulan yang menyigi di antara kaum jejaka
Sesaat mereka membisu,
kau menggondol waktu-waktu azimat
sembari menodong tembakan
mengarah kepala Abah Zuhdy
Sayang, di tempat ini, wajahmu membelah
bagai bulan yang disinari mentari gemerlapan
DOA AWAL KEMENANGAN
Ilahi Anta Maqshudi, wa Ridhoka Mathlubi
A’thini Mahabbataka wa Ma’rifatak
Sebelum puja-puji kemerlapan menghadiri ingatan, barangkali ia tak sadarkan, betapa “kemenangan” tak selalu tentang busana yang merapal perayaan akbar. Dosa-dosa tumpah di keruh jurang abu, melebur pada tahniah yang memugar segala cela, serta doa-doa menyisa kerelaan saat awan temaram.
Sepanjang takbir menggaung lekuk sesal, semacam waham jatuh dari langit meremas jantung, pedar hati—tak abaikan jika abdi telah bertekad mencabik-cabik kesilapan. Memohon ampunan pada tanah lapang ataukah sekadar memandang sendu ke sepasang mata belang?
“Semoga, adalah harapan bertahun-tahun mengenang sepanjang kedambaan bersauh. Sementara berkat hari raya, ihwal almanak yang ia sanjung menggertakkan keteduhan di antara hantaran tamu-tamu agung tatkala kelasak telah rapat, kemudian kebaikan serupa diamini oleh para malaikat”
RIWAYAT TENTANG JAHANAM
/1/
Jibril menjunam semesta ke batang-batang sayapnya, mengalir butiran kawah yang dibawanya dari Hamalat, meruyup abadi bahwa ayat sufi yang satu ini terlampau penuh tangis dan teka-teki. Seperti hari ini, bumi diganjar berbagai pepohonan rindang supaya dapat memerangi jisim yang telah mati, sedang Rasul menyeligi dalam hati jenawi—saat Jibril memisikkan beberapa ayat Ilahi.
/2/
Sementara Umar, merisik pada riuh keheningan Fatimah perihal ayat-ayat makkawi. Dan tiba pekikan cela—hanyut di muara iman, juga puing-puing gemerlap. Selimut usang bertambalkan dua belas sulaman kulit kayu kurma ia saksikan, tak sudi seperti putri kaisar menetar: baju sutra harir dan sundus. Sedang Fatimah mendekap ayat-ayat saat memanggil duka ratapan.
/3/
Bagaimana aku tidak menangis, ayat Jibril telah mengais tempat mereka pada neraka nantinya. Dosakah bila kuperjuangkan ikrar-ikrar yang tumpah pada seluruh umatku. Pintu paling ringan menyadik tujuh puluh ribu gunung neraka—pada ujungnya, seribu pegari lembah api—terdapat tujuh puluh juta istana api berkeping-keping ruang api dan tujuh puluh juta macam siksa yang menyilang.
/4/
Udara menyapu debu dan api, menggubah para penduduk untuk tidak lagi memerat keimanan. Tak ada segar rerumputan surga atau hijau dedaunan untuk dinikmati, satu demi satu menghadap Rasul senantiasa menggerisik pesan-pesan mistik. Perca-perca neraka hendak dipasung pada setiap busana, tanpa celaka—sedang esok harus meneguk air mendidih dan menindih pepohonan api. Jeritan Umar berpesan “Betapa andai aku hanya seekor kambing yang rida disembelih, dimakan dagingnya, dipisah tulang-belulangnya, hingga aku tak menguping riwayat tentang Jahanam.”
Wa inna jahannama lamau’iduhum ajma’in
(Sesungguhnya Jahanam tempat mereka semuanya) Q.S al-Hijr: 43
MERAWAT PENJURU KAKBAH
Kau tahu, Tuhan begitu hangat melimpahkan rahmat-rahmatNya sepanjang siang, dengan matahari yang meluruhkan ampunan saat seorang hamba membaham tanah penuh keras kepala. Tuhan mencekik bilik-bilik kefasikan sejenak, lalu memutus cahaya sekeliling hingga rembulan meringking sesak.
Kau tahu, airmata yang mengucur dari siasat seorang hamba, dapat meredakan bahala dan mengikap berhala-berhala saat semarak memandu parangan. Memancar dalam lautan, ikan-ikan pun meratap tunduk menggugat ampunan, air matanya mengalir ke surga tanpa tuntunan.
Kau pahami, bahwa langit mengerti rahasiamu, bahkan sebaliknya, dan kau lepaskan lantunan-lantunan takzim ketika kau butuhkan petunjuk Tuhan, nubuwah, dan wasiat dari Yang Maha Rahman.
Seperti air mata Quhafah yang merawat penjuru Kakbah, ia tergurat pada dusta saat menyudahi ruhul qudus berkisah. Menitik pada sajadah, Tuhan telah memikat iman dalam lembaran lusuh seorang hamba berselirat muktabar dan melucuti sekian cacat neraka.
“Allah telah membeli para mukminin, harta mereka dan jiwa mereka, bahwa bagi mereka adalah surga.” (Q.S Taubah:111)