Satire Haji Ali Akbar Navis dari era 1950-an itu ternyata masih menampar-nampar hingga kini. Melalui cerita yang melegenda, Robohnya Surau Kami yang terbit pada 1956, ia menyuguhkan perspektif yang menantang bahwa orang yang taat beragama belum tentu bertuhan.
Tragedi seorang kakek penjaga surau yang menggorok lehernya sendiri berawal dari cerita yang disebarluaskan Ajo Sidi.
Ajo Sidi, yang mungkin lebih sering terlihat sedang bekerja apa saja ketimbang berada di surau, membawa cerita tentang Haji Soleh entah dari mana asal usulnya. Haji Soleh dalam cerita Ajo Sidi adalah orang yang paling taat, rajin, dan tekun beribadah di kampung itu. Namun, saat “hari keputusan akhir”, Haji Soleh justru dimasukkan ke dalam neraka.
Kaget dengan keputusan Tuhan, Haji Soleh mengajukan protes. Ia mengira Tuhan alpa. Menjawab protes Haji Soleh, Tuhan berkata:
“Kamu tinggal di tanah Indonesia yang mahakaya raya, tapi kau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tetapi kau malas. Kau lebih suka beribadah saja, karena beribadah tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang.”
Karena mengingkari nikmat dan anugerah Tuhan, ibadah yang dilakukan sepanjang hidup tak mampu menolongnya. Haji Soleh pun menjadi penghuni neraka.
Rupanya, kakek penjaga surau itu tersindir atau galau akan cerita yang dibawa Ajo Sidi. Tragis, ia menggorok lehernya sendiri. Bunuh diri. Mendengar kabar kematian itu, Ajo Sidi mendatangi istri si kakek dengan pesan pendek: “Belikan ia kain kafan tujuh lapis.” Ajo Sidi berlalu begitu saja untuk kembali bekerja.
Siapakah sebenarnya Haji Soleh?
Jangan-jangan, Haji Soleh adalah kita: yang lebih memilih miskin asal rajin beribadah; yang lebih memilih memakmurkan masjid daripada memakmurkan anak cucu; yang lupa nasib anak yatim karena terlalu asik memutar tasbih.
Jangan-jangan, Haji Soleh adalah kita: yang lebih memilih berada di tengah kerumunan majlis tabligh di saat orang-orang lain berjuang melawan penyebaran virus Corona; yang mendaku hanya takut kepada Allah dan memprotes penutupan rumah-rumah ibadah, sementara yang lain sedang berusaha menyelamatkan jiwa sesama dengan berbagai cara, dengan penuh kecemasan; yang taat beragama tapi tidak bertuhan.
Ada beda, memang, antara beragama dan bertuhan. KH Chudlori pernah memberikan contoh terbaik. Kiai Chudlori menjadi panutan saat memimpin Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang dirintis sejak 1944.
Suatu hari, serombongan warga desa mendatangi pondok Mbah Chudlori ini. Saat itu, warga terbelah menjadi dua kelompok atas penggunaan dana desa. Kelompok pertama menginginkan agar dana desa digunakan membangun masjid. Kelompok kedua maunya membelanjakan dana desa untuk membeli gamelan. Mereka pun berseteru.
Jika dana desa dibagi dua, tidak cukup baik untuk membangun masjid maupun membeli gamelan. Orang-orang desa terperanjat kaget saat Kiai Chudlori memutuskan agar uang desa digunakan untuk membeli gamelan lebih dulu. Tujuannya, agar warga guyub, rukun, dan desanya tentram.
“Kalau masyarakat sudah guyub, rukun, dan tentram, masjid akan terbangun dengan sendirinya,” kata Kiai Chudlori. Dan benar saja, tak lama setelah warga guyub, rukun, dan desanya tentram, mereka bergotong royong membangun masjid.
Bayangkahlah jika peristiwa itu terjadi hari-hari ini: kelompok yang lebih menginginkan membeli gamelan ketimbang membangun masjid pasti akan mendapat cap kafir, dimusuhi, diperangi. Tak akan terbangun hidup yang guyub, rukun, tentram.
Tanpa dilambari ruh ketuhanan, agama akhirnya hanya akan menjadi sekat yang memperhadapkan sesama. Karena itu, gurunya para sufi, Jalaludin Rumi, sejak dini sudah memberi peringatan melalui syairnya yang masyhur:
“jangan tanya apa agamaku
aku bukan yahudi
bukan zoroaster
bukan pula islam
karena aku tahu
begitu suatu nama kusebut
kau akan memberikan arti yang lain
daripada makna yang hidup
di hatiku.”
Kita bukan Haji Soleh, bukan?