Tragedi itu memang terjadi di Pondok Pesantren Al Khoziny di Kecamatan Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur. Pada Senin (29/9/2025) bakda asar, bangunan empat lantai pesantren itu roboh, menimbun ratusan santri yang berada di lantai dasar.
Hingga Selasa (7/10/2025), diketahui 67 santri meninggal dan 104 korban dinyatakan selamat. Dalam proses evakuasi, banyak bagian tubuh manusia tak dikenali.

Meskipun peristiwa itu terjadi di Pesantren Al Khoziny, sesungguhnya ini bukan hanya tentang Pesantren Buduran tersebut. Sebab, tragedi serupa bisa terjadi di mana saja jika kita menyimak data yang diungkap Menteri Pekerjaan Umum Dody Hanggodo.
Kepada pers pada Selasa (7/10/2024), Menteri Dody Hanggodo menyebutkan bahwa hanya 50 pesantren (ingat: bukan 50 persen!) dari total jumlah pesantren yang memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB), sekarang disebut Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Adapun, saat ini terdapat 42 ribu lebih pesantren di seluruh Indonesia. Bayangkan, itu berarti hampir semua bangunan pesantren kelayakannya layak dipertanyakan. Sebab, tanpa didahului proses perizinan yang benar, maka tidak bisa dipastikan kelayakannya, terutama dari sisi keamanan, dari bangunan-bangunan pondok pesantren tersebut. Kita seperti sedang menunggu giliran —naudzu billahi min dzalik.
Tragedi Buduran itu mengingatkan betapa kita abai pada hukum publik karena menjadi “kaum yang mentang-mentang”. Mentang-mentang atas nama agama, mentang-mentang untuk tujuan agama, kita merasa diberi lampu hijau oleh Tuhan untuk menerabas aturan yang dibuat manusia. Sehingga, meskipun pesantren telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan sedemikian modern dan kompleks, pengasuhan dan pengelolaannya masih menggunakan cara-cara lama.
Memang, kalau kita tilik jauh ke belakang, hampir sepanjang sejarahnya, pondok pesantren merupakan entitas yang “tumbuh-kembang” secara alamiah. Sejak awal pendiriannya, rasanya tidak ada pesantren yang dirancang untuk kelak menjadi besar. Kalau didoakan, iya. Tapi kalau sengaja dirancang, apalagi lengkap dengan blue print dan road map? Rasanya tidak, karena akan dianggap “mendahului kehendak Tuhan”.
Sejarah pesantren-pesantren besar hari ini, yang usianya sudah mencapai puluhan tahun bahkan ada yang lebih dari seabad, tumbuh-kembang “secara alamiah” seperti itu. Mulai dari jumlah santri, sistem pengajaran, dan bangunan-bangunannya terus bertumbuh dan berkembang “secara alamiah” seperti itu.
Mula-mula santrinya hanya beberapa orang, lalu terus bertambah hingga puluhan, ratusan, ribuan. Mula-mula santri hanya belajar dengan sistem sorogan, bandongan, lalu klasikal, bahkan online. Mula-mula hanya ada sepetak langgar bambu atau seruang masjid sederhana, lalu bilik-bilik angkringan (gotakan), akhirnya dibangun gedung-gedung bertingkat.
Sayangnya, banyak pesantren yang pengasuhan dan pengelolaannya masih menggunakan cara-cara lama, cara yang sama yang sudah diterapkan selama puluhan tahun atau bahkan berabad-abad. Termasuk, dan terutama, dalam hal pembangunan dan manajemen gedung.
Sebagai entitas yang tumbuh kembangnya di tengah masyarakat, yang oleh Gus Dur disebut subkultur, pada mulanya lahirnya sebuah pesantren merupakan “usaha bersama” masyarakat setempat. Hampir seluruh bangunan pesantren, masyarakat ikut membantu pembangunannya. Di masa lalu, mulai dari pembangunan masjid atau musalanya, bilik-bilik untuk pemondokan santrinya, bahkan rumah kiainya pun, masyarakat ikut membangun. Bahkan pembangunannya seringkali justru diinisiasi masyarakat.
Dari sejarah pesantren-pesantren tua kita sering memperoleh cerita, jika datang seorang santri baru tapi pemondokannya tidak mencukupi, maka santri tersebut akan membuat bilik untuk dirinya. Dibantu oleh santri-santri lain, berdirilah bilik-bilik baru untuk santri-santri baru. Dengan begitu, semakin hari, tatkala jumlah santri kian banyak, bangunan-bangunan baru pun terus bertumbuh. Begitulah awal mula tumbuh kembangnya sebuah pesantren.
Tapi jangan dibandingkan dengan perkembangan pesantren hari ini. Di masa lalu yang jauh itu, bangunan-bangunannya masih sangat sederhana, dengan bahan-bahan apa yang ada di sekitarnya. Bangunan musala atau masjid dan pemondokannya biasanya hanya berbahan kayu dan bambu. Atapnya seringkali hanya terbuat dari ilalang. Karena itu, meskipun pembangunannya dikerjakan dengan cara roan, gotong royong santri dan masyarakat setempat, keberadaan bangunan-bangunan tersebut relatif aman. Kalaupun roboh karena lapuk atau oleh hujan badai atau lesus, tak sampai membahayakan keselamatan jiwa penghuninya.
Situasinya berbeda dengan pesantren hari ini. Jika, di masa lalu, pesantren adalah entitas sederhana sebagai subkultur masyarakatnya, hari ini pesantren adalah entitas yang modern nan kompleks. Ia telah berkembang jauh melampaui masyarakatnya. Tolok ukur utama adalah jumlah santrinya. Hari ini, belum “dianggap” pesantren kalau jumlah santrinya belum mencapai ribuan, belasan ribu, bahkan puluhan ribu. Tolok ukur berikutnya adalah sistem pendidikan dan pengajarannya. Hari ini, belum “dianggap” pesantren kalau tidak dilengkapi madrasah-madrasah atau sistem pendidikan formal. Sehingga nyaris tak ada bedanya antara pendidikan di dalam pesantren dengan di luaran.
Dua hal tersebut menuntut konsekuensi tersendiri. Untuk menampung ribuan santri dan memenuhi kebutuhan pendidikannya, maka tumbuhlah gedung-gedung baru secara masif yang, sayangnya, tidak dipersiapkan sedari awal. Maka kita lihat hari ini, di dalam lingkungan pesantren banyak tumbuh berserakan bangunan-bangunan baru dan bertingkat yang tak beraturan, yang tak didasarkan pada ilmu rancang bangun (arsitektur). Bahan bangunannya pun bukan lagi dari kayu dan bambu, tapi beton-beton bertulang. Bahkan atapnya terbuat dari coran beton, bukan lagi genting atau bahkan ilalang. Kini lingkungan pondok pesantren telah menjadi ladang tumbuh kembangnya bangunan-bangunan yang kompleks.
Tapi, sayangnya, proses pembangunan dan pengelolaan gedung-gedung kompleks di lingkungan pesantren tersebut masih menggunakan cara-cara lama. Dikerjakan dengan cara roan, dibiarkan tumbuh secara alamiah. Jarang melibatkan ahli di bidang rancang bangun. Robohnya gedung di Pesantren Al Khoziny, dan hanya 50 dari 42 ribu pesantren yang bangunannya berizin (sesungguhnya bisa disebut: ilegal), itu membuktikan hal tersebut. Kita layak merasa was-was atas keselamatan jiwa para santri yang menghuni bangunan-bangunan tersebut.
Peristiwa itu memang terjadi di Pesantren Al Khoziny. Tapi tragedi robohnya pesantren itu harus menjadi alarm bagi seluruh pesantren di Indonesia: sewaktu-waktu hal serupa bisa terjadi di pesantren mana saja. Pesantren harus mau menerima kritik, bahkan melakukan otokritik, bahwa banyak hal yang harus dibenahi dalam pola pengasuhan dan pengelolaannya. Kita tak pernah menginginkan tragedi serupa terjadi di pesantren lain dan santri-santri menjadi korban lagi.
Mari kita ingat kembali pesan Nabi: ikatlah untamu, baru salatlah. Pastikan dulu keselamatan jiwa semua pihak, beribadah kemudian.