Barangkali Tuhan masih ingin keberadaanku di sini. Bagaimana tidak. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah gundukan puing berhamburan di mana-mana. Tiang-tiang listrik roboh hingga membuat kabelnya melilit di setiap jalan raya yang sudah retak. Tak tertinggal rumah baruku, juga ikut remuk. Gentengnya bersatu bersama reruntuk kaca ataupun batu-batu dari tembok rumah yang ambruk.
Gempa tadi malam benar-benar mengobrak-abrik kota kecilku. Puluhan nyawa dikabarkan kembali ke asalnya, ratusan orang mengalami luka-luka dan langsung dilarikan ke rumah sakit kota sebelah. Termasuk istriku. Ia mengalami luka ringan. Ia menolak ketika kutawari untuk dirawat di rumah sakit. Ia lebih memilih untuk tinggal sementara di rumah orang tuanya yang juga terletak di kota seberang.

Aku menggenggam tangan kecil Aina—anakku. Ia meronta ingin ikut ketika aku hendak kembali ke rumahku yang sudah menjadi puing-puing. Aku hanya ingin mengambil barang-barang yang setidaknya masih bisa dipakai.
Di sini aku tak lagi melihat pencakar langit yang seakan benar-benar ingin mencakar langit. Puluhan mobil remuk tertimpa tiang listrik ataupun reruntuhan bangunan di pinggir jalan. Tak lagi kudengar lagu dangdut yang sering kali mengusik pagi hariku, disko pun ikut lenyap lengkap bersama penghuninya.
Aku hanya mendengar tangisan ringkih keluarga korban yang enggan diajak mengungsi. Burung gagak terbang mengepakkan sayapnya bebas di langit sore yang kuning. Mereka tak lagi harus berpikir ribuan kali hanya untuk terbang supaya tidak menabrak bangunan yang ada di depannya.
Kini aku dapat melihat luas kota kecilku tanpa apa pun yang menghalangi. Hingga tak lama pandanganku menyapu di sekitar. Gudang yang sudah kugadang-gadang akan roboh dalam hitungan hari, namun ternyata tidak. Ia masih berdiri tegak di antara bangunan yang sudah runtuh.
Dari mana pun orang-orang dapat melihatnya berdiri sempurna, kontras antara bangunan yang runtuh di sekitarnya. Gudang atau yang dulunya adalah rumah kakek dan nenekku, kini tampak hijau dengan rerumputan yang menjalar di setiap sisinya. Tak ada yang tahu pasti tahun berapa rumah itu dibangun. Yang kutahu hanyalah bahwa rumah itu sudah ada sebelum ibu dan ayahku lahir.
Semakin lama aku menatapnya, semakin banyak pula rasa penasaran yang memberondongku. Sudah banyak barang-barang yang pecah ketika aku sampai di dalamnya, terutama yang terbuat dari beling. Temboknya pun masih terlihat kokoh dari dalam, seolah rerumputan yang menjalar itu berusaha menahannya. Namun tidak untuk lantainya. Di beberapa bagian terlihat retak, termasuk juga lantai di tengah itu, tepat di bawah bubungan lubang berukuran kecil. Aku mencoba menyingkirkan pecahan lantai yang menutupinya. Terdapat gerabah kecil yang sudah terbelah. Aina mengajakku keluar, sepertinya ia mulai ketakutan, karena memang suasana di sini lumayan berbeda dari pada di luar. Aku membuatnya sedikit tenang, dan dia pun tak lagi meronta ingin segera keluar dari gudang ini.
Aku kembali mengambil bongkahan itu, dan menaruhnya di telapak tanganku. Dari luar, silauan mentari sore yang semakin oren menembus kaca jendela yang buram. Aku menimang gerabah itu dan mencoba berpikir jernih mengapa ada sebuah gerabah yang terkubur di sini. Aku tak mau berpikir bahwa gerabah ini adalah penyebab tidak robohnya rumah ini.
Tak lama berselang, angin mulai membawa sunyi. Matahari semakin redup. Mataku pun seakan ditimpa batu besar dan memaksanya tertutup. Aku mencari-cari tangan kecil Aina, namun nihil. Mataku keburu tertutup sebelum tanganku berhasil menyentuhnya.
Aku melihat ribuan cahaya kecil menghampiriku, lalu mereka semakin besar, besar, dan terus membesar hingga akhirnya Ainaku benar-benar hilang. Aku berusaha bangun dengan kepala yang masih puyeng. Mataku tak lagi melihat gudang lusuh itu lagi, namun berbeda. Gudangku kini benar-benar adalah sebuah rumah yang hidup. Lengkap dengan perabotan yang berjejer rapi. Entah berapa lama aku tertidur. Di depanku ada lima sampai enam orang yang khusyuk seolah sedang membaca Yasin. Mataku masih berkunang-kudang dan membuatnya tak bisa melihat secara jelas. Di tengahnya terdapat polok dan menyan yang menjuntai meraih langit-langit rumah.
Aku hanya duduk menyaksikan semua hal yang terjadi tiba-tiba di depanku. Otakku terlalu kecil untuk menangkapnya. Yang kuingat terakhir kali adalah ketika aku dikepung ribuan cahaya kecil yang semakin besar hingga akhirnya aku sadar di tempat ini. Entah ke mana Aina. Ia tak lagi di sampingku. Aku tak tahu ke mana ia pergi. Mungkin ia memilih untuk bermain dengan capung-capung di luar ketika aku tak sadarkan diri tadi. Istriku pasti marah jika nanti aku pulang tak bersamanya.
Aku mencoba keluar untuk memastikan keberadaan Aina. Namun tak kudapati satu pun tanda bahwa Aina ada di sini. Aku keluar tanpa harus menarik gagang pintu, badanku menembusnya. Entah mengapa. Aku sudah terlalu pusing untuk berpikir lebih. Suasana di luar gudangku atau lebih tepatnya kini kusebut sebagai rumah, sangat indah. Bunyi jangkrik mengerik di mana-mana. Aku lupa kapan terakhir kali aku mendengar suara jangkrik. Beberapa rumah warga terlihat seperti di film-film. Temboknya adalah tabing tipis dengan sedikit penerangan dari cahaya obor. Pohon dengan daun yang lebat mengerumuninya. Udara pun masih tercium segar seakan habis ditimpa hujan.
Alunan Yasin sudah rampung mereka baca. Terlihat di tengah-tengah mereka terdapat polo’ kecil dan menyan yang masih menjulang meraih langit-langit. Di dalam polo’ berisi biji-bijian dengan sebutir telur yang tertuntung di atas nasi.
Tak lama berselang. Salah satu dari mereka mengangkat polo’ itu lantas ia taruh di dalam lubang yang sepertinya memang sengaja mereka buat tepat di bawah bubungan. Aku beranjak untuk bertanya kepada salah satu dari mereka. Namun, lagi-lagi mereka menganggapku hanya sebagai angin kecil yang sekadar numpang lewat. Mereka menghiraukanku, seolah aku dan mereka berada di tempat yang berbeda.
“Terima kasih, sudah membantu kami untuk melaksanakan Rokat Roma tahun ini lagi. Kami tak akan bisa melaksanakannya tanpa bantuan saudara-saudara ini,” ucap laki-laki paro baya yang mengangkat polo’ tadi. Mungkin ia adalah pemilik rumah. Aku tak pernah berpikir bahwa dia adalah kakek moyangku.
“Tdak usah seperti itu. Kita kan memang sudah terbiasa hadir jika ada salah satu dari kita melaksanakan Rokat Roma,” tanggapnya, sambil menolak uang pemberian tuan rumah itu.
Sangat aneh pikirku. Mereka rela melakukan sesuatu untuk orang lain tanpa menerima pemberiannya. Padahal di kehidupanku sendiri tak ada orang yang menyia-nyiakan selembar pun uang. Setelah lama menyimak pembicaraan mereka akhirnya, aku tahu apa yang baru saja mereka lakukan; Rokat Roma. Mereka rutin melakukan itu tiap tahun dengan harapan bumi dapat memberikan kesejukan tanahnya, termasuk menyejukkan rumah tangga yang ada di dalamnya. Aku mendengar semua itu dari ibu-ibu yang sedang memotong seledri di dapur, dan anak kecil itu bertanya dengan muka keingintahuannya.
Tak ada sedikit pun niat untuk aku meneliti penyebab tidak robohnya gudangku ini. Namun kini aku berada di dalamnya, dengan suasana berbeda dibandingkan rumah yang sudah kujadikan gudang tempat aku membuang barang-barangku. Aku tak pernah percaya akan hal yang mistis, barangkali karena di kehidupanku memang tak ada orang yang masih mempercayainya. Kami sudah acuh akan hal tersebut. Namun mereka tidak. Mereka melakukan Rokat Roma tiap tahun. Mereka masih menjalankan persis seperti apa yang nenek moyang mereka lakukan. Hingga kini mata kami benar-benar mereka buat terpaku akan rumah peninggalan mereka, ketika satu-satunya bangunan yang masih berdiri tegak di saat gempa memorak-porandakan bangunan yang ada di sekitarnya. Di antara bangunan hasil rancangan matang para arsitek ternama dengan pangkat di mana-mana.
Matahari terlihat semakin redup di ufuk barat. Aina memanggil sambil menarik-narik bahuku yang masih terduduk dengan pecahan polo’ di tanganku. Aku sedikit menghela napas hingga kemudian memutuskan untuk beranjak keluar dari gudang sambil mengepal tangan Aina yang sepertinya ia semakin ketakutan. Di luar tampak sunyi, burung gagak mulai sedikit yang terbang mengarungi langit yang memerah, tangisan ringkih orang-orang masih menggema dari segala arah.