Sepasang tangan kurus itu memegang hakken yang terus-menerus digerakkan pelan-pelan untuk membuat simpul dari gulungan benang wol berwarna-warni di dalam keranjang yang dipangku di pahanya. Di luar hujan menderas sejak semalam. Sepasang tangan itu milik Ruwaiya, perempuan bermata buta yang kehilangan cahaya matanya saat umurnya 16 tahun. Sebuah peristiwa yang tidak hanya merenggut pengelihatannya tetapi katanya juga, ingatannya. Jika kau bertanya pada Ruwaiya apa penyebab kebutaannya, ia tak akan bisa menjawabnya, rekaman memorinya seumpama pita kaset yang tak saja ruwet, tapi rusak; begitulah yang orang-orang bilang. Ibunyalah yang akan memberikan jawaban untuknya. Katanya, ia kena demam tinggi pada suatu malam, demam yang menyebabkan ia pingsan dengan darah mengucur dari lubang hidungnya. Keterlambatan perawatan dengan tenaga medis menyebabkan ia tak hanya kehilangan pengelihatan dan memorinya, tetapi juga sedikit kewarasannya.
Ruwaiya itu, setiap pagi setelah ibunya selesai memandikannya, akan berjalan tertatih-tatih ke bangku di depan rumahnya dengan membawa keranjang berisi benang wol warna-warni dan beberapa buah hakken. Ia meraba-raba bangku panjang yang terbuat dari bambu itu sebelum kemudian mendudukinya dan memangku keranjang alat prakaryanya untuk kembali merajut. Orang-orang yang lewat depan rumahnya biasanya akan berhenti sejenak untuk menyapanya, dan Ruwaiya, jarang sekali merespon sapaan-sapaan tersebut.
Suatu ketika, aku pernah sengaja menghampirinya cukup lama. Biasanya aku hanya duduk sebentar, menanyakan kabarnya, dan segera berlalu. Kali ini aku duduk agak lama. Seperti biasa, aku mengambil tempat di sebelahnya dan menanyakan kabarnya.
“Iyya, kamu sehat?” sapaku. Ruwaiya menghentikan gerakan-gerakan hakkennya yang menyimpul benang-benang untuk mencipta benda-benda rajut begitu mendengar suaraku.
Aku teringat beberapa tahun sebelumnya, ketika aku pertama kali mengunjunginya di rumah ini. Aku memanggil namanya dengan haru yang membuncah, dengan kesedihan yang pecah. Aku mengulurkan tanganku dan menggenggam tangan kirinya. Ruwaiya meletakkan hakkennya dan tangan kanannya mengelus punggung tanganku. Ia menemukan bekas luka itu. Bekas luka yang kudapat waktu umurku 7, saat terjatuh bersamanya dan punggung tanganku tergores pecahan beling entah apa sepanjang 3cm yang menyebabkan luka itu membekas sampai sekarang. Kulihat bola mata Ruwaiya melebar saat menyentuh bekas luka itu, namun sesaat kemudian, ia menarik kembali tangannya. Tangan kanannya kembali memegang hakken, dan tangan kirinya kembali memegang gulungan wol. Ia meneruskan kegiatan merajutnya. Seperti kali ini, ketika aku menggenggam tangannya, dan ia segera menarik kembali tangannya.
“Iyya, kamu ingat saya?” aku kembali bertanya. Pertanyaan yang sering kuajukan juga. Ruwaiya menggeleng.
Aku memandang wajahnya cukup lama. Betapa kurus, betapa murung. Dulu, ia cantik dan ceria, kenangku dalam hati. Kudengar Ruwaiya bersenandung lirih. Nada-nada yang sedih dan asing. Mungkin nada-nada yang ia ciptakan sendiri. Kudengar langkah kaki dari dalam rumah. Budhe Ayu keluar sambil membawa minuman. Ia tersenyum melihatku. Senyum yang sedih. Senyum yang pedih.
“Maya libur ngajarnya?” tanya Budhe Ayu sambil mengangsurkan gelas minuman ke tangan anaknya. Ruwaiya menerima gelas itu, mendekatkannya ke bibirnya, dan menegaknya pelan-pelan. Setelah beberapa tegukan, ia kembalikan gelasnya ke ibunya.
“Pulang awal Budhe, sedang ujian semesteran,” jawabku. Budhe Ayu mengangguk dan tidak bertanya apa-apa lagi. Ia berjalan kembali ke dalam rumah, dengan gelas di tangannya. Perempuan itu, yang selalu kupanggil Budhe, kini pun semakin menua. Rambutnya memutih, pipinya cekung; betapa kurus, betapa tak terurus.
Aku kembali mengajak Ruwaiya berbicara. Seumpama berbicara dengan tembok, orang di sebelahku ini tidak menyahut. Ia asyik merajut dan tak mengacuhkanku. Aku duduk lama di sana, lebih lama dari biasanya. Ruwaiya masih bersenandung, nada-nada yang sendu. Aku memejamkan mata. “Iyya, saya akan menunggu kamu kembali. Seberapapun lamanya. Kamu harus tahu, saya menunggu kamu ya…” ucapku lirih. Aku masih duduk di sana sekitar tiga puluh menit kemudian, sampai kemudian gerimis menitik dan aku bangkit.
“Iyya, saya pulang ya… kamu sehat-sehat,” aku memeluknya erat sebelum kemudian berlalu. Di pagar depan rumahnya, aku sempat menengok dan memergokinya tersedu.
*
Sejak awal, aku tahu Ruwaiya tidak pernah kehilangan ingatannya. Orang-orang mungkin percaya dia kehilangan ingatan bersama dengan kehilangan pengelihatannya. Tetapi aku tidak. Aku hidup lama menjadi sahabatnya selama bertahun-tahun dan sejak peristiwa Ruwaiya mengusap bekas luka di punggung tanganku itu, aku tahu Ruwaiya tidak pernah hilang ingatan. Dan diam-diam, aku juga tahu kalau Budhe Ayu, ibunya, turut menyembunyikan fakta bahwa anaknya sebenarnya tidak hilang ingatan.
Aku ingat sepuluh tahun yang lalu, Ruwaiya mengaku padaku kalau pacarnya memperkosanya. Ia juga mengadukan itu pada ibunya. Ibunya mengadukan itu pada polisi. Tetapi polisi tidak percaya, begitu juga keluarga pacarnya. Tidak mungkin itu perkosaan, pasti suka sama suka, begitulah tuduhan orang-orang. Ruwaiya dan ibunya tidak mau menarik gugatan. Pacarnya diadili, divonis bersalah, dan dihukum satu tahun penjara.
Ruwaiya meradang. Pemerkosa itu hanya didakwa setahun penjara, setahun yang Ruwaiya yakin pasti akan dipotong beberapa hari, minggu, atau bahkan bulan dengan alasan kelakuan baik di dalam penjara atau apalah. Ia dan ibunya putus asa; tak tahu meminta keadilan pada siapa. Ayahnya sudah lama tiada, sehingga hanya mereka berdua sendiri menghadapi ini. Dan aku, pada usia itu terlalu tidak sensitif sehingga alih-alih membantunya, aku malah turut menyalahkannya.
Dan tibalah masa-masa itu, ketika Ruwaiya ingin menabrakkan dirinya ke mobil di jalan raya, atau menunggu kereta melintas hanya agar bisa membantingkan tubuhnya ke tengah rel kereta, atau menerjunkan diri dari jembatan. Hingga suatu hari, Ruwaiya benar-benar menabrakkan dirinya ke sebuah mobil yang melintas, yang menyebabkan ia kehilangan pengelihatannya.
Dengan pedih, aku menyesali kenapa Ruwaiya menjadi seperti ini; karena barangkali akupun turut serta ‘memperkosanya’ bertubi-tubi: dengan ikut menyalahkannya.
*
Setelah kejadian itu, Budhe Ayu membawa Ruwaiya pergi dari kota kecil kami sejauh sekian ratus kilometer jaraknya. Dan aku menyusulnya beberapa tahun setelah kecelakaannya, setelah menamatkan pendidikan sarjanaku. Aku menyewa sepetak rumah tak jauh dari rumah yang ditinggalinya, mengajar di sebuah SD Swasta di daerah itu, dan mengunjunginya setiap sepulang mengajar. Mungkin ini penebusan dosa, akan kebodohanku dulu saat tak membelanya.
Di kota ini, ibunya mengarangkan masa lalu untuknya; tentang demam tinggi yang merenggut pengelihatan serta tentang ingatannya yang tiada. Dan setiap kali memandang Ruwaiya, aku teringat pada adegan pembuka film Godfather; ketika Bonasera meminta keadilan pada Don Corleone karena anak gadisnya diperkosa oleh pacar dan teman-teman pacarnya, namun pengadilan menunda hukumannya setelah sebelumnya memutuskan hukuman tiga tahun penjara. Tetapi Ruwaiya bukan anak Bonasera, ia tak punya ayah yang membelanya. Ia hanya punya ibu yang sama lemah dan putus asa dengannya, karena hukum gagal memberikan keadilan pada mereka dan mereka tak tahu lagi harus meminta keadilan pada siapa.
Dan hari ini, aku membaca berita di koran-koran, tentang seorang perempuan yang diperkosa; yang disalahkan dan kesaksiannya diragukan orang-orang di sekelilingnya. Aku teringat Ruwaiya sepuluh tahun yang lalu; Ruwaiya yang kehilangan masa-masa terbaik kemudaannya. Samar-samar aku mendengar aktivis perempuan berbicara di media-media: “pelaporan perkosaan oleh korban harus dianggap kebenaran sampai terbukti sebaliknya!”. Aku menangis tertahan, sesak dan terluka akan kenanganku sendiri yang dulu gagal membelanya. Yang bahkan sekarang masih tak mampu membelanya.